Logo
>

Dolar AS Menguat usai Langkah The Fed, Rupiah Melemah

Dolar AS menguat usai The Fed pangkas bunga, Rupiah tertekan ke 16.650 dipicu risiko fiskal dan pelebaran defisit RAPBN 2026.

Ditulis oleh Syahrianto
Dolar AS Menguat usai Langkah The Fed, Rupiah Melemah
Indeks Dolar AS (DXY) bangkit dari level support 96,38 setelah keputusan The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. (Foto: Dok. KabarBursa)

KABARBURSA.COM – Indeks Dolar AS (DXY) bangkit dari level support 96,38 setelah keputusan The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,0–4,25 persen pada 17 September lalu. 

Walau pergerakan masih tertahan di sekitar resistance rata-rata pergerakan (MA), analis menilai ruang penurunan lanjutan indeks dolar kian terbatas.

Kiwoom Research dalam laporannya menyebut, penguatan dolar justru terjadi karena pemangkasan suku bunga The Fed sudah lebih dulu diantisipasi pasar. 

“Pemotongan terakhir lebih dipandang sebagai insurance cut untuk menjaga momentum ekonomi, bukan akibat resesi berat. Proyeksi inflasi dari tarif impor era Trump baru akan terasa dampaknya pada akhir kuartal III hingga IV,” tulis tim riset, Senin, 22 September 2025.

Secara teknikal, menurut Kiwoom, DXY perlu menembus level 98,10 agar dapat kembali ke kisaran 100. Ekspektasi mengenai arah kebijakan The Fed selanjutnya juga masih terbelah. 

Jika bank sentral memilih sikap hati-hati di tengah tekanan politik, maka yield obligasi AS relatif masih lebih menarik dibanding negara lain sehingga mendukung penguatan dolar. 

Ditambah lagi, ketidakpastian global seperti tensi geopolitik dan perdagangan membuat USD tetap dilihat sebagai aset lindung nilai.

Terhadap rupiah, sentimen penguatan dolar kian menekan kurs domestik yang menembus Rp16.650 per USD. Menurut Kiwoom Research, pelemahan rupiah tidak hanya dipicu faktor eksternal, tetapi juga risiko domestik. 

Pemangkasan suku bunga acuan BI7DRR mempersempit selisih yield dengan US Treasury, sehingga daya tarik rupiah berkurang.

Selain itu, rencana pemerintah merevisi RAPBN 2026 dengan defisit lebih lebar, yakni 2,68 persen terhadap PDB, menambah kekhawatiran pasar. 

“Defisit lebih tinggi berarti kebutuhan pembiayaan meningkat, suplai SBN bertambah, dan risiko fiskal Indonesia naik. Kondisi ini membuat investor asing lebih berhati-hati, meski pekan lalu sempat tercatat inflow Rp3 triliun di seluruh pasar,” jelas tim riset Kiwoom.

Dolar Sepanjang Tahun Hadapi Tekanan Tajam

Dolar Amerika Serikat sepanjang tahun ini menghadapi tekanan tajam, seiring memudarnya kepercayaan pasar terhadap statusnya sebagai mata uang utama dunia. 

Investor berbondong-bondong mengalihkan dana ke aset alternatif seperti euro, yen, emas, hingga mata uang lain, yang secara langsung menggoyang dominasi dolar sebagai cadangan devisa global.

Jeremy Boulton, analis pasar Reuters, menyebut fenomena ini sebagai titik balik besar bagi mata uang paling berpengaruh di dunia. Ia memperingatkan, tren ini berpotensi mengubah pola investasi internasional dan komposisi cadangan devisa negara-negara besar, yang pada akhirnya bisa menekan nilai dolar secara tajam dan berkelanjutan.

“Untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global 2008, ketidakpastian global tidak lagi mendorong penguatan dolar,” ujar Boulton dalam laporannya, Rabu 17 September 2025. 

Padahal, lebih dari satu dekade terakhir, dolar sempat mencatat reli besar. Nilai cadangan devisa global melonjak dari sekitar USD7 triliun pada 2008 menjadi USD12–13 triliun saat ini. Namun kini, arah angin mulai berubah.

Jika tren pelemahan berlanjut, bank sentral di berbagai belahan dunia diprediksi mengurangi porsi dolar dalam portofolio cadangan mereka. Pergeseran ini kemungkinan disertai peningkatan kepemilikan euro, yen, franc Swiss, poundsterling, hingga yuan China.

Lonjakan harga emas dalam beberapa bulan terakhir turut dilihat sebagai tanda pergeseran cadangan devisa telah dimulai. “Emas dipandang sebagai aset aman yang nilainya cenderung naik ketika kepercayaan pada mata uang fiat memudar,” kata Boulton.

Dalam lanskap geopolitik, China diperkirakan dapat memanfaatkan momentum pelemahan dolar. Jika Beijing membuka jalan agar yuan sepenuhnya konvertibel, permintaan terhadap mata uang tersebut berpotensi melonjak, terutama dari negara-negara yang ingin mengurangi ketergantungan pada greenback.

Brasil, Rusia, India, Afrika Selatan, hingga Arab Saudi tercatat memiliki cadangan devisa gabungan USD2–2,2 triliun, sementara China sendiri menyimpan lebih dari USD3 triliun. Jika negara-negara ini serempak mengalihkan cadangan mereka dari dolar, Amerika Serikat bisa menghadapi kesulitan besar membiayai utang nasional yang kini menembus USD37 triliun.

Fenomena ini menegaskan bahwa dunia sedang memasuki babak baru. Dominasi dolar yang selama puluhan tahun tak tergoyahkan, kini mulai menghadapi tantangan serius. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Syahrianto

Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.