KABARBURSA.COM - Laporan terbaru dari Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa ekonomi domestik Indonesia tetap kuat di tengah ketidakpastian global, didukung oleh peningkatan konsumsi dalam negeri, investasi, dan belanja pemerintah.
Ekonomi domestik tumbuh sebesar 5,11 persen (yoy) pada triwulan I-2024, naik dari 5,04 persen (yoy) pada triwulan IV-2023. Pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi domestik yang kuat, investasi, ekspor, dan belanja pemerintah.
Pembangunan infrastruktur pemerintah, termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), dan kegiatan pelaksanaan Pemilu 2024 juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Belanja pemerintah pusat yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat mencapai Rp640,9 triliun hingga Mei 2024, atau 77,8 persen dari total realisasi.
Investasi swasta untuk pembangunan IKN mencapai Rp60 triliun sampai saat ini.
Pertumbuhan kredit bank umum mencapai 12,40 persen (yoy) pada triwulan I-2024, meningkat dari 9,93 persen (yoy) pada periode yang sama tahun sebelumnya. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 7,44 persen (yoy), naik dari 7,00 persen (yoy) tahun sebelumnya.
Risiko kredit membaik dengan rasio NPL gross menurun menjadi 2,25 persen, meskipun NPL net sedikit meningkat menjadi 0,77 persen. Kinerja BPR dan BPRS juga cukup baik dengan pertumbuhan DPK meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Rasio permodalan BPR dan BPRS masing-masing adalah 32,60 persen dan 23,57 persen, menunjukkan modal yang cukup kuat.
Laporan ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan global, ekonomi Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan yang kuat melalui kombinasi konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah yang efektif.
Tingkatkan Teks Rasio
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan naik 12 persen pada 2025 dinilai bakal memberatkan masyarakat dan pelaku industri.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyebut teks rasio Indonesia memang relatif lebih rendah dibandingkan banyak negara lainnya.
Namun menurut Faisal, untuk meningkatan teks rasio dengan cara menaikan PPN, akan memberatkan masyarakat maupun pelaku industri.
“Untuk menaikan teks rasio itu juga perlu ada strategi yang tepat. Kalau cara dengan menaikan PPN satu persen dalam kondisi ekonomi seperti sekarang, ini menurut saya dampaknya akan dirasakan lebih berat bagi masyarakat dan pelaku industri,” ujar Faisal kepada KabarBursa, Rabu 13 Maret 2024.
Hal tersebut dikatakan Faisal, karena ia menilai kondisi ekonomi saat ini sedang tidak mendukung. Ditambah, lanjutnya, kondisi ekonomi global tengah melambat.
“Ini dikhawatirkan juga berdampak terhadap ekonomi domestik,” ucap dia.
Di sisi lain, Faisal menjelaskan kenaikan PPN bukan hanya berdampak kepada harga pangan, namun ke semua jenis transaksi barang dan jasa.
“Kalau PPN lebih mengena ke semua jenis transaksi barang dan jasa bukan cuma harga pangan,” terangnya.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberi kode jika tarif PPN bakal naik menjadi 12 persen pada 2025.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen itu merupakan rencana yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Itu artinya, PPN yang saat ini sebesar 11 persen, kemungkinan bisa naik menjadi 12 persen pada 2025.
Airlangga menegaskan program yang sudah dicanangkan itu akan berlanjut pada pemerintah selanjutnya. Dia menyebut masyarakat sudah menjatuhkan pilihannya yakni berkelanjutan.
“Pertama tentu kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, yakni keberlanjutan. Tentu berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan. Termasuk dalam kebijakan PPN,” kata Airlangga, Jumat 8 Maret 2024.
Inflasi Global
Bank Indonesia (BI) memperingatkan bahwa inflasi global masih menunjukkan keberatan untuk merosot ke tingkat yang rendah. Hal ini diantisipasi dapat memengaruhi perekonomian domestik.
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, mengungkapkan bahwa alasan dari stagnasi inflasi global adalah data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang masih solid, yang mengakibatkan biaya tenaga kerja tetap tinggi.
Tak hanya itu, eskalasi ketegangan geopolitik juga belum mereda dan belum ada proyeksi kapan situasi tersebut akan membaik.
“Perlu diperhatikan bahwa di sisi inflasi global, kita melihat bahwa penurunan inflasi global masih terkendala,” ujar Juda dalam acara Economic Outlook 2024.
Selain itu, indeks pengiriman pasokan juga mengalami peningkatan, yang menghambat penurunan inflasi global yang beberapa bulan sebelumnya telah menunjukkan tren menurun.
Menurut Juda, faktor-faktor ini juga meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global.
Dapat dilihat dari penguatan indeks dolar AS (DXY) yang mencapai 104,1 atau meningkat 0,18 persen pada awal Februari 2024. Sementara itu, yield US Treasury bertenor 10 tahun masih berada di atas 4,59 persen. Semua ini mencerminkan kondisi ketidakpastian yang masih melanda.(*)