KABARBURSA.COM - Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen terhadap barang mewah diprediksi tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap angka inflasi nasional.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, kontribusi barang mewah dalam basket Indeks Harga Konsumen (IHK) terbilang kecil. Jika kebijakan kenaikan PPN hanya diterapkan pada barang-barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), maka efeknya terhadap inflasi akan minim.
“Kalau kenaikan PPN ini benar-benar hanya berlaku untuk barang mewah, sebenarnya dampaknya terhadap inflasi sulit besar. Kontribusi barang-barang tersebut terhadap basket IHK tidak signifikan,” ujar Andri ketika dihubungi kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.
Namun, Andri menyoroti potensi perluasan kebijakan ini di masa depan. Menurutnya, kekhawatiran terbesar adalah seberapa lama kebijakan tersebut akan bertahan hanya untuk barang mewah.
“Yang kita khawatirkan adalah sejauh mana kebijakan ini bertahan untuk barang mewah saja. Apalagi, potensi tambahan penerimaan PPN yang dihasilkan hanya sekitar 10 persen dari rencana awal,” jelasnya.
Andri menambahkan bahwa pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk memperbarui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) secara cepat dan sepihak, sehingga kemungkinan perluasan cakupan PPN menjadi hal yang patut diwaspadai.
“Pemerintah sangat mudah memperbarui PMK ini dengan cepat dan sepihak. Itu yang membuat kebijakan ini berpotensi merambat ke sektor lain,” tutupnya.
Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi menilai, langkah pemerintah mengumumkan peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen sebagai upaya menjaga konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas.
Ia menilai penerapan tarif PPN 12 persen untuk barang-barang mewah dapat memberi dampak positif terhadap konsumsi masyarakat.
“PPN 12 persen itu hanya diterapkan untuk barang-barang kelas atas, seperti pesawat dan rumah dengan harga di atas 35 miliar. Ini sebenarnya merespon baik keinginan masyarakat dan ekonom, di mana konsumsi dari kalangan atas akan tetap mendorong perekonomian,” jelasnya kepada kabarbursa.com, Jumat 3 Januari 2025.
Sementara untuk kalangan menengah ke bawah, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus senilai Rp 38,6 triliun untuk membantu masyarakat, termasuk bantuan pangan untuk 16 juta penerima.
Menurutnya hal inj dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat. Dia mencontohkan salah satunya seperti diskon 50 persen untuk biaya listrik selama dua bulan.
Meski diskon ini hanya bersifat sementara dan bisa jadi tidak cukup untuk mengatasi tantangan jangka panjang, terutama ketika harga barang pokok diperkirakan akan terus naik. Setidaknya kata dia diskon tersebut memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengalokasikan dana mereka untuk kebutuhan lain atau menabung.
“Biasanya stimulus besar diberikan menjelang pilpres atau pilkada, namun di 2025, pemerintah akan memberikan stimulus luar biasa. Ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama yang dari kelas bawah,” ungkapnya.
Tapi, dengan adanya kebijakan pemerintah untuk menghentikan impor gula, beras, dan garam yang diputuskan pemerintah untuk dilakukan pada 2025 berpotensi menekan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
“Harga barang-barang ini pasti akan naik, dan ini berpotensi membuat inflasi semakin meningkat,” ujarnya.
Namun, inflasi yang terjadi di Indonesia, menurutnya, masih terkendali, terutama dengan adanya intervensi dari pemerintah dalam bentuk bantuan sosial (bansos) dan stimulus.
“Target pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 adalah 8 persen. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan memperkuat konsumsi masyarakat. Itu bisa dicapai dengan kebijakan stimulus besar-besaran,” katanya.
Dampak PPN 12 Persen
Penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen yang hanya berlaku untuk barang-barang mewah dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong daya beli produk lain di kalangan masyarakat Indonesia.
Ketua Dewan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudi Sadewa, menyambut positif kebijakan pengkategorian kenaikan PPN tersebut. Menurutnya, langkah ini akan memberikan dampak yang baik bagi perekonomian nasional.
Perubahan ini dianggap mencerminkan pergeseran fokus pemerintah, dari awalnya bertujuan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, kini lebih diarahkan untuk menguatkan daya beli masyarakat.
“Kalau saya bilang ini agak berbalik 180 derajat. Walau tidak kelihatan gamblang tapi bagi saya kelihatan sekali,” ujar Purbaya di kantor BEI, Jakarta Selatan, Kamis, 2 Januari 2025.
Purbaya menjelaskan bahwa kenaikan PPN hanya diberlakukan pada barang-barang mewah, sementara tarif PPN untuk kategori lainnya tetap stabil. Namun, ia tidak merinci secara spesifik barang apa saja yang masuk dalam kategori mewah.
“PPN tidak naik, mewah saja. Tapi sudah dihitung untuk mengurangi dampak PPN sebelumnya kan tetap dikeluarkan. Tidak dipotong,” ungkapnya.
Ia optimistis kebijakan ini akan memberikan stimulus positif pada ekonomi Indonesia, terutama dalam mendorong pertumbuhan konsumsi serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
“Daya beli masyarakat bertambah, ekonomi akan bertumbuh lebih cepat. Demand juga akan makin tumbuh,” katanya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.