KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) Indonesia yang bermasalah. Menurutnya, jika kebijakan ini tidak segera direformasi berpotensi menghambat kinerja ekonomi nasional.
Wijayanto menyebut bahwa dalam kurun 10–15 tahun terakhir, tren kenaikan UMP Indonesia menunjukkan anomali jika dibandingkan dengan negara-negara selevel di kawasan.
Ia menilai, kenaikan UMP Indonesia justru menjadi yang tertinggi dibandingkan negara pembanding seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, Korea, dan Taiwan, meskipun tidak diiringi peningkatan produktivitas yang memadai.
“Kenaikan UMP tertinggi dibanding peer countries (Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, Korea, Taiwan), dimana rata-rata 8 persen per-tahun tetapi kenaikan produktifitas terendah," ujarnya kepada KabarBursa.com, Jumat, 19 Desember 2025.
Ia juga menyoroti desain kebijakan UMP yang tidak dikaitkan dengan peningkatan keterampilan dan pengalaman kerja tenaga kerja. Menurutnya, hal ini menciptakan insentif yang keliru bagi buruh.
“Tidak dikaitkan dengan skill dan masa kerja, sehingga buruh malas upgrade skill, produktifitas tetap rendah," ungkap dia.
Dari sisi formula penetapan, ia menilai pendekatan yang selama ini digunakan tidak mencerminkan kondisi riil dunia usaha. “Formula inflasi + alfa x GDP growth, tidak realistis. Idealnya link ke produktifitas, bukan GDP," kata dia.
Untuk diketahui, rumus pengupahan tersebut baru saja ditandatangani Presiden Prabowo Subianto dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan pada Selasa, 16 Desember 2025.
Peraturan ini mengatur formula kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 hingga Upah Minimum Sektoral Kabupaten atau Kota (UMSK). Adapun formula kenaikan upah ditetapkan sebesar inflasi ditambah hasil perkalian pertumbuhan ekonomi dengan indeks alfa, dengan rentang nilai alfa antara 0,5 hingga 0,9.
Secara substansi, rumus ini memiliki kemiripan dengan ketentuan dalam PP Nomor 51 Tahun 2023 yang juga menggunakan formula UMP = inflasi + (alfa × pertumbuhan ekonomi). Perbedaannya terletak pada indeks alfa yang digunakan. Pada PP Nomor 51 Tahun 2023, nilai alfa berada pada rentang 0,2 hingga 0,8.
Selain itu, PP Pengupahan tersebut juga mengatur batas waktu penetapan upah minimum. Gubernur di setiap provinsi diwajibkan menetapkan besaran upah tahun 2026 paling lambat pada 24 Desember 2025.
Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten atau Kota (UMK).
Gubernur juga wajib menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) serta dapat menetapkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten atau Kota (UMSK).
Khusus untuk tahun 2026, penetapan besaran kenaikan upah oleh gubernur harus dilakukan paling lambat pada 24 Desember 2025.
Selain itu, Wijayanto mengkritik pembahasan UMP yang kerap dilakukan secara terpisah dari agenda pembangunan industri nasional dan perbaikan iklim usaha. “Kenaikan UMP dibahas seolah terpisah dari upaya membangun ekosistem industri dan iklim usaha. Seharusnya secara terintegrasi," terang dia.
Ia juga menyinggung struktur penetapan upah minimum berlapis, mulai dari UMP, UMK, hingga UMSP/K, yang memang memberi fleksibilitas, namun sekaligus memicu kompleksitas negosiasi. Selain itu, ia juga menjelaskan UMP =
Lebih jauh, Wijayanto memperingatkan bahwa ketidakpastian UMP dapat membawa dampak struktural yang serius terhadap perekonomian nasional.
“UMP yang tidak pasti, mempercepat deindustrialisasi, memperbesar sektor informal, membuat UMKM malas naik kelas, dan membuat supply high quality job berkurang," lanjutnya.
Karena itu, ia menegaskan perlunya langkah korektif di level kebijakan jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Jika ingin memajukan ekonomi, Prabowo perlu melakukan reformasi kebijakan tentang UMP," tandasnya.(*)