KABARBURSA.COM - Dedolarisasi atau upaya mengurangi ketergantungan terhadap dolar dalam transaksi perdagangan internasional, berpotensi mengurangi tekanan inflasi impor bagi Indonesia.
Menurut Wijayanto Samirin, ekonom senior dari Universitas Paramadina, penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan ekspor-impor bisa membantu menstabilkan nilai tukar rupiah.
"Jika dedolarisasi diartikan sebagai transaksi ekspor-impor dengan mata uang lokal, termasuk rupiah, maka nilai tukar rupiah bisa lebih stabil, dan tekanan inflasi impor atau imported inflation akan berkurang," kata Wijayanto kepada Kabarbursa.com, Kamis, 7 November 2024.
Namun, ia menekankan bahwa meskipun dedolarisasi mungkin dilakukan, dolar Amerika Serikat (AS) tetap dominan dalam ekonomi global.
"Dolar AS saat ini mendominasi dengan 59 persen dari cadangan devisa global, 80 persen transaksi minyak, dan 88 persen perdagangan valuta asing. Dedolarisasi tidak akan menggantikan peran dolar sebagai mata uang global dalam jangka waktu dekat," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa upaya dedolarisasi sudah berjalan di beberapa negara. China dan Rusia, misalnya, telah mempercepat penggunaan mata uang lokal mereka yuan dan rubel untuk sekitar 90 persen transaksi bilateral.
"Sebagian besar negara masih cenderung memilih dolar, kecuali dalam beberapa kasus khusus seperti Rusia-China yang didorong oleh perang dagang dan embargo ekonomi dari Amerika Serikat," jelas Wijayanto.
Di sisi lain, dampak positif dedolarisasi terhadap sektor-sektor strategis seperti energi dan pangan juga sangat mungkin dirasakan, terutama jika rupiah lebih stabil.
“Ketahanan pangan dan energi Indonesia akan meningkat seiring stabilnya nilai tukar rupiah karena sebagian besar kebutuhan pangan dan energi kita berasal dari impor,” katanya.
Saat ini, upaya penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional tengah diuji coba oleh sekitar 80 negara, termasuk Indonesia. Menurut Wijayanto, langkah-langkah ini penting dalam meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di tengah dominasi dolar AS.
Dengan berkurangnya penggunaan dolar, beberapa mata uang mulai muncul sebagai alternatif dalam transaksi internasional. Berikut adalah beberapa mata uang yang dianggap potensial untuk menggantikan dominasi dolar AS:
- Yuan
- Euro
- Mata uang BRICS
- Rupee India
- Mata uang lokal ASEAN
Dedolarisasi bukan hanya sekadar tren, tetapi strategi untuk menyeimbangkan kembali ketergantungan ekonomi global. Upaya ini memberi kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat posisi rupiah di pasar internasional dan mempererat hubungan dagang regional.
Meskipun ada tantangan, dedolarisasi menawarkan peluang stabilitas ekonomi yang lebih besar dan efisiensi perdagangan di masa depan.
Ambil Kesempatan Emas di BRICS
Sebelumnya, Indonesia perlu segera menentukan pilihan untuk bergabung dengan salah satu organisasi antarpemerintah dunia, yaitu BRICS atau OECD. Menurut Wijayanto, keputusan ini memiliki urgensi.
Pertama, kata Wijayanto, Indonesia dapat menyambut peluang berpartisipasi aktif dalam organisasi tersebut karena jumlah anggota yang masih sedikit. Ini berkaitan dengan hal yang kedua yakni peran dalam menentukan kebijakan utama dalam kelompok-kelompok tersebut.
“Jika (Indonesia) terlalu lama memilih, skenario terburuk bisa terjadi: Indonesia tidak tergabung dalam keduanya. Kalaupun bergabung nanti, bisa saja kita sudah terlambat dan tidak terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan,” ujar Wijayanto kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.
Dosen Universitas Paramadina itu menjelaskan, bergabungnya Indonesia dalam blok ekonomi yang dipimpin duet Rusia-China itu bukan berarti menjauh dari mitra lama antara lain Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Contohnya India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, dan Arab Saudi yang masih bermitra tanpa menjaga jarak dengan Barat. Di sisi lain, jika Indonesia masuk OECD maka tidak membatasi gerak dengan negara-negara BRICS.
“OECD dan BRICS bukanlah blok ekonomi yang rigid (kaku). Setiap anggotanya tetap bebas menjalin kerja sama bilateral atau multilateral sesuai kebutuhan mereka,” jelas Wijayanto.
Lebih lanjut, bagi Wijayanto, Indonesia lebih tepat mengambil keputusan berdasarkan manfaat pragmatis daripada perimbangan politis. “Mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia, itulah yang semestinya dipilih,” tegasnya.
Adapun, negara-negara Barat yang mempertahankan status quo ekonomi global saat ini mendominasi komposisi OECD. Dominasi ini tampak dari peran AS lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan peredaran dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
Sementara BRICS, ujar dia, dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru dengan ambisi untuk menciptakan sistem yang lebih independen dari dolar AS.
“BRICS memiliki agenda ekstrem seperti dedolarisasi, yang diinisiasi oleh Rusia dan China. Ini terjadi terutama setelah aset-aset Rusia di luar negeri dibekukan oleh negara Barat pasca-konflik Ukraina. Banyak negara kini bertanya-tanya apakah aset mereka juga bisa dibekukan jika berada dalam situasi yang sama,” ungkapnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.