KABARBURSA.COM - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Muhammad Hanif Dhakiri, menyoroti urgensi penciptaan lapangan kerja sebagai indikator utama dalam perumusan kebijakan ekonomi nasional.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja hanya akan menciptakan kesenjangan dan frustrasi publik.
“Keberhasilan pemerintah di mata rakyat itu tidak diukur dari angka-angka makro, tapi dari seberapa mudah mereka mendapatkan pekerjaan,” tegas Hanif di Kompleks Parlemen, Minggu, 6 Juli 2025.
Ia menilai, meskipun data pertumbuhan dan inflasi menunjukkan performa ekonomi yang stabil, kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan besar dalam penyerapan tenaga kerja.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar elastisitas penciptaan kerja dijadikan indikator makroekonomi resmi, sejajar dengan inflasi, suku bunga, dan nilai tukar.
“Kalau kita tidak kawal dari awal, dari asumsi makro, bisa-bisa ekonomi tumbuh tapi pekerjaan tidak tumbuh. Ini bahaya,” tegas mantan Menteri Ketenagakerjaan tersebut.
Mengawal Target 19 Juta Lapangan Kerja
Pemerintah Presiden Prabowo menargetkan penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam 5 tahun, atau sekitar 3,8 juta per tahun. Menurut Hanif, target ambisius ini hanya bisa dicapai bila seluruh kebijakan nasional dipaksa bersifat pro-job creation, bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan.
“Pertumbuhan yang kita kejar bukan sekadar angka, melainkan pertumbuhan yang menyerap. Pertumbuhan yang inklusif,” tegas politisi PKB ini.
Ia menyarankan, dengan menempatkan elastisitas pekerjaan sebagai indikator utama, maka seluruh desain kebijakan—baik fiskal, sektoral, hingga regional—akan terdorong untuk bersinergi demi penciptaan lapangan kerja yang nyata.
Hanif mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara Eropa yang telah lebih dulu menggunakan indikator elastisitas pekerjaan sebagai alat ukur kesejahteraan dan stabilitas sosial.
“Kalau inflasi bisa dijaga karena dikawal sampai ke tingkat desa, maka penciptaan lapangan kerja juga harus ada yang kawal. Kalau tidak dimasukkan dalam indikator, siapa yang akan kawal? Pengukurannya pun jadi tidak jelas,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengajak seluruh pemangku kepentingan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, kementerian teknis, hingga pemerintah daerah untuk “keroyokan” menjaga penciptaan lapangan kerja agar pertumbuhan Indonesia tidak hanya cepat, tapi juga berkualitas.
Hanif mengingatkan kembali pada semangat kebijakan fiskal yang pernah digaungkan Menteri Keuangan Sri Mulyani: “Pro-growth, pro-job, pro-poor”.
Ia menilai bahwa semangat “pro-job” ini perlu ditegaskan kembali sebagai prioritas utama pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan tekanan pasar tenaga kerja domestik.
“Saya percaya, kalau ini dikeroyok bareng-bareng, lapangan kerja bisa kita jaga. Maka pertumbuhan kita bukan hanya tinggi, tapi juga berkualitas dan inklusif,” pungkas Hanif.
Pentingnya Elastisitas Penciptaan Kerja
Seperti diberitakan sebelumnya, Sri Mulyani mengapresiasi usulan Wakil Ketua Komisi XI Hanif Dhakiri soal pentingnya memasukkan elastisitas penciptaan kerja sebagai indikator makroekonomi.
Namun, ia menekankan bahwa tanpa dukungan data yang akurat dan cepat, indikator tersebut akan sulit diimplementasikan secara efektif.
“Saya setuju dengan ide elastisitas penciptaan kerja, tapi kita harus punya kemampuan data seperti itu dulu. Di Amerika, mereka punya data pekerjaan bulanan, jadi kebijakan bisa langsung dikalibrasi. Kita belum sampai ke situ,” katanya.
Ia bahkan telah berkomunikasi dengan Menteri Dalam Negeri dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mencari cara agar data ketenagakerjaan bisa diperoleh lebih cepat dan lebih rutin.
“Kita butuh sistem pemantauan seperti untuk inflasi. Itu dijaga semua pihak pusat, daerah, bahkan sampai ke desa. Kenapa lapangan kerja tidak?” tegas Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga menggarisbawahi risiko besar bila ekonomi tumbuh namun tidak menciptakan lapangan kerja. Menurut dia, pertumbuhan tanpa serapan tenaga kerja hanya akan memperlebar kesenjangan dan menciptakan ketidakpuasan sosial.
“Growth itu seharusnya mentranslate ke job. Tapi kalau kita nggak punya data, gimana kita mau pastikan itu terjadi?” ujarnya.(*)