KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mendatang menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam beberapa tahun ke depan. Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan di kisaran 5 persen.
Ekonom yang juga Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, memandang proyeksi IMF lebih realistis. Sebaliknya, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam 2-3 tahun mendatang akan sangat sulit dicapai. "Terlebih dengan strategi besar pembangunan Presiden Prabowo yang terlihat tidak banyak berbeda dan hanya sekadar melanjutkan pemerintahan sebelumnya," ujar Yusuf kepada Kabar Bursa, Senin, 18 Agustus 2024.
Yusuf mengatakan, hingga kini belum terlihat adanya strategi besar baru yang mampu mentransformasi ekonomi Indonesia secara signifikan. Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, kata dia, target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen saja sudah merupakan target yang sangat optimis. Sementara itu, untuk mencapai target 7 persen, diperlukan strategi besar baru dan reformasi birokrasi yang signifikan. "Sedangkan target 8 persen membutuhkan perubahan luar biasa, yaitu strategi besar baru, reformasi birokrasi plus 'extra effort' reformasi hukum dan politik," jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, jika pemerintahan Prabowo hanya melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya tanpa rencana reformasi institusi yang memadai, maka target 8 persen sangat tidak realistis.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di atas 5 persen per tahun, memang krusial bagi Indonesia untuk menjadi negara maju menuju Indonesia Emas 2045. Namun, Yusuf menekankan diperlukan strategi besar baru untuk meruntuhkan "dekade kutukan pertumbuhan 5 persen" yang terjadi pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Menjadi tidak kredibel ketika pemerintahan baru menetapkan target pertumbuhan 8 persen dengan kebijakan lama," tegasnya.
Yusuf juga menyoroti kegagalan strategi besar pembangunan era Presiden Jokowi, yaitu pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang, yang menurutnya gagal mentransformasi perekonomian dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Dalam sepuluh tahun terakhir pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia hanya mampu mencapai pertumbuhan rata-rata 4,2 persen, dan jika periode pandemi tidak diperhitungkan, angkanya tetap hanya mencapai 5,1 persen—jauh dari target pertumbuhan 7 persen. "Maka, jika pemerintahan berikut hanya sekadar melanjutkan narasi besar pembangunan era Presiden Jokowi, mencapai pertumbuhan 6 persen saja akan gagal, terlebih lagi 7 persen atau bahkan 8 persen," kata Yusuf.
Jika pemerintahan berikut gagal melepaskan diri dari "kutukan pertumbuhan 5 persen" era Presiden Jokowi, Yusuf memperingatkan ancaman jebakan kelas menengah (middle income trap) akan segera tiba di depan mata. Dalam sepuluh tahun terakhir, ketika Indonesia menikmati bonus demografi sejak 2012 dengan puncaknya pada 2020-2030, pertumbuhan ekonomi justru semakin melemah.
Yusuf mencatat pada periode 2005-2014 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,8 persen, bahkan mencapai 5,9 persen jika krisis global 2008 tidak diperhitungkan. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir (2015-2024) di era Presiden Jokowi, rerata pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,2 persen, dan jika periode pandemi 2020-2021 dikeluarkan, pertumbuhannya tetap hanya sekitar 5,1 persen—jauh lebih rendah dibandingkan periode SBY.
Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, Yusuf berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu lagi terobsesi menarik investasi setinggi mungkin atau mendorong ekspor secara berlebihan. Obsesi ini, menurutnya, telah terbukti tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan tingkat investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) saat ini yang di kisaran 30 persen dari PDB, Yusuf menilai sebenarnya sudah cukup untuk melambungkan pertumbuhan ekonomi hingga 7-8 persen, dengan syarat Indonesia mampu menekan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang saat ini berada di angka 6,8 menjadi di kisaran 4,0.
Startegi Reindustrialisasi Baru
Yusuf menggarisbawahi efisiensi penggunaan modal dalam perekonomian Indonesia yang sangat rendah membuat birahi investasi negara ini semakin tinggi, bahkan investasi yang tidak berkualitas seperti di sektor ekstraktif. "Obsesi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ekspor membuat ekspor kita terus bergantung pada komoditas yang ekstraktif dan banyak merusak lingkungan seperti batubara dan CPO," tambahnya.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, Yusuf mengusulkan agar pemerintah segera mengatasi rendahnya kualitas angkatan kerja dan mencegah deindustrialisasi dini, yang menurutnya menyebabkan bonus demografi yang saat ini dinikmati Indonesia tidak banyak memberi manfaat bagi industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. "Hanya dengan industrialisasi dan bonus demografi yang berkualitas saja perekonomian kita akan terakselerasi menuju negara berpenghasilan tinggi, keluar dari middle income trap," jelasnya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak Indonesia menikmati bonus demografi pada 2012, namun pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di kisaran 5 persen. Yusuf memperingatkan puncak bonus demografi ini akan berakhir pada 2030. Setelah itu, Indonesia akan mulai memasuki fase maturity, kemudian fase ageing society setelah 2045. "Waktu tersisa untuk meraih posisi sebagai high income country hanya tersisa tujuh tahun sebelum puncak bonus demografi berakhir, dan hanya tersisa 23 tahun sebelum kita memasuki fase penduduk yang semakin menua," ungkapnya.
Oleh karena itu, Yusuf menekankan pentingnya strategi reindustrialisasi baru yang lebih baik daripada sekadar hilirisasi tambang. Ia menilai strategi hilirisasi tambang yang kini digencarkan pemerintah terbukti gagal mentransformasi ekonomi dan mengakselerasi pertumbuhan. "Dengan hilirisasi tambang yang demikian gencar, bahkan ugal-ugalan, pertumbuhan ekonomi kita dalam sepuluh tahun terakhir tetap stagnan di kisaran 5 persen," katanya.
Lemahnya Kapabilitas Inovasi
Yusuf juga menyebut jantung permasalahan dari middle income trap ini adalah lemahnya kapabilitas inovasi industri nasional, yang berujung pada rendahnya produktivitas bangsa. Deindustrialisasi, menurutnya, adalah indikator paling jelas dari kelemahan industri nasional yang hingga kini masih mengandalkan industri padat karya sebagai komoditas ekspor utama selain batubara dan minyak sawit.
Pemerintah era Jokowi berupaya menahan deindustrialisasi dan berusaha membalikkan keadaan menjadi reindustrialisasi melalui kebijakan hilirisasi tambang. Namun, kebijakan ini, menurut Yusuf, semu dalam mendorong inovasi karena sangat mengandalkan kapital dan teknologi asing tanpa upaya berarti untuk mendorong transfer teknologi dan kemampuan domestik.
“Dalam kasus hilirisasi nikel, bergantung secara berlebihan pada kekuatan pasar global, yang hanya memanfaatkan sumber daya alam yang murah dan pasar domestik yang besar melalui proteksi, di tengah sistem politik berbiaya mahal, telah membuat perubahan struktural berjalan lambat dan tidak menghasilkan keunggulan komparatif," jelasnya.
Sebagai perekonomian dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya alam berlimpah, Yusuf menyarankan agar Indonesia lebih memilih strategi domestic demand led growth daripada strategi export-led growth. "Dengan strategi export-led growth yang kita adopsi selama ini, kita hanya menjadi eksportir komoditas bernilai tambah rendah dan sering terbuai dengan kenaikan harga saat commodity boom," katanya.
Yusuf menegaskan Indonesia harus segera mengoptimalkan pasar dan permintaan domestiknya yang sangat besar, terutama di sektor pangan, untuk pertumbuhan yang lebih inklusif dan tidak terlalu dipengaruhi kondisi global. "Permintaan domestik yang sangat besar sering kali tidak teroptimalkan, bahkan untuk sektor paling dasar seperti pangan," pungkasnya.(*)