Logo
>

Ekonomi RI Terancam Lemah Meski Surplus Berlanjut

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ekonomi RI Terancam Lemah Meski Surplus Berlanjut
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah. (Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Revisi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menandai kekhawatiran baru di tengah sinyal surplus perdagangan yang terus berlanjut. 

Senior Chief Economist SSI Research, Fithra Faisal Hastiadi, menyebut bahwa bayang-bayang pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, meski Indonesia hampir genap mencatatkan 60 bulan surplus perdagangan berturut-turut.

Menurutnya, ketimpangan antara ekspor dan kekuatan konsumsi domestik membuat struktur ekonomi Indonesia tampak rapuh. “Surplus bukan jaminan pertumbuhan kalau konsumsi rumah tangga melemah, PHK terjadi masif, dan belanja negara berjalan lambat," tegasnya dalam keterangan resmi, Senin 19 Mei 2025

Fithra menjelaskan, setelah momentum Lebaran, berbagai indikator mulai menunjukkan pelemahan. Penjualan ritel dan otomotif mengalami koreksi signifikan, menandai anjloknya daya beli masyarakat. 

Sementara itu, indeks keyakinan konsumen yang dirilis oleh Bank Indonesia hanya mencatatkan kenaikan tipis, tidak cukup untuk mengerek ekspektasi pertumbuhan.

Di sisi lain, Fithra menyoroti inisiatif negara dalam membangun sovereign wealth fund baru, Danantara. Ia menilai potensi ekonomi dari konsolidasi BUMN dan penerbitan obligasi oleh Danantara sangat besar, asalkan persoalan tata kelola bisa ditangani sejak awal. 

“Instrumen ini bisa jadi mesin pertumbuhan baru, tapi hanya jika pengelolaannya kredibel dan transparan,” katanya.

Fithra juga menyoroti paradoks dalam ledakan investasi digital yang masuk ke Indonesia. 

Menurutnya, potensi arus investasi digital hingga USD 130 miliar pada akhir tahun ini mencerminkan posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara.

Investasi ini terutama mengalir ke sektor infrastruktur cloud dan pengembangan aplikasi kecerdasan buatan (AI). 

Namun, ia mengingatkan bahwa tanpa kerangka regulasi yang kuat, Indonesia justru berisiko menjadi pasar pasif dalam perdagangan digital global.

“Defisit dalam neraca digital kita sudah terjadi beberapa tahun terakhir, tapi belum direspon serius dengan regulasi yang tepat. Ini bisa berdampak dalam perundingan perdagangan internasional,” ujar Fithra.

Isu energi juga masuk dalam sorotan tajam. Ia menilai bahwa kredibilitas Indonesia dalam transisi energi dan komitmen lingkungan kini berada dalam tekanan. Pasalnya, realisasi pengembangan energi terbarukan oleh PLN masih jauh dari target. 

“Kita baru mencapai sekitar 7,6 persen dari target bauran energi 2030. Kalau ini tidak dipacu, komitmen keluar dari batu bara akan makin diragukan,” katanya.

Fithra juga mengkritik lemahnya penegakan hukum dalam perlindungan lingkungan, khususnya terhadap pencemaran nikel dan degradasi keanekaragaman hayati. 

Ia menyebut sorotan dari komunitas internasional terhadap sektor ini bisa berdampak pada posisi tawar Indonesia di forum global.

Dalam ranah politik dan tata kelola, Fithra melihat pemerintahan Prabowo tengah menghadapi dilema besar. 

Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk melanjutkan reformasi antikorupsi yang selama ini tertunda. Namun di sisi lain, dinamika politik yang diwarnai oleh kekhawatiran militerisasi dan manuver mantan Presiden Jokowi yang kembali aktif melalui PSI menciptakan ketidakpastian.

“Reposisi kekuatan politik bisa membuka jalan bagi reformasi, tapi juga bisa menimbulkan resistensi baru. Stabilitas politik sangat menentukan efektivitas kebijakan ekonomi ke depan,” ujarnya.

Bagi Fithra, tantangan terbesar ke depan bukan hanya soal bagaimana menjaga momentum pertumbuhan, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan tersebut inklusif dan berkelanjutan. 

Ia menekankan pentingnya respons cepat terhadap risiko struktural yang sedang berkembang. “Kalau kita gagal membaca dinamika global dan domestik secara tepat, peluang bisa jadi petaka,” tutupnya.

Ekonomi Lesu, Masyarakat Tahan Belanja

Seperti diberitakan sebelumnya, perlambatan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2025 mencerminkan perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Banyak warga kini cenderung menyimpan uangnya alih-alih membelanjakannya, yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Fithra menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat untuk menabung menjadi salah satu penyebab utama mengapa angka pertumbuhan ekonomi hanya mencatatkan 4,87 persen, di bawah proyeksi yang sebelumnya diperkirakan.

“Mayoritas sudah meyakini bahwa kuartal I ini pasti di bawah 5 persen, tetapi ternyata konsensus ekonomi kemarin 4,91 persen. Forecast kami sebenarnya agak lebih optimis sedikit, 4,93 persen, tapi realisasinya 4,87 persen,” ujar Fithra.

Fithra mengungkapkan bahwa pihaknya semula menempatkan proyeksi batas bawah pertumbuhan di kisaran 4,88 persen. Namun, menjelang akhir Maret, ada harapan bahwa konsumsi akan naik seiring pencairan Tunjangan Hari Raya (THR). Sayangnya, tren tersebut tak terjadi.

“Mereka lebih banyak saving ketimbang spending di bulan Lebaran terutama. Dan itu juga tercermin dengan adanya penurunan Consumer Confidence Index, justru di bulan Maret, di saat Ramadan dan Lebaran, itu 121, yang merupakan terendah semenjak 6 atau 7 bulan terakhir,” jelasnya.

Sebagai informasi, hasil Survei Konsumen dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Maret 2025 turun ke posisi 121,1. Angka ini merosot dibanding bulan sebelumnya, yakni Februari, yang mencatatkan IKK sebesar 126,4.

Fithra menambahkan bahwa melemahnya kepercayaan konsumen selama Ramadan dan Lebaran—dua momentum yang lazimnya mendorong konsumsi—menjadi indikator penting. Menurutnya, pola ini sudah tampak sejak awal tahun, saat angka inflasi tidak sesuai prediksi.

“Kalau kita lihat di bulan Januari, year-on-year inflasi 0,76 persen, padahal konsensus ekonomi pada saat itu 1,8 persen inflasi. Kemudian kita juga lihat di bulan Februarinya, justru deflasi ya, minus 0,09 persen, padahal konsensus ekonomi juga 0,4 persen,” ungkapnya.

Lebih jauh, Fithra menyoroti bahwa kesalahan proyeksi tidak hanya terjadi di kalangan analis, namun juga pelaku industri. Ini terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur yang awalnya memperlihatkan optimisme, tapi akhirnya anjlok.

“Mereka overbought, karena over expectation bahwa demand-nya Februari menjelang Maret itu akan tinggi. Ternyata banyak yang tidak belanja ya, di bulan-bulan Ramadan. Sehingga pada akhirnya itu menumpuk inventory cost, dan kita bisa melihat bagaimana di bulan April Purchasing Manager Index in manufacturing anjlok ke 46,” katanya.

Dengan kondisi tersebut, tekanan terhadap pemulihan ekonomi domestik diperkirakan masih berlanjut, terutama jika tren kehati-hatian masyarakat dalam membelanjakan uang terus berlanjut pada kuartal-kuartal berikutnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.