Logo
>

Ekonom Khawatir Mismatch Kebijakan Pusat dan Daerah Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Saat pemerintah pusat menekan pedal gas dengan pelonggaran likuiditas, pemerintah daerah justru harus mengerem

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Ekonom Khawatir Mismatch Kebijakan Pusat dan Daerah Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Kebijakan pelonggaran likuiditas perbankan yang didorong pemerintah pusat dinilai berpotensi tidak optimal jika tidak diimbangi dengan penguatan fiskal daerah. 

    Paket kebijakan yang diinisiasi Purbaya Yudhi Sadewa melalui dorongan ekspansi kredit diperkirakan tidak akan memberi efek ekonomi maksimal apabila pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) terus berlanjut dan pemerintah daerah tidak memiliki daya eksekusi yang cukup kuat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

    Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai terjadi ketidakseimbangan kebijakan antara pusat dan daerah yang dapat memperlemah transmisi kebijakan moneter dan fiskal ke sektor riil. “Gas dari perbankan tidak akan efektif kalau roda APBD di daerah melemah,” ujar Syafruddin pada Jumat, 10 Oktober 2025.

    Menurutnya, saat pemerintah pusat menekan pedal gas dengan pelonggaran likuiditas, pemerintah daerah justru harus mengerem akibat pemangkasan TKD. Akibatnya, bank memiliki ruang untuk menyalurkan kredit, namun di sisi lain pemerintah daerah kehilangan otot fiskal untuk mendorong proyek infrastruktur dan belanja produktif. 

    Ia menilai ketidakseimbangan tersebut menyebabkan transmisi dari uang murah ke kegiatan ekonomi riil berpotensi terhenti di tengah jalan.

    Motor pertumbuhan Indonesia sangat bergantung pada aktivitas ekonomi di kabupaten dan kota. Proyek infrastruktur berskala kecil hingga menengah, penguatan UMKM, dan layanan dasar menjadi pendorong permintaan lokal yang cepat. Ketika TKD turun, APBD daerah melemah pada pos belanja dengan multiplier effect tinggi. Kontraktor menunda mobilisasi, pemasok kehilangan pesanan, dan perputaran uang antarwilayah melambat. Bank kemudian menilai prospek arus kas debitur lebih suram sehingga kredit komersial pun tertahan.

    Syafruddin menjelaskan bahwa pemindahan dana pemerintah dari Bank Indonesia ke Himbara dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) pada dasarnya langkah yang tepat, apalagi dengan aturan credit-only yang mendorong dana bekerja di sektor riil. Jika kredit disalurkan ke UMKM, koperasi, dan proyek produktif, rantai permintaan hingga produksi bisa hidup kembali, terutama di daerah yang memiliki proyek siap dibiayai dan BPD yang tangguh.

    Namun dampaknya tidak merata. Daerah yang sangat bergantung pada TKD akan mengalami tekanan lebih besar jika pipeline proyek menipis dan BPD tidak agresif menyalurkan kredit produktif. Sementara daerah dengan penjaminan kredit aktif, kurasi subsektor padat karya, dan proyek bernilai tambah tinggi berpeluang lebih cepat menahan kontraksi ekonomi. Perbedaan kondisi ini diperkirakan akan memperlebar kesenjangan pertumbuhan antarwilayah.

    Ia menilai, efektivitas kebijakan akan lebih kuat jika ada penyelarasan fiskal pusat-daerah. Pemerintah pusat perlu memastikan likuiditas perbankan bergerak seiring dengan daya dorong APBD. "Empat langkah penting untuk menutup mismatch antara kebijakan pusat dan daerah adalah menjaga porsi belanja modal prioritas di APBD, menerapkan top-up TKD berbasis kinerja, memperkuat penyaluran kredit produktif BPD, dan menstabilkan Dana Bagi Hasil agar gejolak harga komoditas tidak langsung mengguncang kas daerah," ujar dia.

    Langkah pertama adalah menjaga porsi belanja modal prioritas di APBD melalui ring-fencing yang tegas agar infrastruktur bernilai tambah tinggi tetap berjalan sejak awal tahun anggaran. Kedua, pemberian tambahan TKD berbasis kinerja bisa memperkuat daya dorong daerah terhadap perekonomian. 

    Ketiga, BPD perlu menyalurkan kredit produktif secara cepat dan terukur dengan dukungan penjaminan selektif bagi UMKM. Keempat, stabilisasi Dana Bagi Hasil dapat memberi kepastian fiskal sehingga bank lebih percaya diri menyalurkan kredit.

    Syafruddin juga mendorong pemda menyiapkan daftar proyek siap dibiayai secara terbuka dengan mencantumkan nilai proyek, status lahan, kesiapan dokumen teknis, dan estimasi serapan tenaga kerja. Pipeline proyek yang jelas akan mengurangi asimetri informasi antara bank dan debitur serta mempercepat pencairan kredit.

    Ia mengingatkan, belanja pusat tidak serta-merta dapat menggantikan belanja daerah karena dampak fiskal sangat dipengaruhi kandungan lokal, sebaran geografis, dan kecepatan eksekusi. Proyek daerah berskala menengah umumnya lebih cepat menyentuh pelaku usaha lokal dibandingkan proyek pusat yang terkonsentrasi di kota besar atau padat impor.

    “Pertumbuhan ekonomi yang sehat butuh dua mesin bergerak bersama: kredit yang siap disalurkan dan APBD yang siap mengeksekusi,” ujar Syafruddin.

    Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan berencana memangkas Transfer ke Daerah (TKD) tahun anggaran 2025 sebesar Rp50,59 triliun sebagai bagian dari langkah konsolidasi fiskal nasional. 

    Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 Tahun 2025 dan diperkuat dengan ketentuan dalam PMK 118/PMK.07/2022 tentang pengelolaan transfer ke daerah dan dana desa. 

    Pemangkasan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan kapasitas belanja negara dan mengoptimalkan efektivitas anggaran di tengah perlambatan penerimaan. Imbasnya, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) di sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota mengalami penurunan signifikan, terutama pada pos belanja modal dan layanan dasar yang selama ini menopang aktivitas ekonomi lokal. 

    Sementara, pemerintah berharap kebijakan dapat diimbangi dengan peningkatan penyaluran kredit produktif dari sektor perbankan, terutama melalui Himbara dan BPD, guna menjaga perputaran ekonomi di daerah.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Pramirvan Datu

    Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.