KABARBURSA.COM - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI mengungkapkan, deflasi bulanan pada komponen harga sebesar 0,11 persen (mount-to-mount/mtm) pada bulan Oktober 2024 menjadi 1,34 persen mtm pada bulan Septemer 2024.
“Kondisi ini menandai terjadinya deflasi ketujuh berturut-turut untuk komponen harga ini didorong oleh penurunan harga pada berbagai jenis cabai, kentang, dan ikan segar,” kata Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI Teuku Riefky, dalam keterangannya, Rabu, 20 November 2024.
Penurunan harga tersebut, kata Riefky, terjadi seiring dengan peningkatan pasokan musim panen yang sedang berlangsung. Peningkatan pasokan terjadi kepada komoditas holtikultura. Hal inilah yang kemudian berkontribusi menurunkan harga.
Selain penurunan harga, inflasi tahunan untuk komponen harga yang diatur pemerintah turun 1,40 persen (year-on-year/yoy) pada Oktober 2024. Di sisi lain, harga yang telah diatur pemerintah secara bulanan juga mengalami deflasi lebih dalam, yakni sebesar 0,25 persen mtm pada Oktober 2024 dibandingkan dengan 0,04 persen mtm pada September 2024.
“Deflasi ini terutama disebabkan oleh penyesuaian harga bahan bakar nonsubsidi dan tarif transportasi udara, dengan harga bensin menjadi faktor utama,” ujarnya.
Meski terjadi perubahan dari deflasi bulanan ke inflasi, lanjut dia, perubahan harga terus menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Menurutnya, hal ini tidak mencerminkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Kenaikan inflasi inti mengindikasikan stabilitas permintaan dalam beberapa waktu belakangan.
“Tren yang diamati lebih disebabkan oleh faktor musiman yang memengaruhi harga pangan bergejolak, sementara harga yang diatur pemerintah mencerminkan kecenderungan langkah-langkah pengendalian harga sebagai respons terhadap penurunan daya beli dari periode sebelumnya,” ujarnya.
Menurutnya, indikator tersebut mendorong Bank Indonesia (BI) optimistis bila inflasi akan tetap berada dalam kisaran target 1,5 persen hingga 3,5 persen untuk tahun 2024 dan 2025.
“Bank Indonesia dapat mengantisipasi prospek inflasi yang lebih baik menjelang akhir tahun, didorong oleh peningkatan permintaan musiman di akhir tahun dan perbaikan ekonomi yang moderat,” tuturnya.
Kendati demikian, ia menyebut ada risiko tekanan inflasi yang berasal dari impor dapat berasal dari pelemahan rupiah yang dipengaruhi oleh ketidakpastian arah penurunan suku bunga The Fed ketika Trump berkuasa di tengah ekspektasi inflasi AS yang lebih tinggi.
Target Inflasi Bank
Pada Oktober 2024, Indeks Harga Konsumen (CPI) Indonesia mencatat tingkat inflasi tahunan sebesar 1,71 persen secara year-on-year (YoY), mendekati batas bawah target inflasi Bank Indonesia sebesar 2,5 persen dengan deviasi standar 1 persen.
Analis NH Korindo Indonesia yang juga seorang ekonom Ezaridho Ibnutama, dalam risetnya, Minggu, 3 November 2024, mengatakan meskipun masih berada dalam kisaran target bank sentral, tingkat inflasi ini mencerminkan tren penurunan yang berlanjut sejak Maret 2024. Tren ini dimulai sebulan setelah pemilihan presiden umum, dan menunjukkan bahwa tekanan deflasi masih bertahan.
Namun, data inflasi Oktober 2024 memberikan secercah harapan. Tingkat inflasi bulanan stabil pada 0,08 persen month-on-month (MoM) setelah lima bulan berturut-turut mengalami deflasi. Ini menunjukkan potensi rebound inflasi, meskipun masih dalam skala kecil. Meskipun terjadi sedikit peningkatan, terlalu dini untuk menyatakan bahwa Indonesia telah sepenuhnya keluar dari tren deflasi.
Meskipun inflasi bulanan Oktober stabil, para ekonom tidak memperkirakan lonjakan inflasi secara tiba-tiba pada November 2024. Beberapa faktor berperan, di mana sisi permintaan diperkirakan akan didorong oleh pemilihan lokal pada November, seperti pemilihan gubernur Jakarta. Peristiwa ini cenderung meningkatkan pengeluaran, terutama dalam perekonomian lokal.
Namun, dinamika sisi penawaran menunjukkan cerita yang berbeda. Indonesia terus dibanjiri impor yang lebih murah, terutama dari Tiongkok, yang kemungkinan akan mempertahankan tekanan turun pada harga. Impor murah ini mengurangi risiko inflasi dan menjaga stabilitas harga, menyeimbangkan tekanan dari peningkatan permintaan yang didorong oleh pemilihan.
Inflasi pada Oktober 2024 terutama didorong oleh sekelompok barang esensial. Kenaikan harga tertinggi terjadi pada:
- Perhiasan emas (0,35 persen YoY): Kenaikan harga emas disebabkan oleh ketidakpastian global, yang menjadikan emas sebagai aset safe haven bagi investor.
- Beras (0,15 persen YoY): Sebagai makanan pokok, beras terus mengalami inflasi moderat, kemungkinan akibat kondisi cuaca dan ketergantungan impor.
- Rokok (0,13 persen YoY): Harga rokok naik moderat, mencerminkan kenaikan cukai rokok.
- Kopi bubuk (0,10 persen YoY): Sebagai kebutuhan harian banyak orang Indonesia, harga kopi mengalami inflasi moderat, kemungkinan akibat gangguan rantai pasokan dan peningkatan permintaan.
Fakta bahwa inflasi terkonsentrasi pada barang-barang esensial mencerminkan kebiasaan pengeluaran yang hati-hati di kalangan konsumen Indonesia. Dalam lingkungan di mana tekanan inflasi terbatas, rumah tangga tampaknya lebih fokus pada pengeluaran kebutuhan pokok daripada barang-barang sekunder, yang menunjukkan adanya kehati-hatian ekonomi.
Prospek November dan Desember 2024
Ke depan, para ekonom memprediksi bahwa tingkat inflasi pada November 2024 kemungkinan akan mencerminkan inflasi Oktober, sebagian besar karena faktor-faktor yang sama, permintaan yang didorong oleh pemilihan dan pasokan yang stabil dari impor murah. Keseimbangan antara kekuatan ini diperkirakan akan menjaga stabilitas inflasi, meskipun tidak akan jauh lebih tinggi dari tingkat inflasi Oktober.
Namun, gambaran ini bisa berubah pada Desember 2024. Beberapa faktor risiko dapat mendorong CPI kembali ke wilayah deflasi. Potensi kenaikan tarif impor oleh pemerintah dan pembatasan impor yang lebih ketat dapat memberikan tekanan inflasi dari sisi pasokan. Jika impor menjadi lebih mahal atau dibatasi, harga barang di Indonesia bisa naik, yang akan memperburuk tekanan inflasi.
Bagi kelas menengah yang terus berkembang dan rumah tangga berpenghasilan rendah, ini bisa menjadi masalah. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok akibat terbatasnya pasokan dapat melemahkan daya beli konsumen, membuat banyak orang Indonesia kesulitan mengeluarkan uang untuk kebutuhan selain yang paling mendasar.(*)