KABARBURSA.COM - Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Indonesia, Andi Rahmat, mengingatkan potensi terjadinya stagnasi sekuler dalam perekonomian nasional yang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Ia menjelaskan, istilah stagnasi sekuler kembali mengemuka setelah dipopulerkan oleh ekonom Harvard, Larry Summers, dan pertama kali diperkenalkan oleh Alvin Hansen pasca Depresi Ekonomi 1930-an.
“Stagnasi sekuler adalah keadaan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu yang panjang mengalami stagnasi,” kata Andi Rahmat dalam keterangannya, Senin 22 Desember 2025.
Menurutnya, stagnasi sekuler umumnya dipicu oleh lemahnya pertumbuhan permintaan agregat, seperti rendahnya investasi atau pembentukan modal tetap bruto, serta pertumbuhan konsumsi domestik yang cenderung datar akibat daya beli masyarakat yang terbatas.
“Faktor penyebabnya antara lain dapat dilihat pada pertumbuhan permintaan aggregat yang stagnan, seperti investasi atau pembentukan modal tetap bruto yang rendah, pertumbuhan konsumsi domestik yang cenderung datar dikarenakan rendahnya pertumbuhan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai stagnasi juga dipengaruhi oleh problem struktural ekonomi yang tidak terselesaikan, serta respons kebijakan fiskal dan moneter yang kurang tepat.
“Dan juga oleh problem struktural ekonomi yang tidak terpecahkan, dan seringkali pula, respon kebijakan fiskal dan moneter yang tidak tepat,” kata dia.
Andi Rahmat menegaskan, negara yang mengalami stagnasi sekuler umumnya akan dihadapkan pada meningkatnya pengangguran dan melemahnya daya beli masyarakat.
“Perekonomian yang mengalami stagnasi sekuler biasanya akan menghadapi tingginya angka pengangguran dan penurunan daya beli,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, indikasi stagnasi sekuler di Indonesia sebenarnya telah terdeteksi sejak beberapa tahun lalu. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI pada 2024 telah menenggarai munculnya fenomena tersebut.
“Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang satu dekade terakhir hanya berkisar 5 persen dan terus menunjukkan kecenderungan pelambatan,” kata Andi Rahmat.
Dari sisi sektor riil, ia menyoroti stagnasi pertumbuhan manufaktur nasional dalam sepuluh tahun terakhir yang rata-rata hanya tumbuh 3,55 persen.
“Memang benar, Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu sentra rantai pasok manufaktur global. Tetapi yang juga tidak bisa dipungkiri adalah pertumbuhan manufaktur Indonesia juga mengalami fenomena trade off,” ujarnya.
Ia menambahkan, perlambatan sektor manufaktur semakin terasa pasca pandemi COVID-19. Pada periode 2022–2024, pertumbuhan manufaktur nasional tercatat masing-masing sebesar 4,89 persen pada 2022, 4,64 persen pada 2023, dan 4,43 persen pada 2024.
Selain manufaktur, struktur perekonomian nasional juga dinilai turut memperkuat potensi stagnasi berkepanjangan. Salah satunya tercermin dari rasio kewirausahaan Indonesia yang relatif stagnan.
“Rasio Kewirausahaan Indonesia tumbuh stagnan rata-rata 3,3 persen pertahun, di bawah standar Bank Dunia sebesar 4 persen,” kata Andi Rahmat.
Padahal, dalam satu dekade terakhir realisasi investasi tercatat mencapai Rp 9.117 triliun. Namun, ia menilai besarnya investasi tersebut belum diikuti distribusi ekonomi yang memadai.
Ia juga menyoroti terjadinya konsentrasi ekonomi yang semakin menguat, di mana kurang dari 2 persen pelaku ekonomi menguasai puncak piramida ekonomi nasional, sementara 98 persen sisanya berada di lapisan bawah.
“Keadaan ini cukup untuk menjelaskan bahwa kendati pertumbuhan realisasi investasi dalam satu dekade terakhir cukup besar, namun tidak terjadi distribusi ekonomi yang memadai,” ujarnya.
Menurut Andi Rahmat, kondisi tersebut membuat pertumbuhan ekonomi tidak lagi menimbulkan efek trickle down dan justru memperbesar konsentrasi ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi nasional tidak lagi bisa menimbulkan efek trickle down. Alih-alih malah cenderung melahirkan konsentrasi ekonomi ke atas,” katanya.
Ia menilai, berbeda dengan negara maju yang mengalami stagnasi sekuler akibat penuaan populasi, hambatan struktural Indonesia justru terletak pada rendahnya rasio pelaku usaha dan tingginya konsentrasi penguasaan sumber daya ekonomi.
“Di Indonesia, problem struktural yang cukup menghambat pertumbuhan ekonomi adalah rendahnya rasio pelaku usaha dan konsentrasi penguasaan sumber daya ekonomi,” ujar Andi Rahmat.
Ia menambahkan, kondisi ekonomi yang terakumulasi selama satu dekade terakhir masih membayangi perekonomian Indonesia pada 2025, termasuk di awal pemerintahan Prabowo-Gibran yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
“Satu tahun pemerintah Prabowo-Gibran yang menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 8 persen masih dihadapkan pada keadaan ekonomi akumulatif yang sepertinya cukup kepala batu untuk menahan pertumbuhan ekonomi di zona 5 persen,” katanya.
Karena itu, ia menilai pemerintah memerlukan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada perubahan struktural untuk keluar dari jebakan stagnasi.
“Pemerintahan Prabowo memerlukan kebijakan ekonomi yang solid dan bertendensi pada perubahan struktural perekonomian nasional,” ujarnya.
Ia pun menguraikan sejumlah langkah fundamental yang perlu ditempuh, mulai dari peningkatan rasio kewirausahaan nasional, pembukaan akses permodalan yang lebih luas, hingga penguatan basis pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi perkotaan.
Selain itu, Andi Rahmat menekankan pentingnya menjaga ekspektasi pelaku usaha, memastikan kebijakan memiliki efek pengganda yang besar, serta membenahi aktivitas underground economy atau shadow economy yang kontribusinya diperkirakan mencapai 18 persen–30 persen dari PDB nasional.
“Kegiatan ekonomi jenis ini sangat distortif terhadap perekonomian nasional,” kata dia.
Ia menegaskan, stagnasi sekuler tidak dapat diatasi dalam waktu singkat dan membutuhkan konsistensi kebijakan jangka menengah.
“Tahun 2026 adalah tahun yang kritikal bagi upaya Pemerintahan Prabowo untuk mengungkit perekonomian Indonesia keluar dari zona stagnan,” pungkasnya.