KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa hingga Oktober 2024, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut defisit ini setara dengan 1,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Defisit APBN sampai akhir Oktober mencapai Rp309,2 triliun, atau sekitar 1,37 persen dari PDB,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat, 8 November 2024.
Meskipun defisit tersebut terus meningkat, Sri Mulyani menegaskan bahwa angka tersebut masih dalam batas target pemerintah, yaitu defisit 2,29 persen dari PDB.
“Angka ini masih lebih kecil dari pagu defisit APBN 2024 yang disepakati dengan DPR,” ujarnya.
Menurut Sri Mulyani, defisit ini disebabkan oleh belanja negara yang mencapai Rp2.556,7 triliun, atau 76,9 persen dari batas anggaran. Jumlah ini meningkat 14,1 persen dibandingkan tahun lalu, dan disebutnya telah memberikan dampak positif bagi perekonomian.
“Belanja negara yang tinggi ini memberikan dampak positif pada ekonomi,” katanya.
Di sisi lain, pendapatan negara tercatat Rp2.247,5 triliun atau 80,2 persen dari anggaran, hanya naik 0,3 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Sri Mulyani juga menambahkan bahwa keseimbangan primer menurun menjadi Rp97,1 triliun, dari Rp161,8 triliun pada akhir September 2024.
Sebelumnya, hingga Agustus 2024, defisit APBN tercatat Rp153,7 triliun. Salah satu faktor penyebabnya adalah pendapatan negara yang tertekan, sedangkan belanja negara mengalami kenaikan yang signifikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hingga Agustus 2024, defisit APBN tercatan Rp153,7 triliun. Nilai ini setara dengan 0,68 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Besaran defisit kas negara ini melebar dari bulan sebelumnya, atau bertambah sekitar Rp60,3 triliun dari Juli 2024 yang mencapai Rp93,4 triliun.
“Kita lihat defisit APBN sampai dengan akhir Agustus adalah Rp 153,7 triliun atau ini artinya 0,68 persen dari PDB masih dalam track sesuai dengan RUU APBN 2024,” kata Sri Mulyani di acara konferensi pers APBN KiTa edisi September 2024, di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Lanjutnya, defisit anggaran selaras dengan realisasi pendapatan negara yang terkontraksi. Tercatat realisasi pendapatan negara mencapai Rp1.777 triliun, turun 2,5 persen dari tahun lalu.
Walaupun menurun, kata Sri Mulyani, laju kontraksi pendapatan negara mulai membaik. Tercatat pada Juli 2024, pendapatan negara turun lebih dalam, yakni sebesar 4,3 persen secara tahunan.
“Kontraksi ini jauh lebih kecil dari bulan-bulan sebelumnya. Bulan lalu itu sekitar 6,5 persen atau pada Juni bahkan bisa mencapai 8 persen,” jelasnya.
Di sisi lain, belanja negara masih tumbuh pesat. Sri Mulyani menyebutkan, realisasi belanja negara mencapai Rp1.930,7 triliun, melesat 15,3 persen dari periode yang sama tahun lalu.
“Ini artinya 58,1 persen dari total pagu belanja negara tahun ini telah dibelanjakan dan pertumbuhannya masih sangat kuat, seperti diketahui sejak awal tahun pertumbuhan dari belanja negara double digit,” kata Sri Mulyani.
Dengan perkembangan tersebut, keseimbangan primer atau total pendapatan dikurangi belanja negara tanpa menghitung belanja bunga utang, mencatat surplus Rp161,8 triliun.
Meskipun defisit APBN semakin melebar, Sri Mulyani menyebutkan, hal itu sudah sesuai dengan perhitungan pemerintah. Dia menjelaskan, APBN 2024 memang disiapkan mengalami defisit, yakni sebesar Rp522,8 triliun atau setara 2,29 persen terhadap PDB.
Risiko Akibat Defisit APBN
Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF Eisha Rachbini memaparkan bahwa akar masalah defisit tidak hanya terletak pada ketidakseimbangan belanja dan penerimaan, tetapi juga pada ketergantungan terhadap utang.
Menurut dia, defisit APBN yang melebar selama pemerintahan Jokowi disebabkan oleh struktur APBN yang rusak. Ketika belanja negara terus melambung sementara penerimaan negara stagnan, pemerintah terpaksa menutup celah dengan utang.
“Akar dari kenapa menyimpang defisit, biasanya dari struktur dan komposisi APBN, didalami lagi. Apakah defisit APBN dikarenakan pembelanjaaan lebih besar dari penerimaan? Maka untuk membiayai operasional diperoleh dari utang,” kata Eisha Rachbini dalam diskusi virtual yang bertajuk ‘Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo’, kemarin.
Adapun data menunjukkan bahwa defisit fiskal selama periode 2015-2023 semakin melebar. Selisih antara penerimaan dan pengeluaran negara melebar, terutama selama pandemi COVID-19, dengan defisit mencapai minus 2,8 persen.
Meskipun angka ini masih di bawah batas 3 persen yang ditetapkan Undang-Undang (UU) Keuangan, Eisha menekankan bahwa kedekatannya dengan batas tersebut menunjukkan kurangnya ruang fiskal yang memadai.
“Tapi jika dekat sekali dengan 3 persen maka implikasinya kita jadi tidak punya ruang fiskal yang memadai dan rentan alami shock, berisiko untuk ke depan. Contohnya kemarin, ketika tibat-tiba ada pandemi COVID,” jelasnya.
Penerimaan pajak yang semakin menurun menjadi salah satu indikasi krisis fiskal yang lebih dalam. Eisha mengungkapkan, sejak 2015, realisasi penerimaan pajak selalu kalah dari target, kecuali pada 2021-2023.
Peningkatan pada periode ini lebih karena lonjakan harga komoditas global, bukan karena reformasi struktural yang efektif. “Ya, karena itu tertolong dari harga komoditas dunia yang sedang booming akibat geopolitik,” tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penurunan penerimaan pajak sangat jelas terjadi pada sektor perdagangan dan pertambangan. Eisha mencatat, penerimaan dari sektor perdagangan merosot karena daya beli masyarakat melemah dan sektor pertambangan menghadapi penurunan tajam akibat harga komoditas mineral yang jatuh.
“Penerimaan yang jauh menurun terjadi pada sektor pertambangan, dan harga komoditas mineral yang semakin menurun,” katanya.
Bahkan, PPh Badan mengalami penurunan drastis karena pertumbuhan negatif di sektor korporasi. “Pada sisi penerimaan PPh Badan alami penurunan pertumbuhan yang drastis karena korporasi saat ini alami pertumbuhan negatif,” ungkapnya.
Selain itu, rasio pajak terhadap Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus menurun. Meski ada upaya harmonisasi pajak pada 2021, dampaknya sangat minimal, dan rasio kepatuhan pajak tetap stagnan di sekitar 70-80 persen.
“Dibandingkan dengan negara lain, segi rasio penerimaan pajak kita yang hanya 10.9 persen amat tertinggal jauh dibandingkan Malaysia, Filipina, Vietnam, apalagi China dan Jepang,” ungkap Eisha.
Sedangkan dari sisi neraca belanja, hal keseimbangan primer terlihat bahwa belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pembayaran utang. Ada juga belanja pegawai, sementara belanja modal maih rendah dan turun terus.
Sementara, lanjut Eisha, utang yang diambil pemerintah tidak produktif karena dilihat komponen belanja modal, untuk membiayai belanja modal hanya sedikit. Digunakan bukan pada sektor produktif seperti akumulasi barang modal dan teknologi.
“Komponen belanja hanya besar di belanja pegawai atau barang. jadi hal-hal itu tidak bisa mendorong produktivitas di jangka panjang,” terangnya.
Meskipun rasio utang terhadap GDP Indonesia masih berada di bawah 60 persen, proporsi utang jangka panjang mencakup 90 persen, sementara utang jangka pendek hanya sekitar 1 persen. Hal ini menunjukkan ketergantungan yang ekstrem pada utang jangka panjang.
Selain itu, Eisha menyoroti bahwa bunga utang Indonesia yang sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain.
Meskipun rasio pajak terhadap GDP Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain, yield imbal hasil obligasi Indonesia mencapai 7,2 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura atau Vietnam.
“Singapura hanya 3,2 persen, Vietnam dan thailand 2,7 persen. Itu menunjukkan bahwa bunga yang kita harus bayar pasti lebih besar dari negara lain,” pungkasnya. (*)