Logo
>

Ekonom Masih Ragu Insentif Jadi Solusi Kenaikan PPN 12 Persen

Ditulis oleh Dian Finka
Ekonom Masih Ragu Insentif Jadi Solusi Kenaikan PPN 12 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia masih meragukan efektivitas insentif dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah sebagai respons kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025.

    Muhammad Faisal, ekonom senior CORE Indonesia, menilai bahwa insentif tidak menyelesaikan masalah utama pada sebagian besar industri dalam negeri yang tengah terpukul.

    Menurut Faisal, sebagian besar industri Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan barang konsumsi, yang menjadi salah satu hambatan utama dalam meningkatkan daya saing.

    “Dibutuhkan insentif yang lebih signifikan untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi tanpa memperburuk ketergantungan pada impor,” ujar Faisal, dalam acara CORE Media Discussion (CMD) di Gedung CORE Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.

    Faisal juga mengkritik kebijakan insentif yang diterapkan pemerintah, yang menurutnya belum cukup untuk mengatasi masalah struktural yang dihadapi oleh sektor industri.

    “Masalah yang muncul tidak hanya terkait dengan kenaikan PPN, tetapi juga ketidakharmonisan kebijakan di sektor keuangan, perdagangan, perindustrian, energi, dan investasi yang saling bertentangan,” jelasnya.

    Salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh kondisi ini adalah industri tekstil. Faisal menyebutkan bahwa banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup, sebagian besar karena ketidakharmonisan kebijakan dan ketidakmampuan bersaing dengan produk impor, terutama dari China.

    “Banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup, sebagian karena ketidakharmonisan kebijakan dan juga kesulitan dalam bersaing dengan produk impor, terutama dari China. Barang-barang impor yang masuk dengan harga jauh lebih murah, bahkan diduga ada praktik subsidi dan dumping, yang menyebabkan industri lokal kesulitan,” ungkap Faisal.

    Faisal juga mengkritisi kontrol barang impor yang masuk ke Indonesia, termasuk produk ilegal yang tidak terdeteksi. “Masalahnya bukan hanya barang impor legal, tetapi juga barang ilegal yang masuk tanpa pengawasan yang memadai. Ini semakin memperburuk daya saing industri lokal,” tambah peneliti yang tengah mengenakan batik berwarna krem-cokelat.

    Di sisi lain, Faisal mengapresiasi adanya insentif khusus untuk sektor padat karya. Namun, ia menekankan bahwa insentif yang diberikan harus lebih lama dan lebih spesifik.

    “Insentif yang hanya berlaku dua bulan jelas tidak cukup. Terlebih lagi, industri saat ini menghadapi banyak tantangan, termasuk terbatasnya akses pasar dan penjualan,” katanya.

    Sebagai solusi, Faisal menyarankan agar pemerintah memperbaiki kebijakan perdagangan, meningkatkan pengawasan terhadap impor, dan memberikan insentif yang lebih komprehensif dan berjangka panjang.

    “Industri perlu diberi ruang untuk tumbuh, bukan hanya dengan insentif jangka pendek, tetapi dengan kebijakan yang mendukung daya saing jangka panjang dan pengendalian impor,” pungkas Faisal.

    Pentingnya Industrialisasi

    Faisal menekankan percepatan sektor industri manufaktur untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi 8 persen pemerintah Presiden Prabowo Subianto.

    Menurut Faisal, tanpa pertumbuhan industrialisasi yang signifikan, target tak akan tercapai. “Dengan adanya penekanan pada target baru pemerintah, kami menguatkan kembali pentingnya industrialisasi sebagai kunci mencapai target pertumbuhan ekonomi,” ujar Faisal.

    Faisal mengungkapkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 diperkirakan berada pada kisaran 4,8 persen hingga 5 persen. Hal ini bertentangan dengan target 8 persen yang diinginkan pemerintah dalam lima tahun mendatang.

    Dalam analisis CORE Indonesia, meskipun ada perbaikan kebijakan, proyeksi ekonomi Indonesia pada 2024 hanya diperkirakan tumbuh 5,02 persen, dengan kemungkinan berada di angka 5 persen hingga 5,8 persen.

    Perlunya Kebijakan yang Mendukung Industrialiasi

    Faisal menegaskan bahwa untuk mencapai target yang lebih tinggi, kebijakan yang ada harus diubah. “Jika kita ingin mencapai target lebih tinggi, kita harus meninggalkan kebijakan yang ada saat ini. Proyeksi kami menunjukkan bahwa tanpa pergerakan cepat dalam industrialisasi, target tersebut sulit tercapai,” tambahnya.

    Menurut Faisal, industrialisasi sangat penting karena sektor industri mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal yang lebih banyak, terutama untuk mengurangi pengangguran, khususnya di kalangan generasi muda.

    “Industri adalah sektor yang paling efektif dalam menciptakan lapangan pekerjaan formal, yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi,” ujarnya.

    Faisal juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir semakin melambat. Pada periode 2015 hingga 2023, Indonesia hanya mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9 persen, yang menunjukkan penurunan dibandingkan periode sebelumnya.

    “Jika kita melihat ke depan, target pertumbuhan ekonomi pada 2025-2029 berada di kisaran 5,6 persen hingga 6,1 persen, berdasarkan proyeksi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Ini menunjukkan bahwa ada pola perubahan yang jelas dan sangat berbeda dibandingkan dengan masa lalu,” jelas Faisal.

    Faisal mengakhiri pernyataannya dengan berharap agar 2025 menjadi tahun yang dapat memacu perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi, khususnya yang terkait dengan industrialisasi.

    Ia juga menekankan bahwa tanpa perubahan kebijakan yang mendalam, target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi akan tetap menjadi tantangan besar.

    “Jika kita terus bertahan dengan kebijakan yang ada, kita hanya akan mencapai proyeksi pertumbuhan yang terbatas. Industrialiasi harus menjadi fokus utama agar Indonesia dapat mencapai target ekonominya,” pungkas Faisal. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.