KABARBURSA.COM - Program pembangunan tiga juta rumah yang digagas pemerintah menuai beragam tanggapan dari para ekonom. Meski dianggap ambisius, program ini dinilai menghadapi tantangan berat dari segi pendanaan hingga dampak ekonomi terhadap sektor properti.
Pengamat ekonomi Salamuddin Daeng memberikan pandangannya mengenai relevansi sektor properti dalam perekonomian global.
“Nilai total properti dunia mencapai 379,7 triliun dolar AS pada akhir tahun 2022. Meskipun nilai ini turun 2,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, tren jangka panjang – peningkatan sebesar 18,7 persen selama tiga tahun terakhir – menunjukkan bahwa properti global tetap bertahan sebagai penyimpan kekayaan yang signifikan,” ungkap Salamuddin kepada Kabarbursa.com melalui telepon, Minggu 26 Januari 2025.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa real estat bernilai lebih besar dibandingkan gabungan pasar ekuitas dan obligasi global.
“Nilai seluruh emas yang pernah ditambang – sebesar 12,2 triliun dolar AS – hanya sedikit di atas tiga persen dari nilai real estat global,” tegas Salamuddin.
Dilema Skema Pembiayaan
Program tiga juta rumah ini memunculkan perdebatan mengenai mekanisme pendanaannya. Ada beberapa opsi yang dipertimbangkan: pembangunan rumah gratis, penjualan dengan harga murah melalui intervensi pemerintah, atau membiarkannya sepenuhnya diatur oleh mekanisme pasar.
Namun, Salamuddin menekankan bahwa masing-masing opsi memiliki konsekuensi berat.
“Pengadaan rumah secara gratis dapat dipastikan sulit dilakukan oleh negara. APBN yang relatif stagnan tidak akan sanggup membiayainya, kecuali ada usaha luar biasa untuk menambah penerimaan APBN,” ujarnya.
Ia juga menyoroti hal negatif lain yang mungkin terjadi, menurutnya pembangunan rumah gratis akan menciptakan efek diskriminasi yang luas dan berpotensi merusak pasar properti lainnya akibat tambahan pasokan rumah dalam jumlah besar.
Opsi kedua, yakni menjual rumah dengan harga murah melalui subsidi pemerintah, juga dinilai bermasalah.
“Penjualan rumah secara murah akan menambah pengeluaran subsidi rumah oleh APBN kepada para pengembang dan bisa memicu kejatuhan harga properti,” jelasnya.
Sementara itu, Salamuddin mengungkapkan bahwa membiarkan mekanisme pasar sepenuhnya berkuasa tidak akan menyelesaikan masalah.
“Jika rumah disediakan sepenuhnya oleh mekanisme pasar, maka tiga juta rumah tidak akan terjangkau oleh daya beli rakyat. Tingginya suku bunga dan berbagai pungutan memaksa menjadi hambatan utama,” katanya.
Solusi dan Tantangan
Salah satu solusi yang diusulkan adalah penyediaan rumah sewa murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, Salamuddin menilai solusi ini juga berisiko.
“Pengadaan rumah sewa murah akan menyebabkan kejatuhan harga sewa properti dan berujung pada kebangkrutan pemilik aset perumahan,” ujarnya.
Meskipun menghadapi berbagai hambatan, Salamuddin menekankan bahwa pembangunan rumah untuk rakyat adalah kewajiban negara. “Pemerintah hanya punya satu opsi, yakni bagaimana membangun rumah untuk rakyat karena itu merupakan amanat UUD 1945,” tegasnya.
Selain masalah teknis, program tiga juta rumah ini juga dihadapkan pada risiko gelembung properti yang telah menjadi ancaman nyata di berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Gelembung properti telah memicu kenaikan harga tanah dan spekulasi yang makin meluas, menyulitkan banyak orang mendapatkan tanah untuk keperluan usaha,” tutur Salamuddin.
Ia menyebut bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta, lebih dari 70 persen bangunan kosong, sementara hampir separuh rumah yang dikembangkan tidak berpenghuni. “Alasan utamanya adalah harga rumah yang belum terjangkau oleh pendapatan masyarakat,” ungkapnya.
Menurut data BPS, hanya 65,25 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap hunian layak, sementara angka backlog perumahan pada tahun 2023 mencapai 9,9 juta.
Harapan di Tengah Tantangan
Salamuddin optimis bahwa pemerintah memiliki peluang untuk membawa perubahan. “Indonesia pernah punya sejarah sukses dalam pembangunan perumahan rakyat. Sekarang, di tengah pelemahan ekonomi, pemerintah harus mengambil alih untuk memimpin jalannya kembali pembangunan perumahan rakyat,” tutupnya.
Dengan segala tantangan yang ada, program tiga juta rumah menjadi ujian bagi kemampuan pemerintah dalam menjawab kebutuhan dasar masyarakat tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi. (*)