Logo
>

Dolar AS Mati Kutu di Tengah Perang Dagang AS-China

Dolar AS melemah terhadap euro dan yen di tengah ketegangan dagang AS–China, ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, dan dampak government shutdown yang menekan sentimen pasar.

Ditulis oleh Yunila Wati
Dolar AS Mati Kutu di Tengah Perang Dagang AS-China
Ilustrasi menghitung dolar AS.(Foto: Dok KabarBursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Dolar Amerika Serikat, yang selama berbulan-bulan menjadi simbol kekuatan ekonomi dunia, mulai lelah. Pada perdagangan Rabu waktu New York atau Kamis pagi WIB, 16 Oktober 2025, greenback tergelincir di hadapan hampir semua rival utamanya, seiring meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China.

    Indeks Dolar (DXY), yang mengukur kinerja dolar terhadap enam mata uang utama dunia, melemah 0,32 persen ke level 98,72. Ini Adalah penurunan yang kedua dalam dua hari terakhir. 

    Terhadap yen Jepang, dolar turun 0,39 persen menjadi 151,24, dan terhadap franc Swiss melemah 0,49 persen ke 0,797. Pelemahan terhadap dua mata uang yang dikenal sebagai safe haven itu menegaskan satu hal, bahwa pasar sedang mencari perlindungan dari ketidakpastian yang kian tebal.

    Yang menjadi penyebab utama adalah perang dagang yang belum usai antara dua ekonomi terbesar dunia. Washington dan Beijing kembali saling tuding dan saling balas kebijakan. 

    Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer menuding China memperluas kontrol ekspor logam tanah jarang secara sepihak, terutama pada bahan vital dalam industri teknologi dan energi hijau. 

    Greer menilai langkah tersebut melanggar kesepakatan dagang bilateral. Sementara itu, Beijing menuduh AS bersikap hipokrit karena lebih dulu memperketat ekspor teknologi tinggi.

    Meski retorika politik kian keras, sebagian analis menilai pasar mulai kebal terhadap “drama” ini. Adam Button dari ForexLive mengatakan bahwa investor semakin pandai membaca pola lama, setelah ketegangan meningkat, biasanya diplomasi kembali mengambil alih. 

    Namun kali ini, di tengah ketiadaan data ekonomi resmi akibat government shutdown, pelaku pasar justru kehilangan jangkar untuk menilai arah fundamental ekonomi AS. Dalam kondisi seperti itu, ketegangan dagang bukan sekadar berita politik, tetapi pengguncang psikologis yang sesungguhnya.

    Pernyataan Ketua Federal Reserve Jerome Powell menambah dinamika. Dalam pidatonya, Powell mengakui bahwa pasar tenaga kerja AS mulai kehilangan momentum. Ia menyebut ekonomi kini berada pada fase “penerimaan dan pemutusan kerja rendah,” istilah halus untuk menggambarkan stagnasi aktivitas. 

    Dengan nada dovish, Powell menyiratkan ruang terbuka lebar bagi pemangkasan suku bunga acuan.

    Pasar langsung bereaksi. Berdasarkan data LSEG, probabilitas pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan FOMC 28–29 Oktober kini mencapai 98 persen. 

    Bahkan, pelaku pasar memperkirakan Fed bisa memangkas suku bunga hingga lima kali pada 2026. Ini menjadi sebuah skenario yang hanya muncul ketika bank sentral merasa pertumbuhan ekonomi benar-benar goyah.

    Namun, apa yang biasanya menjadi kabar baik bagi aset berisiko justru kini menekan dolar. Dalam konteks global yang penuh ketegangan, suku bunga rendah bukan lagi tanda dukungan moneter, melainkan sinyal kelemahan ekonomi. 

    Hasilnya, imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun turun 1,6 basis poin menjadi 4,038 persen.

    Di Eropa, euro justru mendapatkan sedikit napas segar. Mata uang tunggal itu menguat 0,35 persen ke USD1,1646, memperpanjang kenaikan dari sesi sebelumnya. Dorongan datang dari keputusan pemerintah Prancis menangguhkan reformasi pensiun yang sempat memicu kerusuhan sosial. 

    Walau demikian, analis TS Lombard, Daniel von Ahlen, memperingatkan bahwa penguatan euro mungkin bersifat sementara karena masih minim faktor fundamental yang kuat.

    Sementara di kawasan Pasifik, dolar Australia dan Selandia Baru justru menunjukkan ketahanan. Aussie naik 0,39 persen ke USD0,651, sementara Kiwi menguat tipis ke USD0,5721 setelah sempat menyentuh level terendah enam bulan. 

    Meski keduanya masih tertahan oleh pelemahan permintaan komoditas global, investor tampaknya mulai mencari alternatif selain dolar AS — setidaknya dalam jangka pendek.

    Dengan latar geopolitik yang rumit, kebijakan moneter yang cenderung longgar, dan shutdown pemerintahan yang menutupi data penting, dolar kini berada di persimpangan paradoks. Di satu sisi, dolar masih menjadi mata uang cadangan dunia, di sisi lain, kehilangan pesonanya sebagai simbol kekuatan ekonomi Amerika.

    Jika tren ini berlanjut, maka bukan mustahil greenback akan terus melemah seiring ekspektasi bahwa Fed tak hanya memangkas suku bunga, tetapi juga harus menanggung beban ekonomi global yang rapuh.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79