KABARBURSA.COM – Pemerintah mengklaim kemenangan diplomatik usai tercapainya kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat. Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump menyebut kesepakatan tersebut sebagai babak baru hubungan perdagangan yang saling menguntungkan.
Namun di balik gegap gempita sambutan resmi, para analis memperingatkan bahwa perjanjian ini bisa membawa risiko serius: mulai dari ketimpangan perdagangan hingga ancaman terhadap kedaulatan energi dan pangan nasional.
Dalam pernyataan resminya, Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menyebut tarif ekspor Indonesia ke AS yang dipatok 19 persen adalah pencapaian besar. Tarif ini memang lebih rendah dibanding Vietnam yang dikenakan 20 persen.
“Itu bukan capaian kecil, itu hasil kerja luar biasa tim negosiator kita," ujar Hasan, dikutip dari South China Morning Post, Jumat, 18 Juli 2025.
Di sisi lain, Trump mengumumkan bahwa barang-barang dari AS akan masuk ke Indonesia tanpa bea masuk, disertai pelonggaran hambatan dagang lainnya. Sebagai timbal balik, Indonesia sepakat membeli produk energi, pertanian, serta 50 pesawat Boeing senilai total USD34 miliar (setara Rp557 triliun).
Meski di atas kertas terlihat menguntungkan, analis menilai kesepakatan ini berat sebelah. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyebut Vietnam justru mendapat deal yang lebih baik.
“Penurunan tarif dari 46 ke 20 persen bagi Vietnam jauh lebih signifikan dibanding penurunan Indonesia dari 32 ke 19 persen,” ujarnya. “Dengan daya saing manufaktur Vietnam yang lebih unggul, kita justru kalah.”
Menurut Bhima, meski sektor-sektor ekspor seperti CPO, karet, dan alas kaki akan diuntungkan, sektor lain berpotensi terpukul. Produk-produk AS seperti elektronik, suku cadang pesawat, farmasi, hingga gandum akan membanjiri pasar domestik. Data menunjukkan lima komoditas itu saja mencapai nilai impor USD5,37 miliar tahun lalu.
Ia juga memperingatkan soal risiko meningkatnya ketergantungan pada LPG dan BBM dari AS. “Subsidi energi yang diajukan pemerintah dalam RAPBN 2026 sebesar Rp203 triliun tidak akan cukup. Kita butuh minimal Rp300 triliun,” katanya.
Petani dan Industri Terancam
Peringatan lebih keras datang dari Direktur Riset Samuel Sekuritas, Harry Su. Menurutnya, dampak terbesar akan dirasakan sektor pangan lokal.
“Kalau ayam dan jagung dari AS bebas masuk, peternak dan petani kita tamat. Biaya produksi mereka jauh lebih tinggi dari Amerika. Dampaknya bisa lima juta orang kehilangan pekerjaan,” ujar Harry.
Ia juga menyoroti dampak geopolitik soal bagaimana China sebagai mitra dagang utama Indonesia melihat kedekatan baru ini. “Ini gajah di dalam ruangan,” katanya, merujuk pada kemungkinan gesekan diplomatik dengan Beijing.
Salah satu misi utama Prabowo—ketahanan pangan nasional—bisa terancam akibat impor besar-besaran dari AS. Dengan tarif gandum 0 persen, produk olahan seperti mie instan dan roti kemungkinan jadi lebih murah. Namun di sisi lain, produsen pangan lokal bakal merugi karena kalah saing.
Bhima menyarankan pemerintah untuk segera memperluas pasar ekspor ke kawasan Eropa dan ASEAN guna mengurangi ketergantungan terhadap AS. Ia menyebut kesepakatan ini justru merugikan posisi Indonesia dalam jangka panjang.
Sebagai penyeimbang, Prabowo juga menyambut kesepakatan politik dengan Uni Eropa terkait Perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesia–UE (IEU–CEPA). Kesepakatan itu ditargetkan diratifikasi pada September dan berpotensi menggandakan nilai dagang menjadi USD60 miliar. Namun pertanyaannya, cukupkah itu sebagai penawar dampak besar dari “deal landmark” Prabowo–Trump?(*)
 
      