KABARBURSA.COM - Tanda-tanda krisis ekonomi mulai terlihat setelah Indonesia mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut dari Mei hingga Agustus 2024. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, kondisi ini menunjukkan ekonomi berada dalam situasi yang tidak stabil, terutama dengan melemahnya daya beli masyarakat.
Esther menegaskan deflasi berkelanjutan adalah indikasi awal terjadinya krisis ekonomi. Mengutip berbagai periode deflasi di masa lalu, seperti yang terjadi selama tujuh bulan berturut-turut pada 1999 saat masa pemulihan krisis moneter, dan deflasi dua bulan pada 2008-2009 akibat krisis finansial global, ia melihat pola serupa yang kini sedang terjadi.
"Artinya di sini pada tahun-tahun tersebut ketika terjadi deflasi berbulan-bulan secara berurutan itu ada krisis," kata Esther dalam forum Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri secara virtual, Ahad, 15 September 2024.
Melihat tren deflasi saat ini, Esther menekankan perlunya kewaspadaan dan intervensi kebijakan. Ia mendorong Bank Indonesia (BI) untuk segera bertindak sebagai otoritas pemegang kebijakan moneter. BI, menurut dia, memiliki tugas bukan hanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, tetapi juga menjaga stabilitas harga.
Esther merekomendasikan agar BI mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan atau BI Rate sebagai salah satu langkah intervensi. Selain itu, ia menyarankan BI untuk mempertimbangkan kebijakan giro wajib minimum dan mendorong peningkatan kredit.
“Bank sentral pemegang kebijakan moneter bisa melakukan intervensi kebijakan stabilisasi harga agar Indonesia tidak terjadi deflasi terus-terusan sehingga bisa menghindarkan dari krisis ekonomi," katanya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, deflasi yang terjadi pada empat bulan terakhir mencatat penurunan 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, dan 0,03 persen pada Agustus. Kondisi ini menjadi peringatan akan potensi krisis yang memerlukan perhatian serius dari otoritas terkait.
Tak Berdampak pada Sektor Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya menyatakan dampak dari deflasi yang berlangsung selama empat bulan berturut-turut serta penurunan kelas menengah belum terlihat mempengaruhi sektor jasa keuangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa meskipun Indonesia mengalami deflasi selama empat bulan terakhir, inflasi inti justru menunjukkan peningkatan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa permintaan masih tetap tinggi.
“Dapat kita simpulkan bahwa terjadinya deflasi dan penurunan jumlah kelas menengah, dilihat dari angka-angka yang ada dalam sektor jasa keuangan nampaknya belum atau tidak memperlihatkan dampak yang signifikan,” katanya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Agustus 2024 di Youtube OJK, Jumat 6 September 2024
Mahendra juga memaparkan sejumlah data terkait sektor jasa keuangan per Juli 2024. Sebagai contoh, kredit perbankan secara keseluruhan tumbuh sebesar 12,4 persen.
Selain itu, piutang pembiayaan meningkat 10,53 persen dan outstanding pembiayaan naik 23,97 persen. Ia menekankan bahwa data tersebut menunjukkan pertumbuhan dan kinerja sektor jasa keuangan yang tetap stabil.
“Tentu kita berharap hal itu (deflasi dan menurunnya kelas menengah) tidak akan terjadi dampak signifikan,”
Mahendra juga menyatakan bahwa pemerintah, melalui OJK, terus mengambil berbagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang mungkin terjadi. Ia berharap agar kinerja dan pertumbuhan sektor jasa keuangan serta perekonomian secara umum dapat tetap terjaga dengan baik.
“Di lain sisi, pemerintah dalam hal ini kami di OJK terus melakukan berbagai langkah untuk terus mengantisipasi kemungkinan dampak-dampak yang kurang baik,” katanya.
Daya Beli Masyarakat Bergerak Lambat
Mahendra menyoroti lambatnya pemulihan daya beli masyarakat. Kata dua laju inflasi nasional, terutama pada komponen inti, cenderung stabil hingga Agustus 2024, dengan tingkat inflasi mencapai 0,20 persen secara bulanan (month to month/mtm).
“Namun, perlu diperhatikan bahwa pemulihan daya beli yang sedang berlangsung saat ini relatif lambat,” kata Mahendra dalam konferensi pers Hasil RDK Bulanan Agustus 2024 yang digelar secara virtual, Jumat, 6 September 2024.
Indikator perekonomian tersebut perlu dicermati untuk menjaga kinerja sektor pasar keuangan domestik, yang saat ini sedang “kebanjiran” aliran modal asing.
Mahendra menyebutkan, pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia, tengah banyak menerima aliran modal asing, khususnya ke instrumen obligasi, seiring dengan ekspektasi penurunan tingkat suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
“Di pasar domestik kinerja perekonomian masih cukup positif dan cenderung stabil dengan tingkat inflasi inti yang terjaga, dan neraca perdagangan yang tercatat surplus,” tuturnya.
Meskipun demikian, Mahendra meminta kepada para pemangku kepentingan, khususnya pelaku industri, untuk tetap berhati-hati dan menyiapkan langkah antisipatif, sebab ketidakpastian global masih berlanjut.
Ketidakpastian yang dimaksud utamanya bersumber dari sentimen pelemahan ekonomi China, gelaran Pemilihan Presiden AS, serta tensi geopolitik yang masih tinggi di sejumlah kawasan.
“OJK meminta industri untuk menilai down side risk secara berkala, seperti menyediakan buffer yang memadai dan pelaksanaan uji ketahanan secara periodik,” kata Mahendra.(*)