Logo
>

DPR Soroti BI dan Kemenkeu: Rupiah Makin Loyo!

Ada indikasi bahwa sentimen investor terhadap perekonomian nasional turut berperan.

Ditulis oleh Dian Finka
DPR Soroti BI dan Kemenkeu: Rupiah Makin Loyo!
Rupiah tidak hanya dipicu oleh faktor eksternal, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik. Foto: Abbas/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H Amro, menilai pelemahan Rupiah tidak hanya dipicu oleh faktor eksternal, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik dan stabilitas politik yang belum sepenuhnya terjaga.  

    "Kami melihat ada indikasi bahwa sentimen investor terhadap perekonomian nasional turut berperan dalam tekanan terhadap Rupiah. Kepercayaan pasar adalah kunci, dan ini harus dijaga agar tidak terjadi arus modal keluar yang semakin besar," ujar Fauzi kepada KabarBursa.com di Jakarta,  Kamis 26 Maret 2025.  

    Ia menekankan bahwa koordinasi kebijakan antara pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Kementerian Keuangan harus lebih optimal untuk mengembalikan stabilitas Rupiah.  

    "Kami akan mendorong pemerintah serta otoritas terkait untuk memberikan kepastian kebijakan dan menjaga stabilitas ekonomi. Jika tidak ada langkah konkret, pelemahan Rupiah bisa berlanjut dan dampaknya semakin luas," tegasnya.  

    Menurut Fauzi, koordinasi yang lebih erat antara kebijakan moneter dan fiskal diperlukan agar tekanan terhadap Rupiah bisa segera dikendalikan.  

    "Kami berharap ke depan sinergi ini semakin kuat, sehingga Rupiah tidak terus tertekan dan kepercayaan investor bisa kembali pulih," pungkasnya.

    Ekonomi Terancam: Ekonom Soroti Hal ini

    Perlu diketahui, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan hingga menyentuh level terendah sejak krisis moneter 1998. Melemahnya rupiah tak lagi semata-mata dikaitkan dengan faktor global, tetapi juga disebabkan oleh persoalan domestik yang semakin dalam dan kompleks.

    Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa pelemahan rupiah saat ini merupakan refleksi dari kegagalan pemerintah menjaga kepercayaan pasar. 

    “Ada anomali ketika indeks dolar justru turun, tapi rupiah ikut melemah. Bank Indonesia (BI) memang menyampaikan ada aliran dana ke emerging markets, tapi tetap saja rupiah tertekan. Artinya persoalan utama ada di dalam negeri,” ujarnya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Kamis 27 Maret 2025.

    Ia menyebut bahwa sejak gubernur BI menjabat, rupiah mengalami depresiasi yang konsisten, meski fundamental ekonomi diklaim sehat. Berbagai kebijakan seperti pembentukan Danantara, Koperasi Merah Putih, penghapusan kredit umum, proyek tiga juta rumah, hingga minimnya kepastian hukum, justru menimbulkan kegelisahan pasar atas kemampuan pemerintah membiayai program dan mengelola risiko fiskal.

    Baku Dan Barang Modal Impor

    Syafruddin menyoroti sektor manufaktur sebagai yang paling terdampak. Sekitar 60 persen industri manufaktur nasional masih bergantung pada bahan baku dan barang modal impor. Dengan melemahnya nilai tukar, biaya produksi melonjak tajam. 

    “Mereka akan kesulitan untuk mempertahankan kapasitas produksi karena mahalnya bahan baku,” katanya.

    Lebih lanjut, dia mengatakan Indonesia sebagai negara net importir pangan juga rentan mengalami inflasi pangan akibat depresiasi rupiah. Komoditas seperti beras, gula, garam, bawang putih, susu, jagung, hingga buah-buahan, sebagian besar masih bergantung pada impor. 

    “Pelemahan rupiah menyebabkan harga pangan meningkat, dan ini menekan daya beli masyarakat,” tambahnya.

    Bukan hanya rupiah yang terpukul, kata Syafruddin, tetapi pasar saham juga mencatatkan kinerja yang memprihatinkan. Hingga 25 Maret 2025, IHSG turun ke level 6.161,218, dengan return tahunan menyentuh -12,98 persen. Indonesia kini tercatat sebagai salah satu pasar saham terburuk di Asia tahun ini.

    “Investor tidak hanya melihat angka makro, mereka membaca arah dan konsistensi kebijakan. Ketika tidak ada sinyal fiskal yang meyakinkan, dan Bank Indonesia berjalan sendiri menjaga rupiah tanpa dukungan kebijakan fiskal yang solid, maka yang terjadi adalah kejatuhan pasar,” ujar Syafruddin.

    Alarm Siaga Satu

    Pelemahan Rupiah kembali jadi sorotan. Nilai tukar terhadap dolar AS kini berada di level yang nyaris menyentuh posisi saat pandemi COVID-19, bahkan mendekati titik kritis era krisis 1998. Kepala Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menyebut situasi ini sebagai “Alarm Siaga 1”.

    Liza menyoroti posisi USD/IDR saat ini sudah menyentuh area resistance penting di sekitar Rp16.640 yang dikenal sebagai puncak pelemahan Rupiah saat krisis COVID. Tak jauh dari sana, ada level Rp16.950 yang merupakan level krisis moneter 1998.

    “Rupiah terperosok sampai ke level terendah era COVID di mana saat itu menyentuh Rp16.640 per dolar. Bisa dibilang sudah tak jauh dari level krisis 1998 di bilangan Rp16.950. Sewajarnya ini menyalakan ALARM SIAGA 1!,” kata Liza dalam publikasi teknikal yang diterima KabarBursa.com, Rabu, 26 Maret 2025.

    Yang bikin ngeri, pelemahan ini terjadi di saat indeks dolar global (DXY) belum tinggi-tinggi amat. Artinya, bukan karena dolar terlalu kuat, tetapi karena memang ada yang salah dengan fundamental Rupiah sendiri. Menurut Liza, ini jadi wake-up call buat publik bahwa pelemahan kurs bukan sekadar efek eksternal.

    Dari sisi teknikal, ia melihat potensi pelemahan dolar ke depan berkat pola RSI negative divergence dan munculnya candle doji di grafik bulanan USD/IDR. RSI negative divergence berarti ada ketidaksesuaian antara arah grafik harga dengan indikator kekuatan pasar.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.