KABARBURSA.COM - Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menilai tanda-tanda stagflasi global mulai terlihat semakin jelas sepanjang 2025. Indikasi tersebut tercermin dari pergerakan harga komoditas strategis di pasar global, khususnya emas dan tembaga (copper).
Menurut Yanuar, tren kenaikan harga emas yang berlangsung konsisten di pasar menjadi salah satu sinyal utama. Selain itu, harga tembaga juga mulai menunjukkan penguatan, meskipun rasio tembaga terhadap emas masih berada dalam tren menurun.
Ia menjelaskan, pergerakan tersebut mencerminkan adanya perubahan strategi pelaku pasar global.
"Artinya memang global hedge fund melakukan rebalancing posisi inflasi (naiknya harga cooper) tapi juga sekaligus menyimpan emas sebagai instrumen hedging ketidakpastian. Itu, kenapa trennya sepanjang 2025 stagflasi," ungkap dia dalam keterangannya, Senin 22 Desember 2025.
Yanuar menambahkan, sinyal stagflasi global juga diperkuat oleh mulai pulihnya inflasi dan sektor tenaga kerja di sejumlah negara, yang diiringi dengan arah kebijakan moneter yang semakin ketat.
Ia menyoroti kebijakan Bank of Japan (BOJ) yang bergerak menuju suku bunga tinggi dengan menyerap likuiditas melalui normalisasi neraca moneter dan penjualan surat utang. Di sisi lain, Bank Sentral China (PBoC) dan Bank Sentral Eropa (ECB) juga tengah berupaya menahan tekanan di sektor properti agar tidak berkembang menjadi krisis di pasar keuangan, di tengah perlambatan sisi produksi China.
Dengan kondisi global tersebut, Yanuar menilai Indonesia akan menghadapi tantangan berat apabila terdampak stagflasi global. Hal ini berkaitan dengan sejumlah persoalan domestik yang masih membebani perekonomian nasional.
Ia menyinggung kualitas belanja pemerintah yang dinilai buruk dalam satu dekade terakhir, peningkatan penerbitan surat utang, hingga besarnya beban utang yang jatuh tempo. Selain itu, perlambatan perdagangan dengan China serta kebijakan pengetatan likuiditas oleh The Fed dan BOJ turut mempersempit ruang gerak ekonomi.
Untuk mengantisipasi dampak terburuk stagflasi global, Yanuar menekankan pentingnya langkah pemerintah dalam membangun kepercayaan pasar dan menjaga stabilitas sosial.
"Sehingga ini mendahului kurva sebelum isu-isu tersebut digunakan pasar untuk mendorong pemburukan pasar keuangan Indonesia di saat beban fiskal yang melebar dan biaya moneter meningkat, unsur isu persepsi bisa membuat situasi lebih buruk," ungkap Yanuar.
Ia juga menilai Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain dalam menghadapi tekanan ekonomi global, termasuk langkah cepat dalam mengelola persepsi dan meredam potensi konflik.
"Kita jangan sampai seperti Bangladesh 2024 yang pemerintahnya asyik sendiri dan menciptakan konflik sosial di saat fiskal pun terbatas untuk bansos dalam masa stagflasi," ungkapnya.(*)