KABARBURSA.COM – Dolar Amerika Serikat mencatat penguatan signifikan pada perdagangan Rabu, 19 November 2025. Penguatan ini menjadi penekan yen Jepang. Pergerakan ini menandai meningkatnya tekanan di pasar valuta asing, sekaligus memperlihatkan ketegangan baru antara kebijakan moneter Jepang dan A.S.
Yen terpukul hampir 1 persen ke posisi 156,975 per dolar dan menjadi level terendah dalam sepuluh bulan. Padahal, pemerintah Jepang memberikan indikasi bahwa intervensi dapat dilakukan jika volatilitas semakin memburuk.
Pelemahan yen terjadi dipicu oleh pernyataan Menteri Keuangan Jepang Satsuki Katayama. Ia mengatakan bahwa pemerintah akan terus memantau pergerakan pasar dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Pernyataan itu disampaikannya usai bertemu Gubernur Bank of Japan Kazuo Ueda.
Sayangnya, komentar tersebut tidak menenangkan pasar. Justru hal itu dibaca sebagai sinyal bahwa otoritas Jepang semakin terpojok. Terlebih ekspektasi stimulus fiskal yang masif di bawah pemerintahan Perdana Menteri Sanae Takaichi, menambah tekanan.
Terutama karena kebijakan suku bunga rendah dan pola belanja agresif dianggap bertolak belakang dengan upaya BOJ untuk menaikkan suku bunga secara bertahap.
Sementara itu, Kyodo melaporkan bahwa paket stimulus baru bisa melampaui 20 triliun yen, di mana sebagian besar paket tersebut didanai dari anggaran tambahan. Kebijakan ini dipandang sebagai pelemahan disiplin fiskal Jepang, yang berdampak langsung pada daya tarik yen.
Matt Weller dari StoneX menilai bahwa jatuhnya yen, yang bersamaan dengan kenaikan imbal hasil obligasi, menandakan hilangnya kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Jepang. Posisi yen yang semakin menjauh dari fundamental ekonominya juga meningkatkan risiko intervensi verbal dan aksi pasar yang lebih agresif dalam waktu dekat.
DXY Naik, Enam Mata Uang Utama Tersungkur
Penguatan dolar tidak berhenti pada yen saja. Indeks Dolar (DXY) naik 0,59 persen ke 100,17, dan membuat greenback mendominasi enam mata uang utama lain.
Euro melemah ke USD1,1526 dan poundsterling turun 0,71 persen ke USD1,3050 usai laporan inflasi yang melambat menjadi 3,6 persen pada Oktober. Data ini memperkuat ekspektasi bahwa Bank of England membuka peluang pemangkasan suku bunga pada Desember, sehingga mendorong pelemahan lanjutan pound.
Dari sisi Amerika, risalah pertemuan Federal Reserve periode Oktober menambah dorongan bagi dolar. Dokumen itu menunjukkan adanya perbedaan tajam di antara para pejabat The Fed. Sebagian melihat kemungkinan pemangkasan suku bunga pada Desember sebagai opsi yang cocok.
Namun, banyak yang menilai keputusan itu tidak tepat. Perbedaan inilah yang membuat pasar semakin sensitif terhadap data ekonomi, khususnya data tenaga kerja. Apalagi, keduanya memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan moneter.
Futures Fed funds sejauh ini menunjukkan peluang pemangkasan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan 10 Desember turun menjadi 33 persen, dari sehari sebelumnya sebesar 42,4 persen.
Investor kini menunggu rilis data non-farm payrolls (NFP) periode September, yang tertunda akibat penutupan pemerintahan A.S. Ketiadaan data pekerjaan Oktober dan November ini memperbesar ketidakpastian.
Shaun Osborne dari Scotiabank memperingatkan bahwa rangkaian data tenaga kerja yang lemah hingga Januari dapat memaksa The Fed mengambil langkah penyesuaian yang lebih agresif di awal 2026.
Keseluruhan pergerakan ini memperlihatkan bahwa dolar berada dalam fase dominasi yang kuat. Hal ini didukung kombinasi faktor geopolitik, kebijakan moneter, dan pelemahan mata uang utama lain. Namun, ketergantungan pasar pada data tenaga kerja dan arah inflasi membuat pergerakan dolar dalam beberapa minggu ke depan sangat bergantung pada kejelasan yang masih tertunda.(*)