KABARBURSA.COM – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menyampaikan pesan tegas kepada para pejabat di tubuh perusahaan pelat merah. Ia mengingatkan agar mereka jangan merasa berada di atas hukum. Menurutnya, meskipun direksi dan komisaris BUMN bukan penyelenggara negara, bukan berarti mereka tak bisa dijerat hukum jika terbukti melanggar.
“Direksi BUMN itu bukan penyelenggara negara, betul. Tapi bukan berarti mereka kebal hukum. Kalau melakukan pelanggaran pidana, termasuk korupsi, aparat penegak hukum bisa memprosesnya. Itu harus dipahami,” ujar Andre di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 8 Mei 2025.
Pernyataan itu disampaikan Andre sebagai respons terhadap anggapan yang berkembang bahwa Undang-Undang BUMN memberi celah kekebalan hukum bagi para pejabatnya. Menurutnya, narasi tersebut keliru dan justru menyesatkan.
Ia juga merujuk pada penjelasan Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo (Tiko), dalam rapat Komisi VI sebelumnya. Tiko menyampaikan bahwa pejabat BUMN tetap bisa diproses secara hukum apabila ada kerugian negara akibat keputusan atau tindakan mereka.
Andre pun mengingatkan prinsip business judgement rule (BJR), yang kerap diklaim sebagai tameng direksi saat mengambil keputusan bisnis, tidak bisa dijadikan pelindung mutlak. Menurutnya, BJR hanya berlaku jika tidak ditemukan unsur kelalaian maupun kesengajaan.
“Kalau mereka rugikan negara, ya harus bisa buktikan bahwa itu bukan karena lalai atau sengaja. Kalau tidak bisa buktikan itu, ya harus diproses secara hukum,” tegas politisi Partai Gerindra itu.
Menurut Andre, BJR bukanlah jalan pintas untuk menghindari tanggung jawab hukum. Ia menekankan, jika keputusan manajerial berujung pada kerugian negara dan tidak disertai prinsip kehati-hatian, maka aparat penegak hukum tetap berwenang menindak.
Andre menyoroti fakta banyak BUMN saat ini masih mendapat suntikan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama dalam bentuk penugasan layanan publik atau public service obligation (PSO). Konsekuensinya, akuntabilitas dan transparansi manajerial menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar.
“Kalau ada dana APBN yang mengalir ke BUMN, maka otomatis harus tunduk pada prinsip akuntabilitas anggaran negara. Dan artinya, kalau ada penyimpangan, ya tetap harus bisa diproses oleh KPK atau aparat lainnya,” ucapnya.
Andre juga menyayangkan jika masih ada pandangan yang menganggap BUMN sebagai zona abu-abu dalam hal pengawasan hukum. Padahal, menurutnya, justru karena peran strategis BUMN di sektor ekonomi nasional, prinsip pengawasan dan integritas harus lebih ketat.
“BUMN adalah bagian penting dari ekonomi negara, tapi itu bukan berarti direksi dan komisarisnya kebal hukum. Negara tidak boleh kalah oleh mereka yang menyalahgunakan wewenang,” pungkasnya.
Business Judgment Rule, Kasus, dan Dana PSO
Business Judgment Rule atau BJR adalah doktrin hukum korporasi yang mula-mula berkembang dalam yurisprudensi di Amerika Serikat. Doktrin ini memberikan safe harbor bagi direksi perusahaan atas keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik, kehati-hatian (duty of care), dan tanpa konflik kepentingan (duty of loyalty).
Artinya, pengadilan umumnya tidak akan mengganggu atau menghukum direksi atas keputusan bisnis yang merugikan, selama keputusan itu dibuat secara rasional, berbasis informasi yang dapat dipercaya, dan untuk kepentingan terbaik perusahaan. BJR bertujuan mencegah direksi menjadi terlalu takut berinovasi karena khawatir disalahkan jika keputusan bisnisnya gagal.
Doktrin BJR diadopsi dalam hukum Indonesia, antara lain tercantum di Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, yang intinya menyatakan bahwa direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan sepanjang menjalankan tugas dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan tidak melanggar hukum perusahaan.
Perlindungan BJR bukan tanpa batas. Doktrin ini tidak melindungi direksi yang menyimpang dari kepentingan dan tujuan perusahaan. Misalnya, di Amerika pengecualian BJR meliputi situasi ketika direksi mengambil keuntungan pribadi dari perusahaan, sengaja merugikan perusahaan/pemegang saham, melakukan kejahatan, menyalahgunakan kesempatan bisnis perusahaan, atau terlibat konflik kepentingan. Dengan kata lain, BJR tidak berlaku jika ada penipuan, kelalaian berat, atau niat jahat dalam keputusan direksi.
Dalam konteks BUMN, doktrin BJR juga dianut seiring status aset BUMN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Tujuannya agar direksi BUMN tidak dipidana hanya karena keputusan bisnis yang merugi, selama keputusannya sesuai kepatutan bisnis. Namun, BJR tidak membuat direksi kebal hukum.
Andre Rosiade menegaskan jika keputusan direksi BUMN menyebabkan kerugian negara, direksi wajib membuktikan tidak ada unsur kelalaian atau kesengajaan dalam tindakan mereka. Jika gagal, proses hukum bisa dijalankan. Prinsip ini sejalan dengan UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025 yang menegaskan BJR, tetapi tetap membuka ruang penindakan pidana bila terjadi korupsi atau penyalahgunaan. Jadi, BJR melindungi keputusan bisnis yang jujur dan profesional, bukan pelanggaran hukum terselubung.
Kasus Hukum, Direksi BUMN Terjerat Korupsi
Meskipun ada BJR, sejarah menunjukkan beberapa direksi BUMN diproses hukum ketika terbukti melakukan pelanggaran pidana atau korupsi. Berikut 3 contoh nyata beserta aspek hukumnya:
1. Skandal Jiwasraya (2020)
Kasus korupsi besar terjadi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim dan mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo terbukti bersalah melakukan korupsi pengelolaan dana investasi yang merugikan negara sekitar Rp16,8 triliun.
Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada keduanya (vonis awal yang lebih berat dari tuntutan). Vonis ini berdasarkan pelanggaran UU Pemberantasan Korupsi, menunjukkan bahwa direksi BUMN dapat dijatuhi hukuman maksimal bila terbukti melakukan kejahatan terstruktur yang menyebabkan kerugian negara sebesar itu.
Kasus Jiwasraya menjadi preseden penting tentang akuntabilitas, meskipun Jiwasraya adalah BUMN, para pejabatnya tidak lolos dari jerat pidana dan diwajibkan menanggung konsekuensi hukum atas perbuatannya.
2. Kasus Garuda Indonesia
Di maskapai nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, mantan Direktur Utama Emirsyah Satar terlibat kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat (termasuk suap dari pabrikan Rolls-Royce). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Emirsyah dalam dua berkas perkara korupsi.
Pada 2024, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Emirsyah menjadi 10 tahun penjara (dari putusan sebelumnya 5 tahun). Peningkatan hukuman ini menegaskan keseriusan penegakan hukum. Banding justru menambah vonis bagi eks bos BUMN tersebut. Selain hukuman penjara, Emirsyah juga dijatuhi denda dan uang pengganti hasil suap miliaran rupiah.
Kasus Garuda menunjukkan direksi BUMN dapat dipidana atas tindak pidana korupsi (suap), dan proses peradilan bisa berlangsung panjang dengan vonis berat sebagai bentuk akuntabilitas.
3. Kasus Asabri (2021)
Skandal korupsi juga melanda PT Asabri (Persero), perusahaan asuransi milik negara untuk prajurit TNI/Polri. Dua mantan direktur utamanya, Mayjen (Purn) Adam Damiri dan Letjen (Purn) Sonny Widjaja, terlibat penyelewengan investasi Asabri bersama sejumlah pihak. Audit mengungkap kerugian negara sekitar Rp22,7 triliun akibat korupsi ini.
Pada awal 2022, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Adam Damiri dan Sonny Widjaja—hukuman yang bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa, meski kemudian dikorting sedikit di tingkat banding. Selain itu, beberapa direktur dan pihak swasta lain (termasuk Dirkeu Asabri dan pemodal) dihukum belasan tahun penjara.
Kasus Asabri menegaskan bahwa pangkat tinggi atau status BUMN tidak menghalangi proses hukum. Para jenderal purnawirawan yang menjabat direksi BUMN tetap diadili layaknya warga negara lain ketika terlibat korupsi besar. Putusan hakim juga menekankan moral hazard dan kerugian masif pada keuangan negara sebagai hal yang memberatkan.
Contoh-contoh di atas menggambarkan bahwa direksi BUMN benar-benar bisa dijerat hukum jika melakukan korupsi atau tindak pidana lain. BJR tidak menyelamatkan para direksi dalam kasus-kasus tersebut karena jelas terdapat unsur kesengajaan melawan hukum, penipuan, dan konflik kepentingan.
Para direksi ini dihukum berdasarkan UU Tipikor dengan vonis mulai belasan tahun hingga seumur hidup penjara, serta kewajiban membayar uang pengganti kerugian. Hal ini sejalan dengan pesan bahwa direksi BUMN tidak kebal hukum. Ketika ada kelalaian atau kesengajaan merugikan negara, mekanisme hukum pidana korupsi akan berjalan normal tanpa pandang bulu.(*)