Logo
>

Di Balik Label ‘Optimis’ BI, Keyakinan Konsumen Melemah

Bank sentral mengklaim bahwa keyakinan konsumen masih bertahan di zona optimis, namunsejumlah komponen dalam IKK justru menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Kenapa begitu?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Di Balik Label ‘Optimis’ BI, Keyakinan Konsumen Melemah
Ilustrasi.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Judul siaran pers Bank Indonesia pada 9 Mei 2025 berbunyi "Keyakinan Konsumen Terjaga". Pernyataan itu menjadi pembuka dari hasil survei konsumen periode April 2025 yang dirilis pada Minggu, 11 Mei. 

    Bank sentral mengklaim bahwa keyakinan konsumen masih bertahan di zona optimis, terlihat dari angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang mencapai 121,7 poin. Angka ini naik tipis dibanding Maret 2025 yang sebesar 121,1 poin.

    Ekonom Bright Institute Awalil Rizky, mengajak publik untuk tidak hanya terpaku pada label “optimis” yang dipakai BI. Menurutnya, sejumlah komponen dalam IKK justru menunjukkan tanda-tanda pelemahan.

    "Memang IKK April 2025 mencapai 121,7 atau masuk dalam zona optimis. Nilainya meningkat tipis dibanding Maret 2024 yang sebesar 121,1 tetapi lebih rendah jika dibandingkan April 2023 (126,1) dan April 2024 (127,7)," jelas Awalil dalam keterangan resmi pada Senin, 12 Mei 2025.

    Sebagai informasi, survei konsumen yang menghasilkan IKK ini dilakukan rutin setiap bulan oleh Bank Indonesia, dengan melibatkan sekitar 4.600 rumah tangga dari 18 kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Padang, Bandung, Surabaya, hingga Makassar dan Ambon.

    Metodologi yang digunakan adalah Balance Score, yakni menghitung saldo bersih dari perbedaan antara responden yang menjawab meningkat dan yang menjawab menurun, kemudian ditambah angka 100. Indeks di atas 100 berarti optimis, dan di bawahnya menandakan pesimisme.

    Jika dilihat lebih dekat, optimisme konsumen tidak merata. Berdasarkan kelompok pengeluaran, peningkatan IKK hanya terjadi di kelompok pengeluaran menengah-atas, yaitu mereka yang membelanjakan lebih dari Rp 5 juta (127,9) dan Rp 4,1–5 juta (125,2). Sebaliknya, kelompok pengeluaran Rp 1–2 juta justru menunjukkan penurunan keyakinan dibanding bulan sebelumnya.

    Dari sisi kelompok usia, hampir semua menunjukkan kenaikan IKK. Kelompok usia 20–30 tahun mencatat optimisme tertinggi (126,4), disusul usia 31–40 tahun (123,0), dan 41–50 tahun (120,9). Namun, kelompok usia di atas 60 tahun mengalami penurunan keyakinan, mengindikasikan kekhawatiran ekonomi yang lebih kuat di kalangan lanjut usia.

    Secara geografis, indeks tetap berada dalam zona optimis di seluruh kota yang disurvei, dengan peningkatan tertinggi terjadi di Bandung, Medan, dan Jakarta.

    Kenaikan IKK sendiri disokong oleh perbaikan persepsi masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini. Hal ini tercermin dalam Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) yang naik dari 110,6 di Maret 2025 menjadi 113,7 pada April 2025.

    Tren Positif IKK Hanya Stabilisasi Jangka Pendek 

    Senior Ekonom Fithra Faisal Hastiadi, menilai tren positif IKK saat ini lebih mencerminkan stabilisasi jangka pendek ketimbang pemulihan struktural.

    “Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia sedikit meningkat pada April 2025, naik tipis menjadi 121,7 dari sebelumnya 121,1 pada Maret. Ini mematahkan tren penurunan selama tiga bulan terakhir dan mengisyaratkan stabilisasi sementara dalam sentimen rumah tangga,” ujar Fithra dalam pernyataan resminya pada Minggu, 11 Mei 2025.

    Ia menjelaskan, peningkatan indeks ditopang oleh persepsi yang lebih kuat terhadap kondisi ekonomi saat ini, seperti halnya persepsi pendapatan, serta pandangan terhadap ketersediaan lapangan kerja dibandingkan enam bulan lalu.

    Secara rinci, persepsi terhadap kondisi ekonomi saat ini naik 3,1 poin ke level 113,7, persepsi pendapatan naik 4,1 poin ke 125,4, dan pandangan tentang ketersediaan lapangan kerja enam bulan lalu naik 1,3 poin ke 101,6.

    Pemulihan ini, kata Fithra, belum merata dan masih dibayangi banyak risiko. Sub-indeks ketersediaan kerja secara keseluruhan justru menurun (-2,4 poin ke 123,5), begitu pula dengan pandangan terhadap prospek ekonomi (-1,9 poin ke 129,8). Dengan kata lain, ketidakpastian masih berlangsung karena kekhawatiran terhadap pasar tenaga kerja yang masih mengemuka.

    Ia juga menyoroti perbedaan yang semakin besar antara sentimen konsumen saat ini dengan proyeksi ke depan. Menurutnya, kenaikan dalam persepsi pendapatan lebih disebabkan oleh faktor musiman seperti bonus dan peningkatan likuiditas rumah tangga usai Idul Fitri. Namun, penurunan indeks prospek ekonomi menunjukkan kewaspadaan masyarakat dalam memandang masa depan.

    “Belanja rumah tangga selama Lebaran lebih rendah dari perkiraan, dan kinerja ritel belum sepenuhnya pulih. Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa pemulihan konsumsi rumah tangga masih dangkal dan tidak konsisten,” tambahnya.

    Sentimen Konsumen Diprediksi Tetap Datar

    Fithra memprediksi bahwa dalam jangka pendek, sentimen konsumen mungkin tetap datar atau sedikit positif. Faktor musiman seperti perbaikan pendapatan rumah tangga dan kemungkinan suntikan fiskal dari pemerintah bisa menjadi penopang. 

    Namun, sejumlah risiko seperti keterlambatan eksekusi anggaran akibat transisi politik, lemahnya penciptaan lapangan kerja formal, serta tekanan terhadap nilai tukar Rupiah masih membayangi.

    “Meskipun pemulihan pada April memberikan sedikit kelegaan jangka pendek, diperlukan sinyal kebijakan yang lebih kuat dan konsisten—khususnya dalam hal ketenagakerjaan, pengendalian inflasi, dan belanja sosial—untuk benar-benar mendorong dan menopang keyakinan konsumen secara bermakna dan berkelanjutan,” tegas Fithra.

    Ia mengingatkan bahwa konsumsi rumah tangga masih akan menjadi titik lemah dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2025, kecuali jika sentimen yang ada saat ini benar-benar mampu berubah menjadi peningkatan pengeluaran riil.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.