KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VI DPR RI, Kawendra Lukistian, mendorong wacana pembentukan bursa logam baru di Indonesia sebagai bentuk keberanian dan penguatan posisi tawar di tengah ketidakpastian geopolitik dan perang dagang global.
“Kemarin kita diskusi, kenapa kita tidak berani bikin bursa baru? Indonesia Metal Exchange. Konsolidasi dengan beberapa negara. Apalagi dengan adanya perang dagang seperti ini, ini kan seperti tes nyali kita juga,” ujarnya kepada media di Jakarta, Jumat 16 Mei 2025.
Tak kalah penting, Kawendra menilai digitalisasi menjadi kebutuhan mutlak dalam sistem pengelolaan pertambangan, terutama untuk menekan potensi kebocoran yang selama ini menjadi sorotan. Ia menyebut sistem digital berbasis realisasi lapangan sudah diterapkan di perusahaan seperti Freeport dan Mind ID. Menurutnya, pendekatan serupa sangat mungkin diterapkan pula di PT Timah Tbk.
Adapun maraknya tambang ilegal dan lemahnya kendali harga komoditas timah menjadi sorotan DPR. Ia menegaskan praktik pertambangan liar di sektor timah sudah berlangsung secara masif dan tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Kawendra pun mendesak pemerintah agar langkah konkret segera diambil untuk memperbaiki tata kelola industri timah nasional yang dinilainya sudah sangat darurat. “Tambang ilegal menjadi salah satu problem yang luar biasa. Bahkan setelah kita update, bisa jadi jumlahnya jauh lebih besar yang ilegal,” kata Kawendra.
Ia menyinggung pentingnya kepemimpinan yang berani dan integritas dalam memberantas praktik ilegal di sektor pertambangan. Hal ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin membangun tata kelola negara yang kuat, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
“Kita sudah terlalu banyak memperdayakan orang pintar. Atau orang pintar itu banyak yang tidak jujur juga, Pak. Mudah-mudahan dengan hadirnya Bapak di sana, dengan keberanian dan background Kopassus, bisa memberesi hal tersebut,” ucap Kawendra.
Kawendra pun mendorong jajaran Direksi PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) dan PT Timah Tbk untuk segera menyusun rencana kerja yang konkret dan terukur dalam menangani persoalan tambang ilegal. Ia menekankan pentingnya penjadwalan yang jelas, termasuk target penyelesaian dalam jangka waktu tertentu, agar progresnya bisa dipantau dan dievaluasi secara berkala dalam pertemuan lanjutan.
Ia juga menyinggung isu harga timah global. Menurutnya, Indonesia sebagai salah satu pemilik cadangan timah terbesar dunia bersama China dan Peru, seharusnya tidak hanya menjadi pengikut harga pasar. “Ketika kami di London kemarin, ada satu pembahasan menarik, yaitu soal harga. Kita sebagai salah satu pemilik stok timah terbesar selain China dan Peru, harusnya punya kendali yang lebih privilege dalam menentukan harga ini. Bukannya kita ikut-ikutan,” katanya.
MIND ID: Tata Kelola Timah RI Harus Disatukan
Tekanan terhadap pasar timah global makin terasa seiring turunnya kontribusi ekspor Indonesia dalam dua tahun terakhir. Direktur Utama MIND ID, Maroef Sjamsoeddin, mengatakan Indonesia memegang peran vital dalam ekosistem perdagangan timah dunia sehingga perlunya reformasi tata kelola yang menyeluruh dan lintas sektor.
“Komoditas timah belum bisa tergantikan oleh bahan lainnya di pasar global. Maka, kebutuhan akan timah terus meningkat setiap tahun,” ujar Maroef dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025.
MIND ID mencatat, Indonesia sempat menyumbang 17,5 persen pasokan timah dunia pada 2023 dengan volume produksi 65 ribu ton. Namun pada 2024, angka itu anjlok jadi 45 ribu ton, hanya setara 12 persen dari pasokan global. “Penurunan ini langsung memengaruhi harga. Dari rata-rata USD26.583 per ton pada 2023, kini naik jadi USD31.164 per ton di 2024,” paparnya.
Maroef menyoroti pentingnya kolaborasi dengan sesama produsen utama dunia seperti China dan Peru.
“Strategi Indonesia ke depan harus mengarah pada kerja sama strategis tiga poros: Indonesia, China, dan Peru, agar kita bisa memperkuat posisi tawar dalam pasar global,” jelasnya.
Dalam paparannya, Maroef membagi sistem tata kelola timah menjadi tiga segmen, yakni hulu, niaga, dan industri. Namun saat ini, pengelolaan masih terfragmentasi di banyak kementerian. “Kementerian ESDM dan KLHK pegang hulu, Kemendag pegang niaga, dan Kemenperin pegang hilir. Tanpa koordinasi lintas sektor, kita sulit mewujudkan tata kelola yang komprehensif,” katanya.
PT Timah Tbk saat ini tengah mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya atau RKAB kepasa Kementerian ESDM. Namun proses distribusi dan hilirisasi bergantung pada kementerian lain. “Kita perlu kebijakan yang sinkron dari hulu ke hilir agar potensi timah bisa dimaksimalkan untuk negara,” kata Maroef.
Poros Timah Dunia, Apa Peran Indonesia di Meja Besar?
Jika dunia memang sedang menuju era baru diplomasi komoditas, maka Indonesia seharusnya tak hanya duduk di pinggir meja. Setidaknya dalam soal timah, kita punya cukup cadangan dan sejarah panjang untuk bicara setara dengan dua pemain utama lainnya: China dan Peru.
Ketiganya saat ini menyumbang lebih dari 65 persen pasokan timah global. Berdasarkan data Thunder Said Energy, China berada di puncak dengan kontribusi sekitar 30 persen, Indonesia menyusul dengan 25 persen, sementara Peru membawa sekitar 10 persen ke pasar dunia. Data ini, yang dirangkum dari berbagai laporan pasar logam internasional, menunjukkan bahwa ketiga negara ini bukan sekadar pemain, tapi fondasi pasar timah dunia.
Pertanyaannya kenapa belum ada poros? Kenapa belum ada forum setara OPEC yang bisa mengatur ritme produksi, menjaga stabilitas harga atau sekadar jadi arena diplomasi dagang mineral?
Gagasan pembentukan kerja sama trilateral Indonesia–China–Peru memang belum formal. Tapi wacana ini mengemuka lagi ketika DPR mulai berani bicara soal “Indonesia Metal Exchange” sebagai bursa logam tandingan untuk memperkuat posisi tawar nasional.
Simulasi kecilnya begini: Bayangkan forum tiga negara ini menyepakati batas produksi dan menyelaraskan strategi ekspor. Dalam teori pasar, langkah itu saja sudah cukup untuk menciptakan efek sentimen yang kuat—lalu akan membentuk ekspektasi baru terhadap harga dan memberi tekanan ke negara konsumen untuk tidak lagi menekan harga seenaknya.
Tantangannya jelas, China punya gaya dagang sendiri dan kepentingan industrinya sangat strategis. Peru punya profil dagang yang lebih konservatif. Sementara Indonesia masih sibuk menertibkan tambang ilegal dan menyelaraskan regulasi dari hulu ke hilir.
Tapi bukan berarti tak ada peluang. Justru di tengah fragmentasi itulah letak ruang diplomasi komoditas bisa dimainkan. Indonesia bisa menawarkan diri sebagai balancer antara kekuatan China dan stabilitas Peru. Syaratnya adalah tata kelola kita sendiri harus rapi dulu.
Artinya, hilirisasi tak bisa cuma jargon. Penertiban tambang ilegal harus jalan. Digitalisasi pengawasan pertambangan harus tuntas. Dan yang tak kalah penting, Indonesia harus mulai berani bicara dalam forum global, bukan hanya datang sebagai pendengar.
Dengan segala tantangan dan potensi yang ada, Indonesia mungkin tidak bisa jadi raja tunggal. Tapi kalau tiga produsen terbesar duduk dalam satu meja dan Indonesia jadi inisiatornya, itu sudah cukup untuk mulai mengguncang peta kuasa pasar logam dunia.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.