KABARBURSA.COM - Perlambatan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 masih menjadi sorotan. Meski secara siklus kuartal awal tahun kerap menunjukkan kinerja yang lebih rendah, Ekonom Senior Fithra Faisal menilai seharusnya ekonomi Indonesia mampu tumbuh lebih tinggi, apalagi dengan momentum Ramadan dan Lebaran.
"Kalau misalnya secara siklus, harusnya kalau kita bandingkan dengan kuartal I tahun lalu, itu kan pertumbuhan ekonomi 5,11 persen. Kalau dibandingkan dengan yang tahun ini, kuartal I 4,87 persen, sebenarnya itu seharusnya nggak normal, karena memang kuartal I ini harusnya dengan membuat Lebaran dan Ramadan itu, harusnya bisa di atas 5 persen," kata Fithra dalam siaran YouTube, Selasa 13 Mei 2025.
Ia juga menyoroti tren kontraksi secara kuartalan (quarter to quarter) yang sebenarnya terjadi secara berulang.
"Di tahun ini quarterly kita terkontraksi minus 0,98 persen dibandingkan dengan kuartal IV. Nah tahun lalu itu juga terkontraksi sekitar 0,83 persen, dan itu terjadi juga tahun lalunya lagi, tahun 2023 minus 0,91 persen," jelasnya.
Kontraksi ini, menurutnya, dipicu oleh pola pengeluaran pemerintah yang cenderung lebih tinggi di akhir tahun dibandingkan awal tahun yang biasanya tidak semuanya itu dikeluarkan di awal atau frontloading
"Karena memang ada perbedaan antara spending pemerintah di akhir tahun yang ngegas,," ujarnya.
Meski begitu, Fithra optimistis bahwa Indonesia belum akan menuju ke arah resesi teknikal.
"Makanya saya belum melihat bahwa kita akan menuju ke arah technical recession di kuartal II, karena biasanya di kuartal II juga kalau kita bandingkan dengan kuartal I-nya itu seharusnya lebih positif," imbuhnya.
Tekanan Tarif Global Bikin Dunia Melambat
Fithra menilai, kondisi Indonesia masih relatif tertahan meski harus menghadapi berbagai tantangan dari eksternal.
"Tekanan global ini memang menghadirkan ketidaktentuan. Bagaimana World Bank dan juga IMF bahkan sudah memprediksi untuk pertumbuhan ekonomi global itu terkontraksi 0,3 persen sampai 0,5 persen, dari seharusnya 3 persen menjadi 2,6 persen," jelas Fithra.
Ia menyebut faktor perang tarif yang dipicu oleh kebijakan Trump menjadi pemicu utama kenaikan ongkos produksi global. Dampaknya, industri dunia melambat dan output menurun.
"Ada efek tarif Trump tadi yang kemudian memicu kenaikan ongkos produksi global dan pada akhirnya menghambat kemajuan industri dan akhirnya secara output itu kita bisa melihat ada tren pelambatan secara cukup signifikan," ungkapnya.
Namun, ia melihat beberapa sinyal positif mulai muncul dari panggung global, seperti adanya kesepakatan dagang bilateral antara AS dan Inggris, serta komunikasi yang lebih baik antara AS dan China.
“Bahkan kita akan melihat mungkin akan ada penurunan tarif dalam beberapa waktu ke depan," ujarnya.
Optimisme itu, lanjut Fithra, juga tercermin dalam pasar keuangan. "Itu terefleksi di equity market juga yang mana Dow Jones juga mengangkasa dan banyak saham-saham di sektor teknologi juga cukup signifikan perkembangannya karena perkembangan tarif ini," kata dia.
Meskipun demikian, Fithra tetap mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi global masih sangat sensitif terhadap perkembangan ketegangan tarif.
Untuk diketahui, perang dagang Amerika Serikat dan China telah mencapai telah kesepakatan yang mana hal itu diumumkan pada 12 Mei 2025 kemarin
Dilansir dari Reuters, kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi titik balik penting dalam dinamika ekonomi global. Dalam pertemuan bilateral di Jenewa, kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif secara timbal balik selama 90 hari, membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang yang telah menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, memperlemah rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga global.
Sebelum kesepakatan ini, AS telah menaikkan tarif hingga 145 persen untuk produk China bahkan mengancam menaikkan hingga 245 persen,sementara China membalas dengan tarif 125 persen terhadap produk AS. Langkah ini memicu penurunan guncangan ekonomi global, perdagangan bilateral menurun sebesar USD600 miliar dan meningkatkan kekhawatiran akan resesi global.
Kunci Pada Dialog Berkelanjutan
Dalam kesepakatan terbaru, AS akan menurunkan tarif pada barang-barang China dari 145 persen menjadi 30 persen, sementara China akan mengurangi tarif pada barang-barang AS dari 125 persen menjadi 10 persen. Kesepakatan tersebut juga mencakup pembentukan forum konsultasi ekonomi baru untuk memfasilitasi dialog berkelanjutan antara kedua negara. Pasar global merespons positif terhadap perkembangan ini. Indeks STOXX 600 Eropa naik 1,1 persen, dan DAX Jerman mencetak rekor tertinggi baru, mencerminkan optimisme investor terhadap stabilitas perdagangan internasional yang mulai pulih.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai kesepakatan tersebut bukan hanya kabar baik untuk stabilitas global, tapi juga sebuah peringatan keras bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Perang dagang Trump vs Jinping adalah lonceng peringatan keras bagi model pertumbuhan berbasis ekspor (export-led growth) yang selama ini dianggap jalur utama pembangunan," ujar Syafruddin melalui keterangan resminya, Selasa, 13 Mei 2025.
Menurutnya, perjanjian tersebut menunjukkan bahwa dua ekonomi terbesar dunia pun rapuh di bawah tekanan proteksionisme. Ia menekankan bahwa ketahanan ekonomi tidak bisa lagi hanya bergantung pada pasar global.
Kesepakatan yang dicapai dalam forum bilateral di Jenewa ini disambut positif oleh pasar keuangan global. Indeks STOXX 600 Eropa naik lebih dari satu persen, sementara DAX Jerman mencetak rekor tertinggi baru. Pasar merespons sinyal deeskalasi ini dengan optimisme, melihat peluang untuk berakhirnya era ketidakpastian akibat saling balas tarif antara AS dan China.
Namun, Syafruddin melihat perjanjian itu sebagai momentum awal, bukan garis finis. "Kesepakatan ini bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk negosiasi lebih luas dan reformasi struktural yang lebih dalam," ucap dia.
Ia mendorong Indonesia agar tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global ini, tetapi aktif memosisikan diri sebagai mitra strategis baru bagi rantai pasok dunia yang mulai berbenah.
Peluang dan Risiko untuk Indonesia
Dengan normalisasi tarif antara AS dan China, peluang ekspor Indonesia ke dua pasar utama itu bisa terbuka lebih lebar. Terutama di sektor manufaktur, Indonesia berpotensi menjadi pemasok alternatif bagi produk yang sebelumnya dikenai tarif tinggi.
Namun, Syafruddin mengingatkan ada risiko tersendiri. “Trade diversion yang sebelumnya menguntungkan Indonesia bisa berbalik arah. Ketika AS dan China berdamai, mereka bisa saling ambil kembali pasar yang sempat hilang,” ujarnya.
Untuk itu, ia menilai Indonesia perlu segera memperkuat daya saing domestik dan mengakselerasi negosiasi bilateral baru agar tidak kehilangan momentum.
Di tengah rivalitas dua raksasa ekonomi dunia, Syafruddin menilai Indonesia perlu mempertahankan strategi bebas aktif. Ia menggarisbawahi pentingnya kebijakan perdagangan yang mandiri dan adaptif.
“Ketika dua raksasa ekonomi saja goyah menghadapi proteksionisme, negara berkembang harus mulai mempertimbangkan ulang strategi mereka. Kita tidak bisa hanya bertumpu pada ekspor. Kita butuh diversifikasi, inovasi domestik, dan kekuatan pasar dalam negeri," paparnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran Indonesia dalam forum multilateral seperti ASEAN untuk memperkuat posisi tawar. Melalui forum seperti ASEAN atau G20, Indonesia dinilai bisa mendorong tata perdagangan global yang lebih adil dan prediktabel.
Menurut Syafruddin, Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, terbuka peluang untuk ekspansi ekspor dan peran yang lebih besar dalam rantai pasok global. Di sisi lain, jika tidak siap secara struktural, negara ini bisa kembali tersisih begitu AS dan China memperkuat kembali dominasi mereka.
“Langkah konkret dan visi strategis menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global, tetapi berperan aktif membentuk arah baru perdagangan internasional,” kata dia.
Kesepakatan AS-Tiongkok mungkin telah menghentikan perang tarif, tapi kompetisi global sesungguhnya baru saja dimulai.(*)