Logo
>

Ekonom Sebut Kemenkeu tak Jujur Soal Penerimaan Negara

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ekonom Sebut Kemenkeu tak Jujur Soal Penerimaan Negara
Ilustrasi penurunan penerimaan negara. (Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Penurunan target pendapatan negara dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 dinilai sebagai bentuk pengakuan pemerintah dalam hal mengerek pendapatan negara. Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga disebut belum terbuka dalam mengakui penurunan kinerja penerimaan negara. 

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengungkapkan, pemerintah menetapkan rasio pendapatan negara di kisaran 11,71–12,22 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal realisasi APBN 2024 telah mencapai 12,84 persen dan target 2025 ditetapkan sebesar 12,36 persen.

“Target yang cukup realistis, namun sekaligus pengakuan Pemerintah atas kesulitannya meningkatkan pendapatan,” kata Awalil dalam keterangannya, pada Minggu, 25 Mei 2025.

Bahkan, menurutnya, target APBN 2025 yang sudah lebih rendah dari realisasi 2024 pun diperkirakan sulit tercapai.

Dalam catatannya, nilai tengah target pendapatan negara untuk 2026 hanya 11,97 persen, lebih rendah dari rata-rata capaian selama 2015–2024 yang mencapai 12,55 persen. Bahkan, jumlah ini tertinggal dibanding capaian rata-rata 2005–2014 yang menyentuh 16,50 persen. Oleh karena itu, ia menilai Kementerian Keuangan belum sepenuhnya jujur terhadap publik.

“Narasi Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, seolah masih menolak mengakui (denial) kinerja pendapatan negara yang menurun,” ujar Awalil.

Salah satu indikator penting lainnya adalah rasio perpajakan. Meski secara sekilas tampak meningkat—ditargetkan 10,08 persen–10,45 persen dari PDB—nilai batas bawahnya justru sama persis dengan realisasi tahun 2024, yakni 10,08 persen. Target 2025 sendiri hanya 10,24 persen.

Jika dibandingkan dengan rerata kinerja era 2005–2014 yang mencapai 11,68 persen, kata dia, maka sasaran ini masih berada jauh di bawah standar historis.

Rata-rata pada 2015–2024 pun hanya 9,93 persen, dan itu sudah mencakup dua tahun pandemi yang menggerus penerimaan pajak. Menariknya, menurut Awalil, proyeksi jangka menengah (2026–2029) untuk perpajakan terlihat terlalu optimistis. 

“Sasaran batas bawah justru realistis, sedangkan batas atasnya tampak terlampau tinggi,” ungkapnya. Untuk tahun 2029 misalnya, batas atas rasio perpajakan dipatok hingga 15,01 persen, naik drastis dari 10,08 persen di tahun 2026.

Sementara itu, penurunan tajam justru terjadi pada target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Rasio yang ditetapkan untuk 2026 berada di kisaran 1,63–1,70 persen dari PDB, turun dari target 2025 sebesar 2,11 persen, dan jauh di bawah realisasi 2024 yang mencapai 2,48 persen.

Awalil menilai tren ini sebagai sinyal bahwa pemerintah tidak lagi menaruh harapan besar pada lonjakan harga komoditas. Produksi pun belum diprediksi meningkat signifikan.

Namun ia juga mencurigai faktor lain, yakni adanya pergeseran porsi laba BUMN yang biasanya masuk ke PNBP kini dialihkan ke lembaga baru seperti Danantara.

“Jika benar demikian, maka menimbulkan pertanyaan bagaimana kontribusi Danantara dan BUMN dalam Pendapatan Negara di masa mendatang,” ujarnya.

Di tengah tantangan ini, Pemerintah tampaknya enggan mengambil risiko memaksa kenaikan pendapatan negara. Menurut Awalil, hal itu bisa mengganggu sektor swasta dan memicu efek "crowding out" dalam ekonomi. Namun, masalahnya terletak pada proyeksi jangka menengah yang disebut Awalil penuh ketidakpastian. 

“Persoalan serius adalah pada proyeksi tahun-tahun berikutnya yang batas bawahnya sangat pesimis, dan batas atasnya terlampau optimis,” ujarnya.

Kemenkeu Sebut APBN Kembali Surplus

Sebelumnya, Kemenkeu mengumumkan posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per April 2025 berhasil mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun, setelah sebelumnya mengalami defisit selama tiga bulan pertama tahun ini. Angka surplus tersebut setara dengan 0,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Terjadi pembalikan dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit, posisi akhir April APBN kita mengalami surplus Rp 4,3 triliun,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparan kinerja APBN KiTA, Jumat, 23 Mei 2025 di Jakarta.

Perubahan arah fiskal ini mencerminkan bahwa pendapatan negara telah melampaui total pengeluaran. Hingga akhir April, total pendapatan negara tercatat sebesar Rp810,5 triliun atau sekitar 27 persen dari target sepanjang tahun. Sementara itu, belanja negara mencapai Rp806,2 triliun atau sekitar 22,3 persen dari keseluruhan alokasi anggaran.

Menurut Sri Mulyani, capaian ini didorong oleh percepatan penerimaan negara yang mulai mengimbangi tekanan dari sisi belanja. Ia menyebutkan bahwa defisit pada kuartal I lebih disebabkan oleh melambatnya penerimaan, khususnya dalam sektor perpajakan.

“Januari–Maret waktu itu kita membukukan defisit karena terutama penerimaan pajak kita yang mengalami beberapa shock seperti restitusi dan adanya adjustment terhadap penghitungan TER,” jelasnya.

Rincian dari pendapatan negara per April menunjukkan kontribusi dominan dari pajak yang menyumbang Rp557,1 triliun. Diikuti oleh bea dan cukai sebesar Rp100 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp153,3 triliun.

Dari sisi pengeluaran, total belanja hingga April mencakup belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun dan transfer ke daerah mencapai Rp259,4 triliun. Belanja pusat tersebut terdiri atas pengeluaran kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp253,6 triliun dan belanja non-K/L sebesar Rp293,1 triliun.

Selain capaian surplus total, Sri Mulyani juga menyoroti posisi keseimbangan primer yang mencatat angka positif dan dianggap sebagai indikator penting dalam kesehatan fiskal nasional.

“Keseimbangan primer surplus Rp173,9 triliun dan total postur surplus Rp4,3 triliun,” ungkapnya.

Lebih lanjut, merujuk pada data hingga 30 April 2025, penerimaan perpajakan telah mencapai Rp657 triliun atau 26,4 persen dari target. Angka ini terdiri dari penerimaan pajak sebesar 25,4 persen dan bea-cukai yang sudah mencapai 33,1 persen. Sementara itu, PNBP tercatat telah terkumpul 29,8 persen dari target tahun ini.

Adapun total belanja negara yang ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun untuk tahun 2025, telah terealisasi sebesar 22,3 persen. Realisasi transfer ke daerah bahkan tercatat lebih tinggi, yakni 28,2 persen dari alokasi yang direncanakan.

Dengan surplus keseimbangan primer sebesar Rp173,9 triliun, capaian ini berbalik jauh dari proyeksi awal dalam rancangan APBN yang memperkirakan defisit sebesar Rp63,3 triliun. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.