Logo
>

Dewan Pakar Prabowo-Gibran: Lahan Sawit Bisa Kurangi Serapan Karbon Dioksida

Ditulis oleh KabarBursa.com
Dewan Pakar Prabowo-Gibran: Lahan Sawit Bisa Kurangi Serapan Karbon Dioksida

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Dewan Pakar Prabowo-Gibran, Ali Mundakir, mengatakan pembukaan lahan perkebunan sawit dapat menurunkan penyerapan karbon dioksida atau CO2 pada tahap awal. Meski demikian, ia menilai dampak negatif ini hanya bersifat sementara dan akan berkurang seiring perkembangan tanaman sawit.

    Hal tersebut ia sampaikan dalam acara "Transisi Energi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen," Kamis, 10 Oktober 2024. Menurutnya, pembukaan lahan sawit seringkali diasosiasikan negatif, padahal tanaman sawit yang sudah tumbuh besar memiliki kemampuan untuk menyerap karbon.

    "Begitu tanaman sawit sudah tumbuh dan berproduksi, justru mereka menyerap karbon. Ini yang perlu disadari," kata Ali.

    Ali mengatakan pembukaan lahan sawit sering kali dipandang negatif. Namun, menurutnya, setelah lahan tersebut berubah menjadi perkebunan sawit, fungsinya dapat menyerupai hutan lainnya dalam hal penyerapan karbon. Di sisi lain, Ali juga menyebut Presiden terpilih Prabowo Subianto telah dipertimbangkan dengan matang. Dia pun menyebut pemerintah mendatang telah mengukur kebutuhan sawit untuk kebutuhan makanan dan biodiesel.

    Hal itu juga berkaitan dengan program swasembada energi yang direncanakan Prabowo. Diketahui, program swasembada energi mendorong pemanfaatan komoditas sawit dalam bauran bahan bakar minyak, yakni B40. Ali menjelaskan kebutuhan minyak goreng dalam negeri diperkirakan sekitar 10 hingga 11 juta ton, sedangkan kebutuhan polychemical hanya sekitar 2 juta ton per tahun. "Jadi katakanlah 27 juta ton let's say sampai 30 juta ton untuk kebutuhan domestik, biodiesel minyak goreng maupun poly chemical kita masih punya spare 22 juta ton sampai 25 juta ton untuk kita ekspor,” ungkapnya.

    Ali menyebut Indonesia memiliki potensi besar di sektor CPO mengingat kontribusi besar Indonesia terhadap kebutuhan minyak sawit dunia. Prabowo sendiri, tutur dia, menargetkan bauran sawit pada bahan bakar minyak, B40 yang hendak ditingkatkan ke B50. Adapun Indonesia sendiri sudah bicara dengan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) ihwal program B50. Berdasarkan hasil diskusi, tutur Ali, tidak diperlukan modifikasi mesin.

    “Tidak terjadi modifikasi atau perubahan mesin yang existing, yang sekarang sudah dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Itu yang disampaikan oleh ATPM,” katanya.

    B50 Daya Tawar Indonesia

    Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menegaskan pengembangan kelapa sawit sebagai bahan bakar biodiesel B50 menjadi penanda besar langkah pemerintah Indonesia dalam mencapai ketahanan energi. Apalagi, kata dia, kelapa sawit merupakan komoditas primadona yang paling siap dipasarkan ke secara global.

    “Saya kira dari semua komoditi perkebunan, sawit ini yang paling siap untuk kita pasarkan. Misalnya dikonversi menjadi B50 sebagai bagian dari bargaining kita kepada dunia,” kata Sudaryono dalam keterangannya, dikutip Sabtu, 14 September 2024.

    Sudaryono sendiri optimis Indonesia dapat mengendalikan harga komoditas sawit dunia apabila konversi terus dilakukan secara cepat. Apalagi, kata dia, 60 persen sawit dunia dikuasai Indonesia dengan lahan perkebunan yang sangat luas.

    “Artinya kalau produktivitas kita tinggi tetapi harga jatuh, kita konversi sebagian untuk B50. Jadi kita ada bandulan. Sama seperti Brazil melakukan bandulan antara gula sama bioetanol. Jadi saat harga gula tinggi, dia produksi di gula supaya harga gula turun,” katanya.

    Sebagai produsen kelapa sawit terbesar, tutur Sudaryono, pemerintah telah menyediakan substitusi negara tujuan ekspor untuk memastikan pasar perdagangan hasil panen petani.

    “Sekarang ini kita sudah punya substitusi, jadi kalau misalnya negara tujuan ekspor mempersulit dan lain-lain, kita bisa substitusi menjadi energi,” jelasnya.

    Sudaryono menegaskan pemerintah berkomitmen untuk terus mendukung peningkatan biodiesel dari komoditas sawit. Bahkan ke depan, pemrograman sudah melakukan upaya pengembangan dari B50 ke B100.

    “Jadi ini akan terus ditingkatkan dari B50, bahkan secara teknologi B100 sudah berhasil,” katanya.

    Menuju NZE 2060

    Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Agus Pramono menjelaskan, saat ini dunia tengah bertransisi menuju penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan. Indonesia menargetkan bisa mencapai nol emisi atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

    Agus berharap semua lembaga negara yang terkait dalam mewujudkan program ketahan pangan dan energi seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) serta Kementerian ESDM bisa terus memperkuat kerjasama untuk dapat menggenjot produksi pengembangan energi baru terbarukan dan energi berbasis bahan baku nabati.

    “Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia dalam bidang energi baru terbarukan dan energi berbasis bahan baku nabati,” jelasnya.

    Agus mengatakan pemerintah harus memberikan insentif untuk mendukung pengembangan bioetanol di dalam negeri. Sebab saat ini terdapat beberapa pekerjaan rumah di Indonesia yang perlu segera dituntaskan untuk mendukung pengembagan bioetanol.

    Apalagi, lanjut Agus, Indonesia pada saat ini mempunyai 13 pabrik bioetanol dengan kapasitas produksi 365 Juta liter per tahun. “Pada saat saat ini, untuk memenuhi kebutuhan bensin dalam negeri Pertamina masih melalukan impor sebesar 57 persen (56.368.118 liter/hari),” ungkapnya.

    Oleh karenanya, dengan menjalankan program bioetanol 5 persen (E5) sebagai campuran bahan bakar bensin, selain untuk menurunkan emisi di sektor energi juga untuk mengurangi impor bensin.

    “Keperluan bioethanol fuel grade untuk program E5 berkisar 5 juta liter/hari dan program ini akan dijalankan secara bertahap dengan target implementasi program E5 tercapai di seluruh Indonesia pada tahun 2028,” katanya.

    Selain itu, untuk program E10, yang memerlukan bioethanol fuel grade setidaknya 10 juta liter hari, akan diimplementasikan secara bertahap mulai tahun 2029 dan tercapai implementasi E10 diseluruh Indoneaia pada tahun 2035.

    “Dari 13 pabrik bioetanol yang ada dengan kapasitas produksi hanya 1 juta liter per hari, sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan program E5, E10 dan seterusnya, diperlukan penambahan areal perkebunan dan jumlah pabrik bioethanol,” katanya.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi