KABARBURSA.COM - Dolar Amerika Serikat tergelincir pada perdagangan Kamis, 15 Mei 2025, setelah serangkaian data ekonomi menunjukkan perlambatan aktivitas konsumen dan tekanan pada sisi harga produsen.
Pasar sepertinya mulai mencemaskan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi AS di kuartal kedua tidak sekuat yang diperkirakan, di tengah ketidakpastian arah kebijakan dan dampak lanjutan dari perang dagang.
Departemen Perdagangan melaporkan bahwa penjualan ritel hanya naik tipis 0,1 persen pada April, jauh lebih rendah dari revisi kenaikan 1,7 persen yang tercatat di bulan Maret.
Sebelumnya memang terjadi kenaikan tajam tersebut yang diyakini sebagian besar dipicu oleh percepatan pembelian barang, terutama kendaraan, menjelang pengumuman tarif Presiden Donald Trump awal April lalu. Namun setelah efek sementara itu mereda, permintaan terlihat kembali melambat.
Sementara itu, laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja mencatat penurunan 0,5 persen pada indeks harga produsen (PPI) untuk permintaan akhir. Tekanan harga ini disebut banyak dipengaruhi oleh turunnya permintaan untuk jasa transportasi dan akomodasi, yang ikut terimbas oleh kebijakan luar negeri AS yang dinilai agresif dan retorika proteksionis dari Gedung Putih.
Stabilnya angka klaim pengangguran mingguan di 229.000 tak cukup untuk meredam kekhawatiran. Pasalnya, data yang sama menunjukkan mulai menyempitnya lowongan kerja, sebuah indikasi bahwa pasar tenaga kerja, yang selama ini menjadi penyangga pertumbuhan, mulai kehilangan momentumnya.
Analis Makroekonomi Macquarie Thierry Wizman, menyebut bahwa masalah yang dihadapi konsumen AS bukan semata akibat tarif.
“Saya kira ini bukan hanya soal kebijakan perdagangan. Ada kelemahan struktural yang mulai terasa dari sisi konsumsi rumah tangga,” katanya.
Wizman juga menambahkan bahwa kuartal kedua kemungkinan akan menjadi masa yang menantang, terutama karena sentimen pasar masih dibayangi ketidakpastian kebijakan dan arah ekonomi ke depan.
Pasar valuta asing bereaksi cepat terhadap data ini. Indeks Dolar (DXY) yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia turun 0,11 persen ke level 100,89.
Euro sempat menguat tipis ke USD1,1176, sementara yen Jepang menguat lebih tajam, menekan dolar hingga 0,73 persen ke level 145,68. Poundsterling juga menguat 0,23 persen ke USD1,329, terdorong oleh data ekonomi Inggris yang tumbuh melebihi ekspektasi.
Pelemahan dolar ini kontras dengan pergerakan awal pekan, saat mata uang AS sempat melonjak lebih dari 1 persen setelah Washington dan Beijing menyepakati jeda 90 hari atas sebagian besar tarif yang berlaku. Kesepakatan itu sempat meredakan kekhawatiran resesi dan memperkecil peluang penurunan suku bunga oleh The Fed dalam waktu dekat.
Namun, ekspektasi pasar kini mulai bergeser kembali. Berdasarkan data dari LSEG, probabilitas penurunan suku bunga acuan pada September naik menjadi 75,4 persen, dengan pemangkasan minimal 25 basis poin. Sebelumnya, banyak pihak memperkirakan pelonggaran bisa dilakukan sedini Juli.
Dari sisi bank sentral, belum ada pernyataan eksplisit soal arah kebijakan. Ketua The Fed Jerome Powell dalam pidato terbarunya tidak banyak mengulas soal prospek moneter, namun menyebut perlunya evaluasi ulang terhadap pendekatan bank sentral dalam menyikapi inflasi dan kondisi ketenagakerjaan, berdasarkan dinamika ekonomi beberapa tahun terakhir.
Sementara Gubernur The Fed Michael Barr menilai ekonomi masih dalam posisi yang relatif kuat, namun menegaskan bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan membuat prediksi ke depan menjadi lebih sulit.
Sejumlah lembaga keuangan besar mulai menyesuaikan pandangannya. Goldman Sachs, JPMorgan, dan Barclays termasuk di antaranya yang merevisi turun kemungkinan resesi AS, sambil menunda ekspektasi mereka terhadap pelonggaran suku bunga dari The Fed.
Untuk saat ini, arah kebijakan moneter tampaknya masih akan ditentukan oleh data ekonomi selanjutnya. Pasar menunggu kepastian lebih lanjut soal inflasi, konsumsi, dan dampak lanjutan dari kesepakatan perdagangan. Di tengah lanskap global yang belum stabil, investor memilih menahan diri, dan dolar pun ikut terdampak.
Rupiah Berhasil 'Lawan' Dolar
Mata uang rupiah ditutup menguat 65 poin di level Rp16.561 terhadap dolar AS pada perdagangan Rabu, 14 Mei 2025. Penguatan rupiah terjadi di tengah meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Adapun , AS resmi memotong tarif terhadap China menjadi 30 persen dari sebelumnya sebesar 145 persen. Sebaliknya, China turut memangkas tarif produk AS menjadi 10 persen yang awalnya sebesar 125 persen.
Pengamat mata uang dan komoditas Ibrahim Assuaibi mengatakan, keputusan dua negara untuk memangkas tarif sukses meredakan kekhawatiran resesi global.
Ia menilai perkembangan ini memberikan kelonggaran bagi The Fed untuk menyesuaikan suku bunga. Tetapi, kata Ibrahim, para analis memperingatkan bahwa bank sentral mungkin akan tetap berada di pinggir lapangan, menilai negosiasi tarif lebih lanjut.
"Dalam pertemuan terakhir mereka, pejabat Fed tampaknya cenderung menunggu tanda-tanda yang jelas dari kemerosotan ekonomi sebelum memangkas suku bunga," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 14 Mei 2025.
Selanjutnya, sentimen terhadap rupiah masih datang dari Negeri Paman Sam. Ibrahim menuturkan, data pada hari Selasa, 13 Mei 2025 menunjukkan bahwa inflasi indeks harga konsumen AS lebih rendah dari perkiraan.
"Ini meredakan beberapa kekhawatiran tentang dampak tarif perdagangan AS," katanya.
Adapun untuk perdagangan besok, Kamis, 15 Mei 2025, Ibrahim memperkirakan mata uang rupiah bergerak fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.500 - Rp16.570.
Melonggarnya perang dagang AS dan China juga berefek positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan membaiknya perang dagang kedua negara tersebut menjadi sentimen positif bagi IHSG.
Hendra menilai kesepakatan ini dinilai jauh lebih baik dari ekspektasi pasar dan memperbesar peluang perbaikan rantai pasok global. Selain itu, volume perdagangan dunia juga diprediksi akan meningkat.
Menurut ia, kondisi tersebut turut mendongkrak minat terhadap aset berisiko, termasuk pasar saham negara berkembang seperti Indonesia.
"Meskipun investor asing masih mencatatkan net sell sebesar Rp53,85 triliun sepanjang tahun berjalan, daya tahan investor domestik cukup solid menopang pasar," jelasnya.
Hendra menjelaskan, menguatnya IHSG sebesar 0,25 persen ke level 6.832,80 pada pekan lalu menjadi sinyal awal bahwa sentimen pasar mulai berubah arah.
"Secara teknikal, jika level resistance 6.945 berhasil ditembus dengan volume transaksi yang memadai, maka peluang IHSG mencapai dan menembus 7.000 dalam waktu dekat bahkan dalam satu hingga dua pekan ke depan sangat terbuka," terangnya.
Di sisi lain, Hendra memandang nilai tukar rupiah masih menghadapi tekanan dari penguatan dolar AS yang menguat seiring ekspektasi peningkatan ekspor AS dan arus masuk modal ke aset dolar.
Namun demikian, fundamental domestik yang solid, termasuk cadangan devisa tinggi dan inflasi yang terjaga membuat stabilitas rupiah masih dalam batas aman.
"Bank Indonesia diperkirakan akan terus melakukan intervensi di pasar spot, DNDF, dan SBN untuk menjaga stabilitas Dalam jangka pendek, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp15.900–Rp16.150 per dolar AS," katanya.(*)