KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah perjalanan wisatawan nusantara mengalami penurunan dalam tiga bulan berturut-turut di tahun 2024. Terhitung sejak bulan Juni jumlah perjalanan wisatawan nusantara sebesar 83.472.282, berangsur menurun pada bulan Juli sebesar 77.243.874, dan bulan Agustus sebanyak 75.878.249.
Di sisi lain, BPS juga mencatat deflasi yang dialami Indonesia secara beruntun sejak Mei hingga September 2024. Adapun deflasi bulan September tercatat sebesar 0,12 persen jika dilihat dari bulan sebelumnya.
Menanggapi tren penurunan tersebut, Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia, Azril Azahari, menilai deflasi yang terjadi sejak lima bulan terakhir menandakan ekonomi dalam negeri yang tidak tumbuh. Akibatnya, kata dia, terjadi penurunan daya beli masyarakat yang diiringi dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Dempaknya pula akan merusak perekonomian kita karena pertumbuhan ekonomi yang semakin melemah dan pengangguran semakin tinggi, karena semakin melemahnya daya beli masyarakat," kata Azil saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 14 Oktober 2024.
Pada titik tertentu, Azril menilai kondisi tersebut dapat berdampak pada industri penyedia jasa. Hal ini memicu turunnya angka perjalanan wisatawan domestik. Menurutnya, pemerintah perlu segera menyiasati deflasi yang terjadi untuk memitigasi dampak negatif deflasi pada aktivitas pasar pariwisata. "Artinya penurunan jumlah perjalanan wisatawan domestik harus dicegah termasuk semakin menurunnya daya beli wisatawan domestik," katanya.
Azril menekankan penurunan jumlah perjalanan wisatawan domestik perlu segera di antisipasi pemerintah. Menurutnya, ada beberapa cara yang dapat diambil pemerintah melalui perlindungan nilai deflasi seperti obligasi berperingkat investasi hingga uang tunai. "Guna mengurangi uang tersimpan di bank sehingga mampu meningkatkan kembali daya beli masyarakat," ujarnya.
Azril berharap pun pemerintahan mendatang bisa segera mengembalikan kondisi ekonomi dalam negeri. Ia juga berharap Indonesia tak mengalami krisis finansial sebagaimana yang terjadi di Asia pada Maret hingga September 1999 lalu. "Semoga tidak terjadi seperti krisis finansial Asia pada Maret-September 1999," katanya.
Serupa Krisis 1999 tapi Tak Sama
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, sebelumnya mengatakan deflasi beruntun yang terjadi sejak Mei hingga September 2024 mengindikasikan terjadinya pelemahan daya beli. Tidak hanya daya beli, dia juga menyebut saat ini berdampak pada menurunnya tabungan dan kredit bermasalah di industri jasa keuangan.
"Deflasi ini merupakan indikasi kuat terjadinya pelemahan daya beli," kata Samirin saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 7 Oktober 2024.
Di sisi lain, Samirin menyebut data Purchasing Managers' Index (PMI) memperkuat indikasi lemahnya daya beli seiring dengan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belakangan marak terjadi. Menurutnya, kondisi tersebut menggambarkan pesimisme sektor industri.
"Menggambarkan produsen pun merasa pesimis dengan prospek bisnisnya. Saat konsumen dan produsen tidak optimis, penurunan ekonomi merupakan konsekuensi yang harus dihadapi," kata Samirin.
Diketahui, deflasi yang terjadi pada bulan September 2024 menjadi yang kelima secara beruntun di tahun ini. Secara rinci terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.
Ini merupakan deflasi berturut-turut dalam lima bulan terakhir. Bahkan, jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, deflasi yang terjadi tahun ini merupakan kondisi terparah sejak tahun 1999. Samirin sendiri menilai, kondisi ekonomi saat ini mengkhawatirkan.
Akan tetapi, Samirin menilai, kondisi saat ini masih relatif lebih baik jika dibandingkan dengan situasi 1999. Pasalnya pada saat itu, Rupiah kehilangan nilai, kredit macet perbankan menggunung, terjadi bank rush yang menyebabkan collapse, hingga ekonomi regional yang sedang bermasalah.
"Saat ini, banyak dari faktir-faktor tersebut tidak terjadi, sehingga kita tidak perlu khawatir secara berlebih," tutupnya.
Jokowi Angkat Bicara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bicara soal kondisi deflasi yang terjadi di Indonesia selama lima bulan berturut-turut. Menurut dia, deflasi bisa terjadi karena dua hal, pertama penurunan harga yang terjadi karena pasokan dan distribusi bahan pokok yang baik. Kedua, deflasi juga bisa terjadi karena adanya daya beli yang berkurang.
Ia menekankan harus dicari tahu di antara dua hal tersebut mana yang jadi penyebab deflasi untuk melihat apakah deflasi menjadi alarm bahaya atau justru keuntungan buat masyarakat.
“Coba dicek betul deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi enggak ada hambatan. Atau karena memang ada daya beli yang berkurang,” kata Jokowi di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Minggu, 6 Oktober 2024.
Namun dia menekankan pengendalian harga, baik deflasi maupun inflasi harus bisa dikendalikan dengan baik. Hal ini dilakukan agar semua pihak tetap mendapatkan keuntungan. Di sisi produsen dan distributor tetap bisa mendapatkan untung usaha, di sisi konsumen bisa mendapatkan suatu barang dengan harga terjangkau.
“Apapun yang namanya deflasi maupun inflasi itu memang dua-duanya harus dikendalikan sehingga harga stabil tidak merugikan produsen, petani, nelayan, UMKM, dan pabrikan. Tapi harganya terjangkau oleh konsumen, tidak naik,” tutur Jokowi.
Secara tahunan, kata Jokowi, Indonesia masih mengalami inflasi 1,8 persen. Artinya, harga di pasar tetap terjaga dengan seimbang. Menurutnya, pengendalian keseimbangan harga memang menjadi pekerjaan rumah pemerintah saat ini. “Menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus,” katanya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.