KABARBURSA.COM- Rencana pemerintah untuk menyalurkan uang sebesar Rp200 triliun kepada perbankan dinilai bisa menyebabkan beberapa faktor jika tidak dijalankan dengan baik. Salah satu dampaknya ialah inflasi.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyoroti penyaluran uang tersebut jika sudah diterima perbankan. Ia mengatakan jika uang sulit disalurkan, dana akan mengendap dan membuat Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan akan mengecil yang berportensi memperburuk laporan kinerja perusahaan.
“Maka bagi perbankan, akan lebih mudah ditempatkan ke investasi. Ingat, ada Danantara yang bisa melakukan hal tersebut. Ada juga kecurigaan terkait dengan “siapa” yang akan menerima kucuran dana ini? Pelaku UMKM, pertumbuhannya hanya 1,82 persen sedangkan korporasi tumbuha hingga 9,59 persen,” ujar dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 12 September 2025.
Huda kemudian menjelaskan dampak dari kemungkinan penyaluran itu tidak berjalan dengan baik. Menurut dia, ketika guyuran uang ini tidak terserap, maka bisa terjadi inflasi. Ketika perputaran ekonomi masih lambat, namun guyuran uang dilakukan, maka yang terjadi bukan ke ekonomi, tapi inflasi.
“Ketika permintaan kredit dari dunia usaha sedikit, bagi perbankan akan lebih mudah menyalurkan ke sektor multiguna (termasuk konsumsi). Uang di masyarakat naik, tapi produksinya masih melambat maka akan terjadi demand lebih tinggi dibandingkan supply. Yang terjadi adalah kenaikan harga barang. Ini yang berbahaya ketika perencanaan guyur uang ini tidak matang,” ungkapnya.
Di sisi lain, Huda menyampaikan jika pertumbuhan kredit terus menurun walaupun Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sekitar enam persen (akhir tahun 2024) menjadi lima persen.
“Artinya memang meskipun diturunkan, permintaan masih cukup rendah. Jadi masalahnya ada di sisi demand-nya dibandingkan dengan supply,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah bersiap menarik dana simpanan dari Bank Indonesia senilai Rp200 triliun untuk dialihkan ke sektor perbankan. Langkah ini dilakukan guna mengatasi kekeringan likuiditas yang belakangan menjadi perhatian pelaku industri, sekaligus mempercepat penyaluran kredit ke sektor riil agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan, Presiden Prabowo telah menyetujui rencana penarikan dana mengendap ini. Hal tersebut disampaikannya usai menghadiri pertemuan dengan Presiden di Istana Kepresidenan RI, di Jakarta, Rabu malam, 10 September 2025.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa tujuan utama kebijakan ini adalah mempercepat perputaran uang di perekonomian. Dengan likuiditas tambahan, bank-bank diharapkan mampu menyalurkan kredit produktif yang dapat mendorong konsumsi, investasi, serta mendukung program-program prioritas pemerintah.
Adapun skema pemberiannya disebut mirip dengan program penempatan dana sebelumnya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung Koperasi Desa Merah Putih.
Saat itu, dana Rp83 triliun ditempatkan di bank-bank milik negara (himbara) agar bisa dimanfaatkan dalam bentuk pembiayaan koperasi. Bedanya, kali ini skala dana yang dilepas jauh lebih besar, yakni Rp200 triliun, sehingga jangkauannya diperkirakan akan lebih luas.
Meski begitu, pemerintah masih menyiapkan aturan teknis terkait bank mana saja yang akan menerima aliran dana ini. Regulasi menjadi kunci agar penempatan dana benar-benar efektif mendorong kredit, bukan sekadar menambah dana murah bagi perbankan.
Febrio menekankan, pemerintah tidak ingin dana tersebut dialihkan ke instrumen investasi pasif seperti pembelian Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), karena justru akan mengurangi efektivitas kebijakan.
Dengan penempatan dana langsung di perbankan, pemerintah berharap bank memiliki ruang lebih besar untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif, mulai dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga proyek-proyek strategis.