KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Februari 2025 mengalami pelebaran dibandingkan bulan sebelumnya, yakni Januari.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, defisit APBN bulan Februari mencapai Rp31,2 triliun atau setara 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2024, meningkat dari Rp23,5 triliun pada Januari atau 0,10 persen dari PDB.
"Penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target," ujar Sri Mulyani melalui konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025.
Adapun, pemerintah menetapkan target defisit APBN 2025 selama satu tahun penuh sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sepanjang Januari hingga Februari 2025, pendapatan negara tercatat mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target yang telah ditetapkan.
Angka tersebut menunjukkan penurunan 20,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp400,4 triliun.
Di sisi lain, realisasi belanja negara dalam dua bulan pertama tahun ini mencapai Rp348,1 triliun atau sekitar 9,6 persen dari total alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah untuk 2025. Realisasi belanja ini juga mengalami penurunan 6,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp374,3 triliun.
Dengan kondisi tersebut, keseimbangan primer APBN pada Februari 2025 masih mencatatkan surplus sebesar Rp48,1 triliun. Namun, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan surplus keseimbangan primer pada Februari 2024 yang mencapai Rp95 triliun.
"Jadi, defisit 0,13 persen itu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB," jelas Sri Mulyani.
Seharusnya, APBN KiTa diterbitkan setiap bulan pada pekan ketiga atau keempat. Namun, hingga Maret 2025, laporan untuk Januari 2025 belum juga dipublikasikan, memicu tanda tanya di kalangan publik.
Sebelumnya, Kemenkeu sempat menyebut laporan tersebut akan dirilis pada akhir pekan ini. Namun, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, memastikan bahwa publikasi baru akan dilakukan pada awal pekan depan, tepatnya Senin, 17 Maret 2025.
"Senin ya," ujarnya singkat saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025.
Meski begitu, Deni enggan memberikan keterangan lebih lanjut ketika ditanya detail mengenai keterlambatan laporan tersebut.
Rilis APBN KiTa Terlambat
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai keterlambatan ini sebagai indikasi melemahnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, yang dapat berdampak pada kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi.
Awalil menjelaskan bahwa selama beberapa tahun terakhir, laporan APBN Kita dirilis setiap bulan melalui konferensi pers yang disiarkan di kanal YouTube Kementerian Keuangan. Beberapa hari setelahnya, dokumen lengkap APBN Kita diunggah di laman resmi Kemenkeu, yang berisi rincian lebih mendalam dibandingkan paparan verbal dalam rilis bulanan. Namun, sejak awal 2025, pola ini terhenti tanpa penjelasan resmi.
"Rilis APBN Kita Januari 2025 yang memuat realisasi sementara APBN 2024 sudah dilakukan pada 6 Januari. Biasanya, beberapa hari setelahnya, dokumen lengkapnya diunggah. Namun, hingga kini, dua bulan berlalu, dokumen tersebut belum juga tersedia," ujar Awalil kepada Kabar Bursa, Jumat 7 Maret 2025.
Menurutnya, akibat keterlambatan ini, informasi penting terkait realisasi APBN 2024 belum dapat diakses publik. Ia menyoroti bahwa rilis verbal pada 6 Januari hanya bersifat umum, tanpa memberikan rincian belanja tiap kementerian/lembaga serta jenis belanja yang dilakukan pemerintah. Selain itu, data penerimaan perpajakan juga belum tersedia.
"Belum ada informasi mengenai realisasi pembiayaan investasi APBN 2024, pembiayaan utang, serta posisi utang pemerintah per akhir 2024. Ini menyulitkan kami para ekonom dalam melakukan analisis terhadap realisasi anggaran tahun lalu," jelasnya.
Keterlambatan ini dinilai semakin mengkhawatirkan mengingat belum adanya rilis APBN Kita edisi Februari 2025, yang seharusnya mengungkap realisasi APBN hingga akhir Januari. Padahal, beberapa kebijakan fiskal baru, seperti Instruksi Presiden (Inpres) 22 Januari dan Surat Edaran Menteri Keuangan (SE Menkeu) 24 Januari, telah diterbitkan, tetapi belum ditindaklanjuti dengan publikasi dokumen resmi yang mencerminkan perubahan dalam postur APBN.
"Realisasi bulan Januari semestinya belum mengikuti keputusan efisiensi baru karena dokumen resminya belum ada. Padahal, data ini bisa membantu publik memahami kondisi fiskal sebelum adanya perubahan lebih lanjut," tutur Awalil.
Ia juga memperingatkan bahwa ketidakjelasan ini berpotensi merugikan berbagai pihak, termasuk pelaku pasar dan mitra kerja pemerintah, yang membutuhkan data APBN sebagai acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Bahkan, menurutnya, birokrasi pemerintahan sendiri bisa mengalami kebingungan dalam menjalankan kebijakan fiskal.
"Tentu saja, langkah pemerintah untuk tidak mengumumkan kinerja APBN Januari dan Februari ini dapat berdampak buruk pada kepercayaan investor. Ini menimbulkan kesan bahwa ada upaya untuk mengolah lebih lanjut atau bahkan menyembunyikan data yang sensitif bagi publik dan investor," tegasnya.
Ia mencontohkan, tanpa data terbaru, sulit untuk mengetahui posisi utang pemerintah per akhir 2024 serta rasio utang terhadap PDB dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pula dengan besaran pembayaran bunga utang, yang berpengaruh pada debt service ratio atau rasio pembayaran utang terhadap pendapatan negara.
Lebih jauh, Awalil menilai bahwa keterlambatan ini mencerminkan kemunduran dalam transparansi pengelolaan keuangan negara. Ia menegaskan bahwa seharusnya DPR turut mempertanyakan hal ini kepada pemerintah.
"Ketidakjelasan ini membuat pemerintah seolah mundur jauh ke belakang dalam transparansi fiskal. DPR seharusnya mengambil peran dalam mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban atas lambatnya publikasi laporan APBN," pungkasnya. (*)