KABARBURSA.COM - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) dan regulasi turunannya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), yang membatasi pengaturan tentang industri hasil tembakau (IHT), masih menjadi perdebatan hangat hingga kini, khususnya di kalangan pelaku usaha dan industri domestik.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengidentifikasi dua dampak utama dari penerapan PP Kesehatan terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp160,6 triliun, dan kedua, kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dapat melibatkan 2,29 juta orang.
Akibat dampak tersebut Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad menilai, tugas Menteri Keuangan (Menkeu) berikutnya, di era pemerintahan Prabowo Subianto, akan lebih berat nantinya. Apalagi jika ingin mengerek tax ratio atau rasio perpajakan lebih dari 10 persen.
"Betapa beratnya PR (pekerjaan rumah) Menteri Keuangan yang baru ingin menaikkan rasio pajak kalau sudah harus kehilangan Rp160,6 triliun," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk, "Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram," di Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Secara terperinci, Tauhid menjelaskan bahwa terdapat tiga skenario utama yang dapat menyebabkan hilangnya penerimaan negara. Skenario pertama adalah rencana pengenalan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam rancangan Permenkes, yang berpotensi meningkatkan downtrading.
Downtrading merujuk pada kecenderungan konsumen untuk beralih ke produk rokok yang lebih terjangkau. Indef memperkirakan bahwa penerimaan negara dapat berkurang hingga Rp95,6 triliun akibat skenario pertama ini.
"Kemasan polos mendorong downtrading hingga switching ke rokok ilegal lebih cepat, berdampak pada permintaan produk legal sebesar 42,09 persen," tutur Tauhid.
Skenario kedua, PP Kesehatan dan Rancangan Permenkes akan mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah. Indef memperkirakan bahwa larangan ini berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan negara sebesar Rp43,5 triliun.
Skenario ketiga adalah pembatasan iklan rokok dalam regulasi tersebut. Misalnya, pengurangan waktu tayang iklan di media dan pelarangan promosi atau sponsorship. Indef menilai bahwa pembatasan iklan ini dapat berakibat pada hilangnya penerimaan negara sebesar Rp21,5 triliun.
Tauhid menegaskan kembali bahwa dampak ekonomi yang harus ditanggung negara akibat penerapan ketiga skenario tersebut adalah kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp160,6 triliun.
"Misalnya, katakanlah penerimaan negara harus mencari alternatif Rp160 triliun. Nah sumbernya dari mana? Ini kan yang kemudian harus dibicarakan," tutur Ekonom Senior Indef.
Potensi PHK 2,29 Juta Orang
Selain potensi hilangnya penerimaan pajak, Indef memperkirakan bahwa pembatasan pada bisnis rokok dan industri hasil tembakau dalam PP Kesehatan serta regulasi terkait akan menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karena industri tembakau merupakan sektor yang padat karya, Tauhid mengungkapkan bahwa sekitar 2,29 juta pekerja akan terdampak jika pemerintah menerapkan ketiga skenario tersebut. Angka ini setara dengan 1,6 persen dari total angkatan kerja.
"Kalau kita lihat kembali, angka (PHK) 2,29 juta (orang) itu lebih tinggi dibandingkan angka penyerapan tenaga kerja dan prestasi yang kita tanam dalam setahun kemarin," tuturnya.
Untuk itu, Indef memberikan tiga rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, merevisi PP Kesehatan dan membatalkan Rancangan Permenkes, terutama pada pasal-pasal yang dianggap berpengaruh terhadap penerimaan dan perekonomian Indonesia.
Kedua, mendorong dialog antara kementerian/lembaga yang memiliki kepentingan dalam industri, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Perindustrian, Perdagangan, Keuangan, Ketenagakerjaan, Kesehatan, dan Pertanian.
Ketiga, jika kebijakan tersebut diterapkan, pemerintah harus mencari sumber alternatif untuk menggantikan penerimaan negara yang hilang. Selain itu, perlu juga mempersiapkan peluang kerja baru bagi pekerja yang terdampak PHK.
"Saya kira yang berat dari penerimaan sehingga perlu ada alternatif. Kalaupun aturan ini (PP Kesehatan dan turunannya) diberlakukan, namun yang paling berat masa depan masyarakat, terutama yang terdampak karena ada lebih dari 2,29 juta yang akan terdampak," tutup Tauhid.
Berpotensi bikin Ketidakstabilan Sektor Lain
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti tidak transparannya penyusunan dan pelaksanaan PP Kesehatan dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Franky Sibarani, Wakil Ketua Umum Apindo, mengatakan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam PP dan RPMK tersebut berpotensi menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor, antara lain ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT).
“Industri saat ini sedang sangat prihatin. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait,” kata Franky.
Franky juga menggaris bawahi, pentingnya pemerintah melakukan pendalaman bahwa kondisi sosio-ekonomi Indonesia sangat berbeda dengan industri tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja. Artinya, pada gilirannya pemerintah tidak bisa hanya berkaca ke negara-negara tertentu untuk begitu saja mencontoh kebijakannya tanpa pendalaman.
Dalam kesempatan yang sama, sejumlah asosiasi lintas sektor turut menyampaikan pendapatnya. Hal ini terkait keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan perekonomian nasional. (*)