Logo
>

Dolar Melemah, Data Inflasi AS Tekan Greenback

Euro mencuat ke posisi tertingginya dalam hampir empat tahun di level USD1,1632 sebelum menetap di USD1,1576.

Ditulis oleh Yunila Wati
Dolar Melemah, Data Inflasi AS Tekan Greenback
Ilustrasi Greenback. (Foto: Adobe Stock)

KABARBURSA.COM — Dolar Amerika Serikat kembali kehilangan tenaganya pada Jumat, 13 Juni 2025, setelah rilis data inflasi yang lebih rendah dari perkiraan memperbesar kemungkinan bahwa Federal Reserve bisa menurunkan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan. 

Bersamaan dengan itu, meningkatnya ketegangan di Timur Tengah turut mendorong investor beralih ke aset safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss, sehingga menekan greenback lebih dalam.

Tekanan terhadap dolar semakin nyata di pasar valuta asing. Euro mencuat ke posisi tertingginya dalam hampir empat tahun di level USD1,1632 sebelum menetap di USD1,1576. 

Terhadap franc Swiss, dolar jatuh lebih dari satu persen ke 0,8114. Angka ini menjadi yang terendah sejak April. Sementara terhadap yen, dolar melemah ke 143,59, level terendah dalam sepekan.

Rangkaian data ekonomi yang dirilis pekan ini memperkuat pandangan bahwa inflasi di Amerika Serikat mulai menunjukkan pelambatan yang konsisten. 

Indeks Harga Produsen (PPI) untuk Mei hanya mencatat kenaikan moderat, sebagian besar karena turunnya harga jasa seperti tiket pesawat. Sehari sebelumnya, Indeks Harga Konsumen (CPI) juga tercatat di bawah ekspektasi pasar.

Analis UBS di New York Vassili Serebriakov, menilai bahwa tekanan harga akibat tarif impor belum sepenuhnya tercermin dalam data, tetapi perlambatan pertumbuhan sudah mulai terasa. 

“Kami memang telah memperkirakan dua kali pemangkasan suku bunga oleh The Fed tahun ini, tapi data terbaru bisa membuka ruang agar pemangkasan dilakukan lebih cepat atau lebih banyak,” ujar Serebriakov, seperti dikutip dari Reuters.

Kontrak berjangka yang melacak arah suku bunga kebijakan Federal Reserve kini mengisyaratkan kemungkinan dua kali pemangkasan suku bunga secara berturut-turut mulai September. 

Sebelum data ini dirilis, pasar hanya memperkirakan pemotongan suku bunga pada September, disusul satu kali lagi di akhir tahun.

Lembaga keuangan global seperti Nomura juga menyesuaikan proyeksinya. Perusahaan Jepang ini menurunkan perkiraan mereka atas inflasi PCE inti, yaitu indikator inflasi yang menjadi rujukan utama The Fed, menjadi 0,169 persen dari sebelumnya 0,349 persen. 

Dengan angka ini, inflasi PCE tahunan tiga bulanan kini turun ke level 1,52 persen, terendah sejak November 2020.

Pasar Tenaga Kerja AS Melambat

Dari sisi tenaga kerja, laporan terbaru menunjukkan jumlah aplikasi baru untuk tunjangan pengangguran tetap tinggi, meski tak berubah secara signifikan. Ini dianggap sebagai sinyal bahwa pasar tenaga kerja mulai melambat namun tetap stabil.

Sementara itu, di panggung geopolitik, Presiden AS Donald Trump menyampaikan bahwa sejumlah personel militer telah dipindahkan dari Timur Tengah karena kawasan tersebut dinilai berisiko tinggi. 

Trump juga menegaskan bahwa Washington tidak akan membiarkan Iran mengembangkan senjata nuklir, pernyataan yang langsung memicu ketegangan baru di kawasan dan meningkatkan permintaan atas aset-aset lindung nilai.

Ketidakpastian ini diperparah oleh situasi perdagangan global. Trump mengindikasikan bahwa tenggat waktu negosiasi perdagangan dengan sejumlah negara, yang sebelumnya dijadwalkan berakhir 8 Juli, bisa saja diperpanjang. 

Namun ia juga menyatakan bahwa AS akan segera mengirim surat berisi syarat-syarat perdagangan kepada negara-negara mitra, dan mereka harus memutuskan untuk menerima atau menolak. Hal ini membuka peluang berlanjutnya ketegangan dagang dan ancaman kenaikan tarif baru pada 9 Juli.

Situasi ini tidak hanya menekan dolar, tetapi juga memperkuat posisi euro yang mendapat dorongan tambahan dari sikap relatif hawkish Bank Sentral Eropa (ECB). 

Meski ECB memberi sinyal jeda dalam siklus pelonggaran suku bunga, pejabat seperti Isabel Schnabel menyebut bahwa kekuatan euro lebih disebabkan oleh kepercayaan pasar terhadap Eropa ketimbang faktor suku bunga semata. 

Ia menyebut arus masuk investor safe haven sebagai pendorong utama penguatan mata uang tunggal tersebut.

“Dolar kehilangan sebagian reputasinya sebagai mata uang safe haven. Dan euro kini tampil sebagai alternatif yang kredibel, sebagai mata uang cadangan terbesar kedua di dunia,” kata Serebriakov.

Indeks dolar, yang mengukur nilai tukar dolar terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,5 persen menjadi 97,95, level terendah sejak Maret 2022. 

Dalam beberapa bulan ke depan, arah kebijakan suku bunga The Fed dan perkembangan hubungan dagang Amerika dengan mitra internasionalnya akan sangat menentukan, apakah pelemahan dolar ini hanya jeda sesaat atau permulaan dari tren yang lebih panjang.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79