KABARBURSA.COM - Perang kini lebih murah. Dahulu negara mengirim tentara, sekarang cukup mengerahkan mesin, drone, dan kecerdasan buatan. Era disrupsi telah usai. Kini kita memasuki Quantum Age, di mana konflik bisa muncul hanya dari algoritma, dan keputusan bisa diambil oleh mesin.
"Jika negara lambat beradaptasi, kita bisa kalah tanpa mengetahui siapa lawan,” tegas Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., dalam Keynote Speak pada Panel Diskusi Refleksi Akhir Tahun yang digelar Deep Intelligence Research, DEEP Indonesia, dan Rumah Perubahan di Bekasi.
Rhenald menekankan, dunia kini berada dalam fase perubahan non-linier, bahkan kuantum. Dalam era ini, negara tidak terguncang oleh kekuatan militer, melainkan oleh teknologi yang bergerak lebih cepat daripada kapasitas institusi untuk membaca, merespons, dan mengantisipasi.
“Intuisi politik tidak lagi cukup. Keputusan negara harus selaras dengan laju teknologi,” ujarnya.
DEEP Intelligence: Kepercayaan Publik Menurun Sepanjang 2025
Dalam sesi riset, Direktur DEEP Indonesia sekaligus Direktur Komunikasi Deep Intelligence Research (DIR), Neni Nur Hayati, memaparkan analisis berbasis artificial intelligence (AI) dari 174.730 percakapan publik di media sosial sepanjang 2025. Temuan riset menunjukkan penurunan signifikan kepercayaan publik terhadap berbagai sektor nasional.
“Percakapan publik banyak mengangkat isu otoritarianisme, konflik elit, PSU yang berlarut, hingga kekecewaan terhadap komunikasi kebijakan pemerintah. Lonjakan signifikan terlihat saat demo nasional 28 Agustus,” kata Neni.
Hukum juga dianggap semakin inkonsisten. Isu terkait RUU KUHAP dan kasus besar seperti Hasto, Tom Lembong, dan Ira Puspadewi mendominasi sentimen negatif. Narasi “KPK sudah tidak relevan” menjadi topik yang menetap lama. Program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat sorotan, tetapi diiringi kritik soal kesiapan eksekusi. Janji pertumbuhan ekonomi 8% dianggap publik sebagai target yang tidak realistis.
Publik juga menilai respons pemerintah terhadap krisis Gaza inkonsisten. Riset mengungkapkan jurang persepsi antara media dan warganet: media melaporkan positif, sementara publik menunjukkan ketidakpercayaan yang meluas. “Masyarakat bukan sekadar mengkritik, tapi juga lelah karena kebijakan terasa jauh dari realitas. Ini menandakan hubungan negara-warga berada di titik paling rawan,” ujar Neni.
Ancaman Digital dan Logika Baru Pemerintah
Menanggapi temuan DIR, Rhenald menekankan, negara tidak bisa lagi mengandalkan pola birokrasi lama yang lambat dan dokumen-sentris. Pemerintah harus masuk ke logika baru sesuai Quantum Age. Ancaman kini bukan tank atau pasukan, melainkan kecerdasan buatan, informasi palsu, dan serangan digital.
“Rakyat hidup dengan logika digital. Negara harus mengejar ritme itu. Jika tidak, distrust akan membesar dengan cepat,” tegasnya.
Forum ini menghadirkan tokoh lintas sektor: Prof. Rhenald Kasali (Rumah Perubahan), Andi Widjajanto (politisi & analis PDIP), Neni Nur Hayati (DEEP Indonesia/DIR), Atmaji Sapto Anggoro (praktisi Big Data & AI), H. Oleh Soleh (Komisi XI DPR), Muhammad Sarmuji (sekjen Golkar), Muhammad Kholid (sekjen PKS), dan Yuhronur Efendi (Bupati Lamongan). Kehadiran mereka menegaskan perlunya respons lintas disiplin terhadap tantangan demokrasi, hukum, ekonomi, dan tata kelola negara.
Menutup forum, Neni Nur Hayati menekankan, tantangan Indonesia bukan lagi ketersediaan data, melainkan kemampuan bangsa memanfaatkannya secara kolektif.
“Big data sudah ada. Pertanyaannya, bagaimana kita bergerak? Dengan siapa kita bergerak? Di era ini, kolaborasi adalah kunci,” katanya. Data hanya akan bermanfaat jika pemerintah, legislator, akademisi, teknolog, dan masyarakat sipil berada dalam ekosistem kolaboratif yang sama. Tanpa kerja lintas sektor, percepatan perubahan di zaman kuantum sulit tercapai.(*)