Logo
>

Dinamikanya Panjang, Kebijakan Upah Minimum Dinilai Picu Ketidakpastian Usaha

Perubahan tidak hanya terjadi pada dasar perhitungan, tetapi juga pada mekanisme penetapannya

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Dinamikanya Panjang, Kebijakan Upah Minimum Dinilai Picu Ketidakpastian Usaha
Ilustrasi pekerja. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBRSA.COM – Kebijakan upah minimum di Indonesia terus berubah sejak pertama kali diterapkan pada 1989. Sejarah panjang membikin efek berbagai sektor: Mulai dari ilkim usaha, Kebijakan sektoral hingga politisasi. Seperti apa pengaruhnya jika aturannya berubah?

    Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika, Edy Priyono, menilai perubahan tersebut tidak hanya menyangkut basis perhitungan, tetapi juga mekanisme penetapan yang kerap berdampak pada meningkatnya ketidakpastian bagi dunia usaha.

    Pada tahap awal penerapannya, upah minimum disusun berdasarkan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Seiring perkembangan, pendekatan tersebut bergeser menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dengan tambahan komponen pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Skema itu kemudian diperluas lagi melalui Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan cakupan komoditas yang semakin besar.

    Perubahan tidak hanya terjadi pada dasar perhitungan, tetapi juga pada mekanisme penetapannya. Dalam periode panjang, besaran upah minimum dirumuskan melalui Dewan Pengupahan Daerah yang melibatkan unsur pekerja, pengusaha, pemerintah daerah, dan akademisi. Namun, mekanisme ini kerap menemui jalan buntu akibat perbedaan kepentingan antara buruh dan pengusaha.

    Edy menilai, ketika kebuntuan terjadi, keputusan akhir sering kali berada di tangan kepala daerah. Kondisi ini kemudian membuka ruang politisasi, terutama setelah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Dalam sejumlah kasus, kenaikan upah minimum dijadikan sebagai janji politik untuk menarik dukungan pekerja.

    “Bahkan, kebuntuan dalam perundingan kerap terjadi secara sengaja agar kepala daerah dapat mengambil keputusan sesuai agenda politiknya,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 18 Desember 2025.

    Dampak dari praktik tersebut membuat besaran kenaikan upah minimum menjadi sulit diprediksi dan menambah ketidakpastian biaya bagi pelaku usaha.

    Untuk menekan politisasi, pemerintah menerbitkan PP Nomor 78 Tahun 2015 yang mengatur formula kenaikan upah minimum berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan prasyarat upah minimum telah mencapai KHL. Namun, regulasi ini menuai penolakan dari serikat pekerja karena dianggap membatasi ruang negosiasi, sementara pengusaha menilai kenaikannya masih terlalu besar.

    Turunan Undang-Undang Ciptaker Atau Omnibuslaw

    Aturan tersebut kemudian direvisi melalui PP Nomor 36 Tahun 2021 sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Formula kenaikan diubah menjadi pertumbuhan ekonomi atau inflasi, dipilih yang lebih tinggi. Perubahan ini kembali mendapat penolakan dari kalangan buruh dan tidak bertahan lama setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan revisi Undang-Undang Cipta Kerja.

    Pemerintah lalu menerbitkan PP Nomor 51 Tahun 2023 dengan formula baru, yakni inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan koefisien antara 0,1 hingga 0,3. Skema ini dinilai sebagai kompromi dari dua regulasi sebelumnya, sekaligus mengandung mekanisme untuk menahan laju kenaikan upah minimum di daerah yang sebelumnya mengalami lonjakan akibat politisasi.

    Namun, kebijakan kembali berubah pada 2025. Pemerintah tidak menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023 dan menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen secara seragam melalui Permenaker Nomor 16 Tahun 2024. Menurut Edy, penetapan angka tersebut tidak disertai penjelasan formula yang transparan.

    “Kondisi ini rawan menghidupkan kembali politisasi serta menambah ketidakpastian bagi dunia usaha,” katanya.

    Memasuki 2026, pemerintah disebut telah menyetujui PP baru yang kembali menggunakan formula berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan koefisien lebih tinggi, yakni 0,5 hingga 0,9. Dalam skema ini, kenaikan upah minimum tidak lagi seragam, melainkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Pendekatan berbasis formula tersebut dinilai lebih mampu menekan ruang politisasi.

    Meski demikian, Edy menilai pemerintah tetap perlu mempertahankan mekanisme pengendalian di daerah dengan tingkat upah minimum yang sudah terlalu tinggi. Selain itu, regulasi baru seharusnya dimanfaatkan untuk melakukan penataan ulang kebijakan upah minimum secara mendasar.

    “Upah minimum seharusnya dikembalikan sebagai jaring pengaman bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun, bukan menjadi upah efektif untuk seluruh pekerja,” tegasnya.

    Ia menambahkan, bagi pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun, struktur dan skala upah perlu dijalankan secara konsisten agar besaran upah mencerminkan pengalaman dan produktivitas. Ketentuan tersebut juga perlu ditegakkan bagi pekerja kontrak yang bekerja bertahun-tahun di posisi dan perusahaan yang sama.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.