Logo
>

Ekspor Batu Bara Australia Siap Disalip Emas, Akankah Menular ke Indonesia?

Kilas balik dominasi ekspor batu bara Australia yang mulai tergeser emas, dan peluang tren ini menjalar ke Indonesia di tengah reli harga logam mulia.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Ekspor Batu Bara Australia Siap Disalip Emas, Akankah Menular ke Indonesia?
Australia bersiap digeser emas dari puncak ekspor. Apakah Indonesia akan alami hal serupa saat harga batu bara melemah dan emas makin bersinar? Gambar dibuat oley AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Selama puluhan tahun, batu bara menjadi penopang utama ekspor komoditas Australia sebelum tahtanya direbut bijih besi yang terbang tinggi berkat permintaan China. Kini, posisi batu bara terancam oleh lonjakan emas.

Dalam laporan kuartalan terbaru, Departemen Industri, Sains, dan Sumber Daya Australia yang dikutip dari Reuters, Senin, 30 Juni 2025, memprediksi pendapatan ekspor emas naik menjadi AUD56 miliar—setara USD36,6 miliar (sekitar Rp596,6 triliun)—pada tahun fiskal yang dimulai 1 Juli 2025. Angka itu melampaui prediksi pendapatan ekspor batu bara metalurgi sebesar AUD39 miliar dan batubara termal AUD28 miliar.

Jika kedua jenis batu bara digabung, totalnya masih AUD67 miliar atau lebih tinggi daripada emas. Namun proyeksi 2026-2027 menunjukkan cerita berbeda: emas berpotensi menyalip total pendapatan batu bara metalurgi—bahan baku baja—dan batu bara termal untuk pembangkit listrik.

Pemerintah memperkirakan ekspor emas naik dari 250 ton pada 2024-2025 menjadi 289 ton pada 2025-2026 dan menembus 313 ton pada 2026-2027. Peningkatan itu menegaskan posisi Australia sebagai eksportir emas bersih terbesar di dunia sekaligus produsen ketiga terbesar.

Meski begitu, pemerintah berhati-hati dalam mematok harga. Rata-rata harga emas diperkirakan turun ke USD2.825 (sekitar Rp46,05 juta) per ons pada 2026-2027, dari USD3.200 (sekitar Rp52,16 juta) pada 2025-2026—keduanya di bawah harga spot saat ini sekitar USD3.273 (sekitar Rp53,35 juta). Sikap konservatif ini menempatkan proyeksi di batas bawah kisaran analis pasar.

Sejak Donald Trump terpilih kembali pada November 2024 lalu, emas sudah reli 29 persen. Berbagai kebijakan fiskal dan belanja yang mendorong defisit Amerika Serikat kian memikat investor menjauhi surat utang negeri Paman Sam. RUU pemotongan pajak dan belanja yang kini nyaris disahkan diperkirakan menambah utang AS USD3,3 triliun (sekitar Rp53,79 kuadriliun) dalam satu dekade.

Tambahan ketidakpastian muncul dari rencana tarif baru Trump. Meskipun mitra dagang utama berusaha merundingkan tarif lebih rendah sebelum tenggat awal Juli, bea masuk ke AS tetap berpotensi jauh lebih tinggi dibanding era Joe Biden maupun masa jabatan pertama Trump.

Lingkungan ini memperkuat daya tarik emas. Investor—bahkan bank sentral—kian gencar mencari aset alternatif, dan logam mulia nan tua itu kembali berkilau sebagai pelindung nilai. Pertanyaannya, apakah emas benar-benar akan menggusur batu bara dari mahkota ekspor Australia dalam dua tahun ke depan?

Akankah Indonesia sama dengan Australia?

Keputusan Canberra mencatat emas sebagai calon pewaris takhta ekspor menggema sampai Jakarta. Di kantor Kementerian ESDM, pejabat yang baru saja merilis angka produksi 2024 meneguk kopi pahit: batu bara memang masih digali hingga 836 juta ton dengan 555 juta ton diangkut ke kapal ekspor—rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun harga yang kian lembek membuat gemuknya volume tidak lagi berbanding lurus dengan penerimaan. Ketika kapal-kapal kargo Australia merapat di Ningbo dan Qinhuangdao, di terminal Tanjung Bara justru terjadi perang diskon.

Data Badan Pusat Statistik Februari 2025 menjelaskan kegelisahan itu. Nilai ekspor batu bara Indonesia jeblok hampir 20 persen secara tahunan, tinggal USD2,08 miliar (sekitar Rp33,9 triliun), level terendah dalam tiga tahun terakhir. Pasar tak hanya lesu—aturan baru ikut memerangkap harga. Mulai 1 Maret, pemerintah mewajibkan semua kontrak memakai Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai batas bawah transaksi.

Pada periode kedua Mei, HBA dipatok USD110,38 Mei dan turun tipis ke USD98,61 atau Rp1,61 juta pertengahan Juni. Para pedagang China—pembeli terbesar—menolak patokan itu dan memilih indeks lama yang lebih murah. Di satu sisi kebijakan ini menjaga penerimaan royalti, di sisi lain ia menambah gesekan dengan pelanggan utama yang sudah memangkas impor karena kelebihan pasokan dan isu emisi karbon.

Di tengah kabut batu bara, kilau logam mulia makin tajam. Presiden Prabowo meresmikan dua “bank bullion” pada Februari lalu—Pegadaian dan Bank Syariah Indonesia—untuk menahan emas agar tetap di dalam negeri. Produksi domestik, kata Prabowo, telah melonjak dari 100 menjadi 160 ton per tahun.

Langkah ini bertepatan dengan ledakan harga spot emas menclok di kisaran USD3.274 per ons, setara Rp53,4 juta, serta menandai reli 29 persen sejak pemilihan kembali Donald Trump. Bank of America bahkan merevisi proyeksi ke USD3.350 (Rp54,6 juta) untuk 2026 dan mematok skenario bullish hingga USD3.500 (Rp57,1 juta) jika defisit fiskal AS membengkak.

Bank Indonesia boleh lega karena cadangan devisa tetap kokoh di atas USD154 miliar, meski rupiah goyang tiap kali harga batu bara tergelincir. Diversifikasi sumber devisa menjadi kata kunci. Kementerian Keuangan tengah menyiapkan skema royalti progresif: tarif emas akan naik tapi batu bara lebih curam. Investor asing membaca sinyal itu sebagai perlambatan capex di tambang kalori rendah, sekaligus insentif bagi eksplorasi logam mulia di Halmahera, Sumbawa, dan Pegunungan Tengah Papua.

Bila tren sekarang berlanjut, jurang antara dua komoditas andalan itu akan menipis—meski belum tertutup sepenuhnya. Dengan asumsi harga batu bara bertahan di sekitar USD100 per ton dan volume ekspor stagnan, devisa batu bara 2026 bisa susut ke kisaran USD35 miliar (Rp570,5 triliun). Sebaliknya, bila harga emas stabil di atas USD3 000 per ons dan output naik ke 180 ton, devisa emas berpeluang menyusul di rentang USD12-14 miliar (Rp195-228 triliun).

Artinya, mahkota ekspor Indonesia belum akan berpindah tangan sesegera Australia. Namun momentum sudah berpihak pada logam mulia. Ketika pasar energi dunia makin ketat terhadap emisi dan Kongres Amerika Serikat bersiap mengucurkan stimulus fiskal jumbo yang cenderung melemahkan dolar, emas menemukan panggung terbesar sejak krisis finansial 2008.

Indonesia punya pilihan, tetap bersandar pada batu bara yang menua atau merangkul kilau baru yang semakin menjanjikan. Dua tahun ke depan akan menjadi pengujian—bukan hanya bagi pendapatan negara, tetapi juga strategi komoditas di era transisi energi global.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).