Logo
>

Dolar AS Menguat Tersulut Data Inflasi tak Sesuai Ekspektasi

Kenaikan dolar AS dan ketidakpastian politik akibat kebijakan Trump membuat rupiah melemah.

Ditulis oleh Yunila Wati
Dolar AS Menguat Tersulut Data Inflasi tak Sesuai Ekspektasi
Ilustrasi dolar AS. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Dolar AS menguat terhadap mata uang utama pada perdagangan Rabu waktu setempat, 12 Maret 2025, didukung oleh data inflasi yang lebih lemah dari perkiraan, meskipun ketegangan perdagangan global yang terus membara memberikan tekanan pada pasar. Ketidakpastian semakin meningkat akibat langkah-langkah proteksionis yang diambil Amerika Serikat, termasuk tarif yang tidak terduga dari Presiden Donald Trump, yang memicu reaksi keras dari mitra dagangnya.

    Dalam perkembangan terbaru, Trump berjanji akan membalas ancaman Uni Eropa yang berencana menerapkan tarif terhadap barang-barang AS senilai 26 miliar euro mulai bulan depan. Keputusan tersebut muncul setelah AS memberlakukan tarif tinggi pada impor baja dan aluminium, yang menimbulkan kecemasan di kalangan pelaku pasar. 

    Sementara itu, investor terus mencermati perkembangan inflasi di AS. Data Departemen Tenaga Kerja menunjukkan bahwa harga konsumen hanya meningkat 0,2 persen pada bulan sebelumnya, lebih rendah dari ekspektasi yang memperkirakan kenaikan 0,3 persen.

    Reaksi pasar terhadap data ini cukup beragam. Di satu sisi, inflasi yang lebih rendah memberi sedikit kelegaan bagi pelaku pasar karena mengurangi tekanan bagi Federal Reserve untuk mempertahankan kebijakan moneter yang ketat. Namun, di sisi lain, perang dagang yang semakin intensif tetap menjadi faktor risiko yang signifikan. 

    Menurut Amarjit Sahota, Direktur Eksekutif Klarity FX di San Francisco, ketegangan perdagangan dengan Eropa dan China masih menjadi perhatian utama, sementara data inflasi yang lebih rendah hanya memberikan dampak terbatas pada pergerakan pasar.

    Dolar AS menguat terhadap yen Jepang, naik 0,37 persen menjadi 148,31 yen. Namun, terhadap franc Swiss, dolar melemah tipis 0,06 persen menjadi 0,882 setelah sempat menguat di awal perdagangan. 

    Sementara itu, euro yang sebelumnya mencapai level tertinggi dalam lima bulan di angka USD1,0947 pada Selasa, melemah kembali menjadi USD1,0889. Pelemahan euro terjadi setelah Ukraina menyatakan dukungannya terhadap usulan gencatan senjata selama 30 hari dengan Rusia, yang menimbulkan ketidakpastian mengenai prospek geopolitik di Eropa.

    Pasar Eropa juga bergejolak setelah Jerman mengumumkan rencana pengeluaran fiskal besar-besaran, yang kemudian mendapat perlawanan dari Partai Hijau. Ketidakpastian mengenai arah kebijakan fiskal di Eropa turut membebani pergerakan euro terhadap dolar.

    Di sisi lain, indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama, naik 0,14 persen ke level 103,59, menghentikan tren penurunan selama tujuh sesi berturut-turut. Kenaikan ini mencerminkan sentimen yang masih cenderung berpihak pada dolar meskipun terdapat berbagai faktor risiko yang membayangi pasar.

    Sementara itu, Bank of Canada mengambil langkah mengejutkan dengan memangkas suku bunga kebijakan utamanya sebesar 25 basis poin menjadi 2,75 persen. Keputusan ini diambil sebagai langkah antisipatif terhadap potensi dampak negatif dari kebijakan tarif Trump yang dapat mengguncang perekonomian Kanada. Menyusul langkah tersebut, dolar AS melemah terhadap mata uang Kanada, turun 0,44 persen menjadi 1,4370.

    Poundsterling Inggris juga mengalami tekanan setelah sempat mencapai level tertinggi empat bulan di USD1,2990 sebelum akhirnya turun menjadi USD1,2968. Faktor utama yang memengaruhi pergerakan pound adalah sentimen pasar terhadap tren inflasi global serta ketidakpastian seputar kebijakan perdagangan AS dan dampaknya terhadap ekonomi dunia.

    Menurut John Velis, analis di BNY, meskipun data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan memberikan sedikit ketenangan bagi pasar, ancaman tarif yang terus berkembang serta ketegangan geopolitik tetap menjadi faktor utama yang dapat mengubah arah dolar dalam beberapa waktu ke depan. 

    Dalam kondisi seperti ini, volatilitas di pasar mata uang diperkirakan akan tetap tinggi, dengan pergerakan dolar yang masih bergantung pada perkembangan kebijakan perdagangan dan dinamika ekonomi global.

    Peluang Rupiah Rebound?

    Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus mengalami tekanan. Hal ini terpengaruh oleh kebijakan proteksi tarif yang diterapkan Presiden Donald Trump. 

    Langkah-langkah kebijakan tersebut memicu inflasi yang lebih tinggi di AS, sekaligus menghambat kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve dalam waktu dekat.

    Pada perdagangan Rabu sore, rupiah tercatat melemah 44 poin atau 0,27 persen, ditutup di level Rp16.452 per dolar AS. Dibandingkan dengan posisi sehari sebelumnya di Rp16.408 per dolar AS, pelemahan ini menunjukkan bahwa pasar masih mencermati dampak kebijakan perdagangan Trump terhadap perekonomian global.

    Menurut pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi, kebijakan tarif yang diterapkan AS justru menciptakan ketidakpastian di pasar dan meningkatkan tekanan inflasi. Tarif impor sebesar 25 persen yang dikenakan pada baja dan aluminium dinilai memperburuk ketegangan perdagangan dunia, terutama karena kebijakan tersebut mencakup berbagai produk, mulai dari komponen industri hingga barang konsumsi sehari-hari seperti kaleng soda.

    Kondisi semakin diperburuk oleh usulan Trump untuk meningkatkan tarif impor baja dan aluminium dari Kanada menjadi 50 peraen, yang sempat menimbulkan kegelisahan di pasar. Langkah ini dipicu oleh pembatasan ekspor listrik dari Provinsi Ontario, Kanada, ke tiga negara bagian di AS. 

    Namun, setelah negosiasi antara Perdana Menteri Ontario Doug Ford dan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, pemerintah Ontario memutuskan untuk menangguhkan biaya tambahan sebesar 25 persenatas ekspor listriknya ke AS. Sebagai imbalannya, pemerintahan Trump membatalkan kenaikan tarif impor baja dan aluminium, mempertahankan tarif saat ini di angka 25 persen.

    Sementara itu, sikap Federal Reserve menjadi perhatian utama pelaku pasar. Bank sentral AS diperkirakan tidak akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat karena masih mencermati dampak kebijakan tarif terhadap inflasi. 

    Kenaikan harga barang akibat tarif impor dapat membuat the Fed semakin berhati-hati dalam mengambil langkah kebijakan moneter berikutnya. Pertemuan Federal Reserve yang dijadwalkan pada 18-19 Maret mendatang akan menjadi momen penting bagi pasar untuk memahami arah kebijakan suku bunga AS ke depan.

    Di tengah situasi ini, tekanan terhadap rupiah kemungkinan masih akan berlanjut, terutama jika sentimen global tidak menunjukkan perbaikan. Kebijakan tarif yang agresif dari AS, ditambah dengan ketidakpastian kebijakan moneter the Fed, akan terus menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar dalam beberapa waktu ke depan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79