KABARBURSA.COM - Ketidakpastian ekonomi global yang meningkat dan tekanan domestik akibat deflasi memperkuat tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda ditutup melemah 55 poin pada perdagangan Selasa 3 Juni 2025 ke level Rp16.308 per dolar AS, setelah sempat menyentuh pelemahan 70 poin.
Prediksi untuk perdagangan Rabu menunjukkan rupiah masih berada dalam tekanan, diperkirakan bergerak fluktuatif di kisaran Rp16.300–Rp16.370.
Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, menyebut bahwa saat ini rupiah berada dalam tekanan ganda.
"Di luar, ada kekacauan geopolitik dan ketidakpastian fiskal AS. Di dalam negeri, deflasi yang terjadi berulang kali menunjukkan bahwa konsumsi belum pulih sepenuhnya," kata Ibrahim dalam keterangannya.
Lebih lanjut, di ranah global, indeks dolar AS menguat setelah ketegangan geopolitik meningkat. Serangan drone Ukraina ke Rusia menggagalkan harapan untuk proses damai yang sempat dibicarakan awal pekan.
Di saat yang sama, ketegangan juga muncul dari Timur Tengah, menyusul pernyataan seorang diplomat Iran yang menolak tawaran Amerika Serikat dalam negosiasi nuklir.
Ibrahim menambahkan bahwa risiko geopolitik yang membesar, termasuk potensi aksi militer dari Israel jika perundingan AS-Iran gagal, menciptakan kecemasan berlapis di pasar.
Sementara itu, kekhawatiran terhadap kesehatan fiskal AS turut memperkuat dolar.
“RUU pemotongan pajak yang didukung Trump tengah diproses di Kongres, dan bila lolos, dikhawatirkan memperburuk beban utang AS. Ini membuat investor memburu aset safe haven seperti dolar AS,” ungkapnya.
Dari Asia, data PMI Caixin Tiongkok yang mengalami kontraksi tak terduga pada Mei juga menambah tekanan global. Data ini menegaskan bahwa ekonomi China—yang selama ini menjadi motor permintaan komoditas dunia—mulai kehilangan tenaga akibat dampak perang dagang dengan AS.
Hal ini, menurut Ibrahim, dapat melemahkan permintaan terhadap ekspor Indonesia ke depan, khususnya komoditas.
Di dalam negeri, tekanan tidak kalah mengkhawatirkan. Indonesia kembali mengalami deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan pada Mei, menjadikannya deflasi ketiga sepanjang 2025.
Ibrahim menyebutkan bahwa deflasi ini lebih dari sekadar penurunan harga—melainkan gejala stagnasi ekonomi yang tak bisa diabaikan.
“Masyarakat berhenti belanja, bukan karena tidak butuh, tapi karena tidak yakin akan masa depan pendapatannya," ujarnya.
Lebih lanjut, ia memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 kemungkinan besar kembali di bawah 5 persen.
Hal ini menjadi lampu kuning bagi stabilitas ekonomi nasional, terutama karena konsumsi rumah tangga—penopang utama PDB—masih melemah.
Sinyal pelemahan juga tampak dari neraca perdagangan Indonesia. Meskipun masih surplus, angkanya kian menipis. Surplus pada April 2025 hanya sebesar US$160 juta, jauh menyusut dibanding bulan sebelumnya yang mencapai USD4,33 miliar.
Penopang utama surplus adalah komoditas nonmigas, seperti bahan bakar mineral dan minyak nabati, tetapi nilainya juga menyusut tajam.
Defisit dari komoditas migas tercatat sebesar USD1,35 miliar, meski sedikit membaik dari defisit USD1,67 miliar pada Maret.
Ibrahim menilai bahwa kondisi ini menandakan ketergantungan Indonesia pada beberapa sektor ekspor utama semakin rentan.
"Diversifikasi pasar ekspor dan komoditas harus jadi prioritas pemerintah. Terlalu bergantung pada sektor tertentu membuat ekonomi mudah terguncang," ujarnya.
Dengan tekanan dari dua sisi, ia menekankan pentingnya pemerintah mengambil langkah tegas dan terukur.
“Bank Indonesia tidak bisa sendirian. Koordinasi fiskal dan moneter harus diperkuat, dan komunikasi kebijakan kepada pasar perlu ditingkatkan,” katanya.(*)