KABARBURSA.COM - Dolar Amerika Serikat kembali menunjukkan dominasinya terhadap mayoritas mata uang utama. Sempat melemah di sesi awal, greenback kemudian menguat setelah rilis data ketenagakerjaan September menunjukkan pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Penambahan 119.000 pekerjaan nonpertanian, lebih dari dua kali lipat perkiraan ekonom, langsung menggeser ekspektasi pasar mengenai peluang pemangkasan suku bunga The Federal Reserve pada Desember.
Namun data tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kekuatan pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran justru naik dari 4,3 persen menjadi 4,4 persen. Fakta ini membuka ruang diskusi baru, apakah kondisi ekonomi AS benar-benar cukup solid.
Meski demikian, bagi pelaku pasar valuta asing, angka pertumbuhan pekerjaan yang lebih besar dari ekspektasi tetap lebih dominan dalam membentuk sentimen. Ekspektasi pasar kini hanya mengisyaratkan sekitar 10 bps pelonggaran pada Desember. Artinya, keyakinan terhadap pemangkasan suku bunga semakin menipis.
Ketidakpastian semakin besar karena pasar beroperasi dalam “kekosongan data”, tanpa laporan Oktober yang ditiadakan dan baru akan digabung dalam rilis berikutnya.
Yen Jepang menjadi mata uang yang paling terpukul. Yen melemah 0,26 persen ke 157,59 per dolar setelah sempat menyentuh 157,89 dan merupakan level terlemah sejak Januari. Pelemahan yen berlangsung meski imbal hasil obligasi pemerintah Jepang naik. Artinya, tekanan eksternal dari dolar lebih kuat daripada dukungan domestik sektor obligasi.
Kekhawatiran pasar meningkat terkait pembiayaan paket stimulus raksasa Jepang senilai lebih dari 20 triliun yen, yang akan diumumkan Perdana Menteri Sanae Takaichi. Pasar semakin sensitif karena Takaichi diperkirakan akan mendorong Bank of Japan menjauh dari sikap hawkish, yang notabene memberi ruang lebih besar bagi pelemahan yen.
Namun, analis memperingatkan bahwa pemerintah Jepang tetap mengawasi pasar dengan ketat dan potensi intervensi dapat muncul jika yen mendekati area 160 per dolar. Area itu menjadi zona intervensi yang sensitif setelah kejadian Juli lalu.
Enam Mata Uang Utama Ikut Tertekan
Di luar Jepang, pelemahan juga dialami sejumlah mata uang utama lain. Euro melemah ke USD1,1533 setelah menyentuh level terendah dua pekan, sementara sterling bergerak tipis ke USD1,3087, menyentuh level terendah sejak awal bulan.
Franc Swiss dan dolar Australia pun mengalami tekanan karena sentimen risk-off menguat. Risalah pertemuan The Fed pada Oktober menunjukkan bahwa banyak pejabat bank sentral tidak mendukung pemangkasan suku bunga di Desember.
Sementara, sebagian lainnya masih mempertimbangkan penurunan. Nada yang tidak bulat ini, namun cenderung hawkish, cukup untuk menambah kekuatan dolar.
Salah satu komentar yang menolak pemangkasan suku bunga lebih lanjut adalah dari Presiden Fed Cleveland Beth Hammack. Ia menolak dengan alasan inflasi masih tinggi dan kondisi keuangan sudah longgar.
Tidak cukup sampai di situ. Hammack juga memperingatkan bahwa penurunan suku bunga justru dapat meningkatkan risiko stabilitas sistem keuangan. Itulah mengapa pasar memandang bahwa The Fed mungkin belum siap melakukan pelonggaran agresif dalam waktu dekat.
Proyeksi pasar melalui Fed Funds Futures kini menempatkan peluang pemangkasan 25 bps pada pertemuan 10 Desember hanya sekitar 39 persen.
Secara keseluruhan, Indeks Dolar (DXY) menguat 0,1 persen ke 100,18, mendekati puncak enam bulan yang dicapai awal November. Level ini mencerminkan meningkatnya permintaan terhadap dolar sebagai aset safe haven, sekaligus penyesuaian terhadap peluang kebijakan moneter yang lebih ketat di AS.
Meski demikian, analis Steve Englander menilai bahwa data ekonomi AS belum cukup kuat untuk menghilangkan kebutuhan pemangkasan suku bunga. Namun keputusan final FOMC tetap akan bergantung pada rangkaian data besar yang dirilis dalam beberapa pekan mendatang.
Gambaran hari ini memperlihatkan pasar valuta asing yang bergerak dalam tekanan data, spekulasi kebijakan, dan dinamika geopolitik. Dolar kembali memegang kendali, yen berada dalam tekanan struktural, dan mata uang Eropa kehilangan momentum.
Sentimen pasar belum menemukan keseimbangan karena investor masih mencari kepastian arah kebijakan moneter global di tengah kondisi ekonomi yang bergerak tidak serempak.(*)