KABARBURSA.COM - Dolar Amerika Serikat bergerak tanpa arah jelas pada perdagangan Rabu waktu New York, 10 September 2025, setelah data inflasi produsen (PPI) Agustus menunjukkan kontraksi tak terduga.
Pelemahan ini memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve akan kembali memangkas suku bunga pada bulan ini, meski pasar masih berhati-hati di tengah ketegangan geopolitik global dan keraguan terhadap stabilitas kebijakan fiskal serta independensi bank sentral AS.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan PPI untuk permintaan akhir menyusut 0,1 persen secara bulanan pada Agustus, berbalik dari revisi kenaikan 0,7 persen pada Juli. Angka ini jauh di bawah perkiraan konsensus yang memperkirakan kenaikan 0,3 persen. Secara tahunan, PPI hanya naik 2,6 persen, juga lebih rendah dari ekspektasi 3,3 persen.
Data yang lebih lemah dari perkiraan ini mempertegas pandangan bahwa tekanan inflasi di AS mulai mereda. Pasar merespons dengan memperkirakan peluang 90 persen pemangkasan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan Fed bulan ini, sementara kemungkinan pemotongan 50 basis poin tetap kecil, hanya 10 persen.
Menurut Karl Schamotta, Chief Market Strategist Corpay di Toronto, ekonomi AS memang melambat tetapi belum menunjukkan gejala krisis, sehingga pemangkasan seperempat poin dianggap sebagai skenario paling masuk akal.
Gerakan Dolar terhadap Mata Uang Utama
Dolar sempat menguat sebelum rilis data, namun melemah tipis setelah laporan keluar. Terhadap yen, greenback turun ke 147,31, sedangkan terhadap euro relatif stabil di USD1,1706.
Indeks dolar (DXY) yang mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama melemah tipis ke 97,74. Secara tahunan, DXY sudah terkoreksi 10 persen, mencerminkan tekanan yang berasal dari kebijakan fiskal-perdagangan AS yang kacau serta kekhawatiran meningkatnya campur tangan politik dalam urusan Federal Reserve.
Sementara itu, euro menguat terhadap zloty Polandia hingga 0,3 persen menjadi 4,259, yang menjadikannya kenaikan harian terbesar sejak pertengahan Agustus.
Pergerakan ini terjadi setelah meningkatnya risiko geopolitik di Eropa Timur, ketika Polandia menembak jatuh drone Rusia yang masuk wilayah udaranya saat serangan ke Ukraina barat.
Geopolitik dan Risiko Tambahan bagi Pasar
Selain data ekonomi, ketegangan geopolitik turut membayangi pasar valuta asing. Israel dilaporkan melancarkan serangan udara ke Qatar untuk menargetkan pimpinan Hamas, sementara eskalasi perang Rusia–Ukraina kembali merembet ke kawasan NATO melalui insiden drone.
Faktor-faktor ini mendorong investor berhati-hati dan menambah volatilitas mata uang kawasan.
Ketidakpastian politik di dalam negeri AS juga menekan kepercayaan terhadap dolar. Pengadilan memutuskan memblokir sementara upaya Presiden Donald Trump memberhentikan Gubernur Fed Lisa Cook, sebuah kasus yang berpotensi berlanjut hingga Mahkamah Agung.
Persoalan ini menambah kekhawatiran pasar mengenai independensi bank sentral di tengah kebijakan fiskal dan perdagangan yang sudah dinilai rancu.
Fokus investor kini tertuju pada rilis data inflasi konsumen (CPI) Agustus yang akan diumumkan Kamis ini. Konsensus memperkirakan kenaikan 0,3 persen secara bulanan dan 2,9 persen secara tahunan.
Angka tersebut akan menjadi acuan penting untuk menilai sejauh mana The Fed masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Selain itu, revisi data tenaga kerja yang menunjukkan penciptaan 911 ribu lapangan kerja lebih sedikit dalam 12 bulan hingga Maret turut memperlihatkan bahwa pelemahan pasar tenaga kerja sudah terjadi bahkan sebelum tarif impor agresif diberlakukan.
Kombinasi inflasi yang melandai, pasar tenaga kerja yang melemah, dan ketidakpastian geopolitik membuat dolar kehilangan daya dorong besar, sekaligus memperkuat posisi mata uang lain terhadap greenback.
Dengan demikian, keperkasaan dolar AS kini sedang diuji bukan hanya oleh fundamental domestik yang melemah, tetapi juga oleh tekanan politik dan dinamika global yang membuat investor semakin selektif dalam menentukan posisi.(*)
 
      