KABARBURSA.COM – Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai paket stimulus yang digulirkan pemerintah untuk meredam dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen tidak mampu memperbaiki daya beli masyarakat.
Rendahnya daya beli, kata Andri, karena pendapatan masyarakat masih rendah sehingga bukan semata-mata karena kurang insentif. Menurutnya, stimulus pemerintah hanya solusi sementara dan bukan menyelesaikan akar masalah.
“Stimulus sebenarnya sulit untuk mengobati daya beli masyarakat karena penyebab utamanya adalah tingkat pendapatan yang rendah. Insentif-insentif ini hanya menjadi pereda sementara, bukan solusi jangka panjang,” kata Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.
Alih-alih membantu masyarakat kelas bawah, Andri menilai stimulus yang diberikan pemerintah lebih justru lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil.
“Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, mayoritas nilai dari paket stimulus ini akan lebih banyak dirasakan oleh masyarakat kelas menengah ke atas yang sudah relatif aman secara ekonomi," jelasnya.
Agar tidak salah sasaran, Andri mendesak pemerintah menggunakan stimulus untuk menjangkau kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah yang paling banyak terdampak kenaikan PPN.
Menurutnya, kebijakan stimulus perlu diarahkan secara lebih tepat sasaran agar benar-benar mampu menjangkau kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah yang paling terdampak.
“Kalau stimulus ini tidak diatur dengan baik, justru bisa memperlebar kesenjangan karena manfaatnya lebih besar dirasakan kelompok ekonomi atas,” tambah Andri.
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan paket stimulus sebesar Rp38,6 triliun untuk membantu masyarakat meredam dampak kenaikan PPN, termasuk bantuan pangan untuk 16 juta penerima.
Lebih lanjut, Andri menilai paket stimulus yang hampir menyentuh Rp40 triliun yang digulirkan pemerintah tidak lebih dari sekadar gimik. Karena, besaran stimulus tersebut tidak mencerminkan pengorbanan nyata dari belanja negara.
Menurutnya, dampak stimulus terhadap masyarakat juga terbilang minim jika dibandingkan dengan skenario di mana pemerintah benar-benar menggelontorkan dana Rp40 triliun secara langsung.
Dari total Rp40 triliun, hanya sekitar Rp4,6 triliun yang benar-benar dirasakan masyarakat. Karena anggaran Rp4,6 triliun tersebut bakal dialokasikan untuk bantuan beras selama dua bulan.
“Yang benar-benar menggunakan anggaran belanja dalam paket stimulus ini hanya bantuan beras selama dua bulan yang dianggarkan tidak lebih dari Rp4,6 trilun,” terang dia.
Sisanya lebih banyak berupa insentif yang secara tidak langsung membebani BUMN dan sektor swasta, bukan dari kantong APBN.
“Yang menanggung diskon tersebut adalah dari keuangan PLN, bukan dari anggaran pemerintah secara langsung, yang mana sejatinya dapat berpengaruh pada keuangan PLN dalam jangka panjang,” pungkasnya.
PPN Turunkan Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya, Peneliti Ekonomi dari Celios Bakhrul Fikri menyatakan kekhawatirannya terkait dampak kenaikan PPN yang berlaku sejak awal tahun 2025. Menurutnya, risiko menaikkan PPN adalah menurunkan pertumbuhan ekonomi.
“Jika tarif PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen, saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya akan mencapai 4,09 persen. Ini sangat berbahaya karena dapat memicu resesi dan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan,” ujar Fikri saat dihubungi Kabarbursa.com, Sabtu, 28 Desember 2024.
Fikri mengungkapkan, konsumsi rumah tangga yang berkontribusi sebesar 53 persen terhadap PDB Indonesia turun signifikan pada kuartal ketiga 2024. Penurunan tersebut mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat dan butuh perhatian serius.
Ia menawarkan pengurangan tarif PPN dari 11 persen menjadi 8 persen untuk memberi dampak positif bagi konsumen dan dunia usaha.
“Dengan menurunkan tarif PPN, permintaan akan meningkat, dan dunia usaha, terutama sektor UMKM, bisa terhindar dari risiko kerugian besar,” terangnya.
Selain menurunkan PPN, ia juga mendesak pemerintah lebih cerdas mencari alternatif pendapatan negara yang lebih progresif seperti halnya mengenakan pajak regresif kepada kelompok ekonomi kelas atas.
Dengan membebani kelompok ekonomi atas pajak sebesar 2 persen dari 50 orang terkaya dapat menghasilkan tambahan pendapatan negara hingga Rp81,6 triliun per tahun—jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan penerimaan dari kenaikan tarif PPN.
Ia menilai, apa yang ia sarankan memberikan dapat memberi dampak yang lebih adil dan berkelanjutan dan menjaga daya beli masyarakat yang saat ini tertekan.
Di lain pihak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim kenaikan PPN didasari prinsip keadilan dan gotong royong. Bahkan menurutnya, keputusan menaikkan PPN telah mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan bertujuan menjaga daya beli di tengah tantangan global dan domestik.
“Ekonomi kita tetap berjalan meski dihadapkan pada dinamika global dan situasi dalam negeri yang perlu diwaspadai,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers bertema Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, di Jakarta. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.