KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa dampak dari deflasi yang berlangsung selama empat bulan berturut-turut serta penurunan kelas menengah belum terlihat mempengaruhi sektor jasa keuangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa meskipun Indonesia mengalami deflasi selama empat bulan terakhir, inflasi inti justru menunjukkan peningkatan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa permintaan masih tetap tinggi.
"Dapat kita simpulkan bahwa terjadinya deflasi dan penurunan jumlah kelas menengah, dilihat dari angka-angka yang ada dalam sektor jasa keuangan nampaknya belum atau tidak memperlihatkan dampak yang signifikan," katanya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Agustus 2024 di Youtube OJK, Jumat 6 September 2024
Mahendra juga memaparkan sejumlah data terkait sektor jasa keuangan per Juli 2024. Sebagai contoh, kredit perbankan secara keseluruhan tumbuh sebesar 12,4 persen.
Selain itu, piutang pembiayaan meningkat 10,53 persen dan outstanding pembiayaan naik 23,97 persen. Ia menekankan bahwa data tersebut menunjukkan pertumbuhan dan kinerja sektor jasa keuangan yang tetap stabil.
"Tentu kita berharap hal itu (deflasi dan menurunnya kelas menengah) tidak akan terjadi dampak signifikan,"
Mahendra juga menyatakan bahwa pemerintah, melalui OJK, terus mengambil berbagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang mungkin terjadi. Ia berharap agar kinerja dan pertumbuhan sektor jasa keuangan serta perekonomian secara umum dapat tetap terjaga dengan baik.
"Di lain sisi, pemerintah dalam hal ini kami di OJK terus melakukan berbagai langkah untuk terus mengantisipasi kemungkinan dampak-dampak yang kurang baik," tandasnya.
Daya Beli Masyarakat Bergerak Lambat
Dia menyoroti lambatnya pemulihan daya beli masyarakat. Kata dua laju inflasi nasional, terutama pada komponen inti, cenderung stabil hingga Agustus 2024, dengan tingkat inflasi mencapai 0,20 persen secara bulanan (month to month/mtm).
“Namun, perlu diperhatikan bahwa pemulihan daya beli yang sedang berlangsung saat ini relatif lambat,” kata Mahendra dalam konferensi pers Hasil RDK Bulanan Agustus 2024 yang digelar secara virtual, Jumat, 6 September 2024.
Indikator perekonomian tersebut perlu dicermati untuk menjaga kinerja sektor pasar keuangan domestik, yang saat ini sedang “kebanjiran” aliran modal asing.
Mahendra menyebutkan, pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia, tengah banyak menerima aliran modal asing, khususnya ke instrumen obligasi, seiring dengan ekspektasi penurunan tingkat suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
“Di pasar domestik kinerja perekonomian masih cukup positif dan cenderung stabil dengan tingkat inflasi inti yang terjaga, dan neraca perdagangan yang tercatat surplus,” tuturnya.
Meskipun demikian, Mahendra meminta kepada para pemangku kepentingan, khususnya pelaku industri, untuk tetap berhati-hati dan menyiapkan langkah antisipatif, sebab ketidakpastian global masih berlanjut.
Ketidakpastian yang dimaksud utamanya bersumber dari sentimen pelemahan ekonomi China, gelaran Pemilihan Presiden AS, serta tensi geopolitik yang masih tinggi di sejumlah kawasan.
“OJK meminta industri untuk menilai down side risk secara berkala, seperti menyediakan buffer yang memadai dan pelaksanaan uji ketahanan secara periodik,” ucap Mahendra.
Deflasi Empat Bulan
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut pada tahun 2024 masih mencerminkan adanya pelemahan daya beli masyarakat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi bulanan (month-to-month/mtm) pada Agustus 2024 tercatat sebesar 0,03 persen. Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi mencapai 2,12 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) berada di angka 106,06.
“Meski deflasi menunjukkan perbaikan dari 0,08 persen pada Juli 2024 menjadi 0,03 persen pada Agustus 2024 secara month-to-month, pelemahan daya beli masih terlihat jelas, terutama dalam sektor makanan, minuman, dan tembakau. Hal ini menunjukkan bahwa industri-industri ini mungkin terimbas oleh penurunan daya beli,” ujar Nailul di Jakarta, dikutip Sabtu 7 September 2024.
Nailul menjelaskan bahwa sektor-sektor tersebut menghadapi dampak dari turunnya permintaan terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Deflasi yang berlanjut sepanjang 2024 terkait erat dengan lemahnya permintaan, sedangkan sisi suplai juga menunjukkan keterbatasan, terlihat dari penggunaan kapasitas industri yang hanya mencapai 73,7 persen.
Ia menambahkan bahwa pelemahan daya beli memicu efek domino yang berimbas pada Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur dan kapasitas produksi.
PMI Manufaktur pada Agustus 2024 mengalami kontraksi, turun menjadi 48,9 poin atau menyusut 0,4 poin dibandingkan bulan sebelumnya.
Nailul membandingkan kondisi ini dengan krisis ekonomi global 2008-2009 dan dampak pandemi COVID-19 pada 2020-2021, di mana deflasi juga dipicu oleh faktor eksternal.
Namun, Nailul menekankan bahwa deflasi tahun ini memiliki karakteristik yang berbeda. Ketika pandemi, pembatasan mobilitas termasuk ke pabrik memengaruhi deflasi, sedangkan saat ini, deflasi lebih dipengaruhi oleh kebijakan yang menekan daya beli, seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Lebih lanjut, Nailul menggarisbawahi bahwa kebijakan fiskal pemerintah, seperti kenaikan harga BBM dan PPN, bisa mempercepat inflasi dan semakin menekan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. “Akhirnya, masyarakat kelas menengah terpaksa menggunakan tabungan mereka. Pemerintah seharusnya mempertahankan daya beli selama masa pemulihan ekonomi, namun malah menaikkan harga Pertalite, BBM yang banyak digunakan,” jelasnya.
Selain itu, Nailul mencatat penurunan inflasi inti (core inflation) yang rendah pada Agustus 2024, hanya mencapai 1,52 persen secara kalender berjalan (ytd).
Celios memperingatkan bahwa pelemahan daya beli berpotensi berlanjut dan berdampak lebih luas pada sektor ekonomi nasional, terutama dengan potensi kenaikan inflasi pada 2025 akibat peningkatan PPN menjadi 12 persen. “Inflasi inti sebelum pandemi rata-rata 3-4 persen. Tahun 2023, inflasi inti hanya 2,8 persen, dan pada Agustus 2024, inflasi inti hanya 1,52 persen. Ini mengindikasikan adanya masalah serius dari sisi permintaan,” kata Nailul Huda. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.