KABARBURSA.COM - Pemerintah melaporkan penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp27,85 triliun hingga akhir Agustus 2024. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menguraikan rincian penerimaan ini.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, menjelaskan penerimaan terdiri atas beberapa komponen utama, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp22,3 triliun, pajak kripto sebesar Rp875,44 miliar.
Adapun lainnya diterima dari pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp2,43 triliun, serta pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang mencapai Rp2,25 triliun.
Selama periode tersebut, pemerintah telah menunjuk 176 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, termasuk penunjukan terbaru untuk THE World Universities Insights Limited dan Cloudkeeper (Singapore) PTE. LTD, serta satu pembetulan data untuk Freepik Company, S.L.
"Dari jumlah pemungut yang ditunjuk, 166 telah melaporkan dan menyetorkan PPN PMSE sebesar Rp22,3 triliun. Setoran ini meliputi Rp731,4 miliar dari tahun 2020, Rp3,90 triliun dari 2021, Rp5,51 triliun dari 2022, Rp6,76 triliun dari 2023, dan Rp5,39 triliun dari 2024," jelas Dwi, dalam pernyataan resminya, Jumat, 13 September 2024.
Lanjutnya, penerimaan dari pajak kripto sampai Agustus 2024 mencapai Rp875,44 miliar, dengan rincian Rp246,45 miliar dari tahun 2022, Rp220,83 miliar dari 2023, dan Rp408,16 miliar dari 2024. Penerimaan ini terdiri dari Rp411,12 miliar dari PPh 22 atas transaksi penjualan kripto dan Rp464,32 miliar dari PPN DN atas transaksi pembelian kripto.
Di sektor fintech (P2P lending), pajak yang diterima hingga Agustus 2024 mencapai Rp2,43 triliun. Rincian penerimaan terdiri dari Rp446,39 miliar dari tahun 2022, Rp1,11 triliun dari 2023, dan Rp872,23 miliar dari 2024.
Komponen pajak fintech ini meliputi PPh 23 sebesar Rp765,27 miliar atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT, PPh 26 sebesar Rp354,2 miliar atas bunga pinjaman untuk WPLN, dan PPN DN sebesar Rp1,31 triliun.
"Untuk pajak SIPP, penerimaan hingga Agustus 2024 mencapai Rp2,25 triliun, yang terdiri dari Rp402,38 miliar pada tahun 2022, Rp1,12 triliun pada 2023, dan Rp726,41 miliar pada 2024. Pajak SIPP meliputi PPh sebesar Rp152,74 miliar dan PPN sebesar Rp2,09 triliun," jelas Dwi.
Dwi, mengungkapkan bahwa pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE untuk menjaga keadilan dan kesetaraan berusaha antara pelaku usaha konvensional dan digital.
Dwi juga menambahkan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.
Penerimaan Pajak Indonesia
Sementara itu, otoritas pajak harus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia yang dapat mengurangi penerimaan pajak tahun ini. Hal ini disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat dan harga komoditas yang menjadi tantangan bagi kantor pajak dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam APBN 2024.
Contohnya, penerimaan PPN dan PPnBM hanya mencapai Rp155,79 triliun, turun 16,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp185,7 triliun.
Begitu juga dengan kinerja PPN Dalam Negeri yang mengalami kontraksi sebesar 23 persen, meskipun kontribusinya besar dalam penerimaan pajak.
Kontraksi ini disebabkan oleh peningkatan restitusi terutama dari sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan, yang berasal dari kompensasi lebih bayar tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, hal ini perlu diperhatikan dengan hati-hati karena mempengaruhi penerimaan negara.
“Ini harus kita lihat secara hati-hati. Artinya ada koreksi yang mempengaruhi penerimaan negara. Koreksi dari kegiatan ekonomi, apakah dari sisi harga komoditas maupun kegiatan ekonomi yang terefleksikan dalam penerimaan negara,” kata Sri Mulyani beberapa hari lalu.
Di sisi lain, PPN impor juga mengalami kontraksi sejalan dengan melemahnya aktivitas impor, baik secara bruto maupun neto.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menyatakan bahwa penurunan pertumbuhan PPN perlu direspon serius karena porsinya besar dalam penerimaan pajak keseluruhan.
Pemerintah menyebut penurunan penerimaan PPN disebabkan oleh restitusi, meskipun data menunjukkan penurunan kinerja PPN tanpa restitusi yang juga dipengaruhi oleh melemahnya transaksi perdagangan dan daya beli korporasi.
Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, memperkirakan peningkatan setoran PPN di masa mendatang seiring dengan perkuatan kondisi politik pasca pilpres 2024 dan efek perang di Timur Tengah dan Ukraina yang dapat meningkatkan harga migas, yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak termasuk PPN.
Kemenkeu akan terus memantau kondisi ekonomi dan keuangan serta melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga defisit APBN agar tetap sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. (*)