KABARBURSA.COM – Indeks dolar Amerika Serikat (DXY), yang mengukur performa dolar terhadap enam mata uang utama, bergerak stabil di sekitaran 98,925. Sementara terhadap Yen Jepang, Greenback menguat, mendekati level tertingginya dalam tujuh bulan terakhir.
Diketahui, dolar AS menguat 0,38 persen menjadi 152,525 yen. Kenaikan ini mendekat level tertingginya dalam tujuh bulan terakhir. Penguatan ini menunjukkan bahwa investor kembali mencari aset berdenominasi dolar di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan naiknya harga energi global.
Katalis utama penguatan dolar kali ini adalah ekspektasi pasar terhadap data inflasi Amerika Serikat yang akan dirilis Jumat. Meski pemerintahan AS masih dalam kondisi shutdown, laporan CPI tetap dijadwalkan terbit karena menjadi acuan penting bagi Social Security Administration untuk menentukan penyesuaian biaya hidup tahun 2026.
Data tersebut juga akan memberi sinyal bagi pasar mengenai arah pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Menurut Kepala Analisis Makro Monex Europe Nick Rees, meski fokus kebijakan The Federal Reserve kini lebih tertuju pada pasar tenaga kerja ketimbang inflasi, angka CPI masih relevan untuk memantau kondisi konsumsi dan laju ekonomi.
Dengan kata lain, data inflasi tetap menjadi kompas penting bagi arah kebijakan suku bunga AS dalam beberapa bulan mendatang.
Sanksi baru Amerika terhadap dua raksasa energi Rusia, Rosneft dan Lukoil, juga turut memperkuat dolar. Langkah ini mendorong lonjakan harga minyak global lebih dari lima persen, sehingga memicu tekanan bagi yen Jepang yang sangat bergantung pada impor energi.
Marc Chandler dari Bannockburn Capital Markets menjelaskan, Jepang - sebagai importir minyak besar - akan mengalami tekanan ekonomi dari kenaikan harga energi. Akibatnya, yen melemah secara struktural.
Tekanan ini diperparah oleh sentimen politik di dalam negeri setelah terpilihnya Sanae Takaichi sebagai Perdana Menteri Jepang, yang dikenal berpandangan dovish dan mendukung kebijakan moneter longgar.
Pasar kini menanti kepastian mengenai paket stimulus ekonomi yang akan dikeluarkan pemerintah baru, sementara ekspektasi terhadap langkah-langkah konkret masih rendah.
Analis Mizuho Securities Yutaka Miura menilai, euforia awal terhadap pemerintahan baru Jepang sudah mulai mereda. Investor kini cenderung menunggu realisasi kebijakan fiskal dan moneter yang lebih substansial.
Inilah yang membuat yen kehilangan daya tariknya sebagai aset safe-haven, setidaknya untuk sementara waktu, di tengah meningkatnya imbal hasil dolar AS dan kenaikan harga energi global.
Dolar Melemah Terhadap Krona Norwegia
Sementara itu, penguatan dolar tidak terjadi secara merata terhadap semua mata uang. Krona Norwegia justru menguat setelah harga minyak naik. Akibatnya, dolar AS melemah 0,42 persen ke 9,9717 krona.
Pelemahan ini menembus batas psikologis 10 krona untuk pertama kalinya dalam dua minggu. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak memberi keuntungan bagi negara-negara eksportir energi seperti Norwegia.
Di sisi lain, euro sedikit menguat 0,06 persen ke USD1,162, sementara franc Swiss melemah tipis ke 0,7949 per dolar setelah Swiss National Bank merilis risalah rapat kebijakan moneter yang dinilai netral oleh pasar.
Poundsterling menjadi salah satu mata uang yang paling tertekan terhadap dolar. Sterling turun 0,25 persen ke USD1,332 setelah data inflasi Inggris yang lebih lemah dari perkiraan memicu spekulasi bahwa Bank of England akan kembali memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Ekspektasi ini menekan imbal hasil obligasi Inggris, memperlemah daya tarik pound di mata investor global.
Secara keseluruhan, dinamika pasar mata uang pekan ini memperlihatkan bahwa dolar AS masih menjadi jangkar stabilitas di tengah badai geopolitik dan ekonomi global. Kenaikannya terhadap yen mencerminkan daya tarik aset Amerika di tengah ketidakpastian kebijakan Jepang dan lonjakan harga energi.
Sementara terhadap mata uang lain, dolar mempertahankan keunggulannya karena kombinasi faktor fundamental yang kuat, yaitu pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, ekspektasi inflasi yang terjaga, serta prospek kebijakan moneter The Fed yang masih ketat dibandingkan bank sentral utama lainnya.
Dengan rilis data CPI yang tinggal menunggu waktu, pasar valuta asing kini berada dalam fase antisipasi. Jika inflasi AS menunjukkan tanda-tanda melambat, dolar bisa kehilangan sedikit momentumnya.
Namun, jika angka CPI tetap tinggi atau lebih kuat dari perkiraan, maka dolar berpotensi melanjutkan reli-nya, bahkan menembus level 153 yen, yang akan menjadi sinyal dominasi baru greenback di kancah global.(*)