KABARBURSA.COM – Ketahanan pangan tidak hanya soal distribusi dan stok beras. Di balik layar, kekosongan kepemimpinan dan keterlibatan aparat jadi isu krusial yang kini disorot DPR. Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDIP, Sonny Danaparamita, melontarkan kritik keras dalam rapat kerja bersama kementerian terkait di Kompleks Parlemen, Senin, 24 Maret 2025.
Menurut Sonny, absennya Direktur Utama definitif di tubuh Perum Bulog berisiko menciptakan kekacauan internal dan menghambat jalannya tugas negara dalam menjaga pasokan pangan. “Bulog saat ini tidak memiliki Dirut, ini harus segera diselesaikan agar tidak ada dualisme status dalam kepemimpinan perusahaan,” ujarnya.
Selain itu, Sonny juga mempertanyakan makin dominannya peran aparat keamanan dalam urusan pangan. Bagi dia, pelibatan TNI dan kini Polri menandakan ada yang keliru di tubuh birokrasi sipil.
Meski Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan pentingnya isu pangan, ia menilai keterlibatan Polri yang melampaui peran TNI justru menjadi tamparan bagi kementerian terkait karena menunjukkan ketidakmampuan aparatur sipil negara di dalamnya.
Sonny berharap agar kementerian yang mengurusi bidang pangan lebih berani berdiri sendiri tanpa terlalu mengandalkan instansi lain. “Tidak mungkin TNI dan Polri tiba-tiba turun tangan tanpa ada permintaan dari pimpinan lembaga atau kementerian. Ini harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah,” katanya.
Jabatan Dirut Bulog Sering Gonta-Ganti
Kekosongan pucuk pimpinan Bulog sejatinya bukan cerita baru. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, jabatan Direktur Utama Bulog sudah berganti empat kali. Menteri BUMN Erick Thohir pun mengakui pergantian itu terjadi karena lembaga tersebut belum bisa menjalankan target penyerapan gabah sebanyak 3 juta ton secara maksimal.
“Ya tentu penyegaran harus dilakukan. Memang kan penugasan yang diberikan ini harus bisa dilakukan, tidak secara maksimal. Jadi review-review ini kita jalankan. Kita jalankan sesuai dengan target-target yang diberikan saat ini,” ujar Erick beberapa waktu lalu.
Di tengah peran aparat yang semakin dalam di urusan pangan, DPR juga baru saja mengesahkan revisi UU TNI. Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan aturan larangan TNI berbisnis dan berpolitik tetap berlaku dalam regulasi terbaru itu.
“Alhamdulillah, rapat paripurna DPR RI baru saja mengesahkan revisi UU TNI. Semua asas legalitas sudah terpenuhi dan prosesnya dijalankan sesuai mekanisme,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Rabu, 20 Maret 2025.
Puan menyebut meskipun TNI diizinkan menempati jabatan sipil, itu hanya berlaku pada 14 kementerian dan lembaga yang telah ditentukan. Di luar itu, prajurit harus pensiun dini jika ingin mengisi posisi struktural.
“Di luar pasal 47, hanya ada 14 kementerian/lembaga yang boleh diduduki oleh TNI aktif. Jika ada yang ingin menjabat di luar itu, maka mereka harus mundur atau pensiun dini,” jelasnya.
Jalan Baru Bagi TNI di Jabatan Sipil
Pengesahan revisi Undang-Undang TNI oleh DPR bukan sekadar perubahan administratif. Ini justru membuka jalan bagi prajurit aktif untuk masuk lebih dalam ke struktur birokrasi sipil. Dalam versi terbaru UU ini, ada sejumlah lembaga negara yang secara legal kini dapat diisi oleh personel militer aktif.
Dari sebelumnya hanya 10 lembaga, jumlahnya kini bertambah menjadi 14, mencakup instansi yang beririsan langsung dengan isu pertahanan, keamanan, dan penanggulangan bencana.
Berikut daftar lengkap kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif:
- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
- Kementerian Pertahanan
- Sekretariat Militer Presiden
- Badan Intelijen Negara (BIN)
- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
- Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
- Dewan Pertahanan Nasional
- Badan SAR Nasional (Basarnas)
- Badan Narkotika Nasional (BNN)
- Mahkamah Agung
- Kejaksaan Agung
- Badan Keamanan Laut (Bakamla)
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Tak hanya soal jabatan, revisi ini juga memperluas cakupan tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dari semula 14 urusan, kini bertambah menjadi 17, termasuk tugas-tugas yang menyesuaikan tantangan zaman seperti menghadapi serangan siber dan menjaga kepentingan nasional di luar negeri.
Perubahan lainnya menyentuh aspek usia pensiun. Jika sebelumnya perwira harus pensiun di usia lebih muda, revisi ini menetapkan batas baru, yakni 60 tahun untuk perwira dan 58 tahun untuk bintara serta tamtama. Dengan demikian, profesionalitas dan pengalaman para prajurit bisa tetap dimanfaatkan lebih lama.
Dengan semua perubahan ini, relasi antara militer dan sipil di tubuh negara bakal memasuki babak baru. Pertanyaannya, apakah kebijakan ini akan memperkuat koordinasi lintas sektor atau justru memunculkan tumpang tindih dalam struktur birokrasi nasional?
Di tengah kekhawatiran itu, Puan justru mengingatkan publik agar tidak buru-buru menilai negatif revisi ini. “Tolong jangan ada kecurigaan atau prasangka buruk dulu. Mari kita baca dan pahami dengan baik isi undang-undang ini,” kata Puan.(*)