KABARBURSA.COM – Ketika Presiden Donald Trump memberlakukan tarif impor pada berbagai negara musim semi lalu, banyak ekonom khawatir hal itu akan membuat harga melonjak dan konsumsi melambat. Prediksi awal bahkan menyebutkan potensi resesi ekonomi. Sentimen konsumen sempat terjun bebas. Indeks saham S&P 500 juga sempat anjlok 19 persen antara Februari hingga April. Dunia menahan napas, menanti kejatuhan berikutnya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Keyakinan bisnis dan konsumen kini mulai pulih. Data dan indikator ekonomi terbaru menunjukkan geliat belanja kembali muncul setelah sempat tertahan.
Pasar saham menembus rekor tertinggi. Indeks sentimen konsumen Universitas Michigan, yang sempat merosot ke titik terendah dalam tiga tahun pada April, mulai naik lagi. Penjualan ritel tumbuh lebih cepat dari prediksi ekonom. Inflasi tinggi yang dikhawatirkan juga belum benar-benar terjadi—setidaknya untuk saat ini.
“Kami terus-terusan dibuat terkejut oleh perilaku konsumen,” kata Jonathan Millar, ekonom senior Amerika Serikat di Barclays dikutip dari The Wall Street Journal, Senin, 21 Juli 2025. Pada April lalu, ia memperkirakan ekonomi AS akan terjebak resesi tahun ini. Kini, prediksinya bergeser: ekonomi masih akan tumbuh, meski dengan laju yang lebih lambat.
Tyler Ahn, manajer produk berusia 46 tahun dari Portland, Oregon, memutuskan untuk bersikap waspada sejak Donald Trump terpilih. Ia memborong perlengkapan darurat—seperti senter, alat pemecah kaca, tablet pemurni air, hingga sepeti rosé asal Prancis. Sepanjang musim dingin dan awal musim semi, Ahn mengerem pengeluaran sembari mengikuti perkembangan isu tarif dari Gedung Putih.
Namun baru-baru ini, ia mengendurkan kewaspadaannya. “Saya pikir ya sudahlah, uang saya cuma bisa beli segitu,” katanya. “Masa saya enggak hidup juga?” Ia baru saja pulang dari liburan dua minggu ke Italia dan Prancis. Meski nilai tukar dolar melemah, ia tak berhemat soal hotel, makan malam, hingga gelato.
Meski mulai pulih, ekonomi AS belum sepenuhnya lepas dari turbulensi. Pertumbuhan masih lesu. Inflasi memang telah turun dari puncaknya saat pandemi, tetapi masih lebih tinggi dari target Federal Reserve. Aktivitas manufaktur menyusut selama empat bulan berturut-turut hingga Juni. Sementara itu, razia imigrasi menekan belanja konsumen Hispanik.
Ancaman tarif juga belum sirna. Meski Trump beberapa kali menunda kenaikan tarif impor, ancaman tetap menghantui. Awal Juli ini, ia mengancam menerapkan tarif 30 persen atas produk dari Uni Eropa dan Meksiko mulai 1 Agustus mendatang.
Namun dibanding awal tahun, perusahaan dan konsumen kini punya pandangan yang lebih optimistis. JPMorgan Chase melaporkan laba kuartalan yang jauh di atas ekspektasi dan menyatakan para ekonom internalnya tidak lagi memperkirakan akan terjadi resesi.
“Setelah shock awal karena kebijakan tarif, semua sempat menunggu dan menahan diri,” kata Jeremy Barnum, Chief Financial Officer JPMorgan. “Tapi pada titik tertentu, hidup harus terus berjalan. Rasanya sekarang sudah mulai ke arah itu.”
Bank tersebut mencatat kenaikan belanja kartu sebesar 7 persen. Bank besar lain seperti Bank of America, Citigroup, dan Goldman Sachs juga mencatat pertumbuhan laba. Maskapai United Airlines menyebutkan adanya lonjakan permintaan perjalanan. Gelombang laporan keuangan dalam beberapa pekan ke depan akan memberi gambaran yang lebih lengkap.
Dalam survei Juli terhadap 1.267 pemilik usaha kecil AS yang dilakukan oleh platform pemasaran digital Constant Contact, sebanyak 44 persen responden menyatakan permintaan atas produk dan jasa lebih tinggi dari yang mereka perkirakan pada Januari. Sekitar sepertiga optimistis bisnis mereka akan membaik dalam tiga bulan ke depan, dan hampir sepertiganya yakin akan merekrut pegawai baru dalam periode itu.
Sektor tenaga kerja memang masih menunjukkan kelemahan. Perekrutan oleh perusahaan swasta cenderung lamban. Namun tingkat pengangguran yang tercatat sebesar 4,1 persen pada Juni masih tergolong rendah dalam konteks historis. Sebabnya: perusahaan juga enggan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Tradisi musim semi sebagai musim pendaftaran tersibuk di perusahaan konsultan masuk perguruan tinggi, Command Education, tak berlaku tahun ini. Tapi pada pekan pertama Juli, mereka mencatat pendaftaran terbanyak sejak Januari. Menurut CEO Christopher Rim, klien-klien kaya mereka sempat menunda karena pasar saham gonjang-ganjing pada Maret dan April. Namun kini, mereka siap kembali belanja layanan senilai minimal USD85.000 (sekitar Rp1,38 miliar) untuk satu tahun.
Dua staf baru bergabung minggu lalu, menambah jumlah karyawan menjadi 51 orang. Lima posisi penuh waktu lagi akan dibuka sebelum musim panas berakhir. “Benar-benar gila,” kata Rim. Salah satu staf penjualannya bahkan membatalkan liburan demi mengejar jadwal pertemuan klien.
Sikap pesimistis pada musim semi kemarin, sebagian besar dipicu oleh kekhawatiran lonjakan inflasi akibat tarif. Ketakutan itu mulai mereda. Survei Universitas Michigan bulan ini menunjukkan ekspektasi inflasi konsumen sebesar 4,4 persen dalam satu tahun ke depan—turun dari 6,6 persen pada April.
Meski beberapa ancaman tarif dari Trump tertunda, secara total beban tarif efektif saat ini tetap berada di level tertinggi dalam lebih dari satu abad. Dampaknya kemungkinan masih akan terasa. Menurut Michael Feroli, kepala ekonom AS di JPMorgan, kebijakan tarif Trump di 2018 baru terlihat dampaknya terhadap belanja modal pada paruh kedua 2019. “Beberapa hal butuh waktu,” ujarnya.
Inflasi memang sempat naik tipis pada Juni, terutama dari barang-barang sensitif terhadap tarif seperti mainan, pakaian, dan perabot rumah. Hal ini menjadi sinyal awal bahwa pelaku usaha mulai meneruskan beban tarif kepada konsumen.
Aaron Anderson, pemilik jaringan restoran brunch Sunrise Social, mengatakan tarif dan suku bunga tinggi masih membuatnya berhati-hati. Ia belum berani berekspansi membuka cabang baru. Namun bukannya berhenti, ia memilih berinvestasi lebih pada pemasaran, penambahan staf, dan peningkatan kualitas pengalaman pelanggan.
“Saya tetap optimistis dalam jangka panjang,” ujarnya.
Christian Reed, pendiri Reekon Tools yang berbasis di Boston, juga menahan produksi produk baru akibat ancaman tarif. Perusahaannya bekerja sama dengan pabrik-pabrik di China, Thailand, dan negara lain yang terdampak tarif. Musim semi ini, katanya, jauh lebih kacau dari awal pandemi.(*)