KABARBURSA.COM - Ekspor China menutup Desember 2024 dengan pertumbuhan yang menjanjikan di samping impornya yang mulai pulih. Ini menjadi akhir tahun yang cukup manis bagi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu, meskipun bayang-bayang risiko perdagangan dengan AS kian menghampiri.
Presiden terpilih Donald Trump, yang pekan depan kembali duduk di Gedung Putih, sudah menyiapkan tarif impor yang lumayan bikin gemetar dunia perdagangan internasional. Target utamanya adalah barang-barang dari China. Ketegangan perdagangan ini memicu kekhawatiran bakal terulangnya babak baru perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Bukan cuma AS, China juga harus bersiap menghadapi Uni Eropa yang menerapkan tarif hingga 45,3 persen untuk kendaraan listrik buatan China. Langkah ini jelas bisa merusak ambisi China untuk menjadi pemain besar di pasar ekspor mobil listrik global.
“Percepatan pengiriman barang keluar makin terasa di Desember, terutama karena efek persiapan Tahun Baru Imlek dan pelantikan Donald Trump,” ujar ekonom senior dari Economist Intelligence Unit, Xu Tianchen, dikutip dari Reuters di Jakarta, Senin, 13 Januari 2024. Sebagai informasi, Imlek tahun ini berlangsung dari 28 Januari hingga 4 Februari.
Xu menambahkan, pertumbuhan impor didorong strategi China yang suka menimbun komoditas seperti tembaga dan bijih besi saat harga rendah.
[caption id="attachment_112578" align="alignnone" width="1320"] Grafik garis menunjukkan pertumbuhan ekspor dan impor China dari waktu ke waktu.[/caption]
Data bea cukai menunjukkan ekspor China tumbuh 10,7 persen pada Desember 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, jauh melampaui prediksi pertumbuhan 7,3 persen dari survei Reuters. Bahkan, ini lebih tinggi dibandingkan kenaikan 6,7 persen pada November 2024.
Impor juga mencatat kejutan positif dengan pertumbuhan 1 persen—angka terbaik sejak Juli 2024. Padahal, para ekonom sempat memprediksi penurunan sebesar 1,5 persen. Meski begitu, jalan di 2025 tampaknya tak akan mulus. Persiapan menghadapi ketidakpastian kebijakan dari AS dan tekanan dari Eropa akan menjadi ujian berat bagi laju ekonomi China ke depannya.
Surplus perdagangan China naik menjadi USD104,8 miliar (sekitar Rp1.676,8 triliun) pada Desember 2024, lebih tinggi dibandingkan USD97,4 miliar (sekitar Rp1.558,4 triliun) pada November.
Juru bicara bea cukai China optimistis dan mengatakan masih ada ruang yang besar bagi ekonomi senilai USD18 triliun ini untuk meningkatkan impor sepanjang 2025.
[caption id="attachment_105173" align="alignnone" width="1320"] Gunungan utang China: Investasi besar-besaran memicu pertumbuhan utang lebih cepat daripada ekonomi. Pada 2023, total utang China hampir tiga kali lipat PDB-nya, dengan kontribusi utama dari rumah tangga, pemerintah, dan korporasi non-keuangan.[/caption]
Momentum ekspor menjadi penggerak utama ekonomi China yang masih tertekan akibat krisis panjang di sektor properti dan lemahnya kepercayaan konsumen. Namun, ada tanda-tanda stabilisasi setelah China menggencarkan stimulus beberapa bulan terakhir.
Menurut survei resmi negara tersebut, aktivitas pabrik tetap dalam zona ekspansi untuk bulan ketiga berturut-turut, sementara sektor jasa dan konstruksi juga mulai pulih pada Desember.
Tanda-tanda Permintaan Teknologi Bangkit
Korea Selatan, yang menjadi barometer impor China, melaporkan peningkatan pengiriman ke China sebesar 8,6 persen pada Desember 2024. Hal ini menunjukkan permintaan untuk produk teknologi mulai menguat.
Di sisi lain, impor bijih besi China pada 2024 mencetak rekor tertinggi untuk tahun kedua berturut-turut. Harga yang lebih rendah mendorong pembelian meskipun permintaan baja masih tertekan akibat krisis properti.
Sebagai pengimpor produk pertanian terbesar di dunia, China juga membeli kedelai dalam jumlah rekor tahun lalu. Pembeli berlomba mengamankan stok kedelai AS karena khawatir ketegangan perdagangan memanas setelah pelantikan Donald Trump.
Namun, data juga menunjukkan bahwa impor minyak mentah China mengalami penurunan tahunan untuk pertama kalinya dalam 20 tahun—di luar penurunan akibat pandemi COVID-19. Pertumbuhan ekonomi yang lesu dan konsumsi bahan bakar yang mencapai puncaknya membuat pembelian minyak mentah merosot.
Strategi Lawan Tarif Trump
[caption id="attachment_98262" align="alignnone" width="1200"] PERANG DAGANG – Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping. Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS diprediksi dapat memengaruhi perekonomian Indonesia, khususnya terkait kebijakan ekonomi yang lebih protektif dan potensi dampak inflasi. (Foto: Reuters)[/caption]
Dilansir dari AP, berikut daftar strategi utama China melawan kebijakan Trump untuk tahun ini:
1. Subsidi Belanja Barang Baru
China berencana memperluas program subsidi untuk tukar tambah kendaraan lama dan daur ulang peralatan elektronik guna mendorong pembelian model baru yang hemat energi. Sejak Juni tahun lalu, program ini telah menggantikan 6,5 juta kendaraan berbahan bakar fosil dengan mobil listrik dan hybrid.
Kini, subsidi hingga 20 persen dari harga jual akan diberikan untuk belasan jenis peralatan, termasuk perangkat digital seperti ponsel. Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan insentif untuk mengganti peralatan pabrik yang sudah usang.
2. Tindak Tegas Pejabat Nakal
Pejabat daerah diberi peringatan keras agar tidak melakukan inspeksi sembarangan yang mengganggu operasional bisnis normal. Kantor Berita Xinhua melaporkan aturan baru ini bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan, penyitaan aset tanpa dasar, dan penghentian produksi secara sepihak. Perdana Menteri Li Qiang menegaskan kebijakan ini adalah bagian dari kampanye untuk memperbaiki iklim bisnis di China.
3. Stimulus Anggaran Tambahan
Meski belum menggelontorkan stimulus besar-besaran, pemerintah China memilih pendekatan yang lebih terarah dan bertahap. Kepala Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional, Zhao Chenxin, menyatakan pemerintah akan mengumumkan penerbitan obligasi treasury jangka panjang dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk mendanai belanja tersebut.
Namun, rincian angkanya baru akan diungkap pada pertemuan tahunan legislatif nasional yang dijadwalkan pada awal Maret 2025.
4. Melindungi Uang Rakyat
Bank sentral China menyatakan dalam pertemuan akhir pekan lalu bahwa mereka berkomitmen menjaga nilai yuan tetap stabil dan menenangkan pasar keuangan. Mata uang China, yang dikenal juga sebagai renminbi atau “uang rakyat”, mengalami pelemahan terhadap dolar AS dan beberapa mata uang lainnya sehingga memberi tekanan pada pasar keuangan dan saham negara tersebut.
Dalam upaya menenangkan pasar, bursa saham Shanghai dan Shenzhen menggelar pertemuan akhir pekan dengan investor asing untuk menghimpun opini dan saran perihal pergerakan saham baru-baru ini. Mereka meyakinkan bahwa ekonomi China masih ditopang oleh fondasi yang kokoh dan daya tahan yang kuat.
Bank sentral China juga tengah mempertahankan nilai tukar tengah yuan di posisi 7,19 yuan per dolar AS, meskipun ada tekanan jual yang signifikan. Surat kabar resmi milik bank sentral, Financial News, menyatakan mereka akan menjaga risiko pelemahan nilai tukar yang berlebihan dan mempertahankan stabilitas yuan.
5. Narasi Optimisme Ekonomi
Partai Komunis China sangat membatasi ruang bagi suara-suara kritis, bahkan diskusi seputar kondisi ekonomi semakin diperketat. Pemerintah telah menutup akun media sosial para ekonom yang berani menentang kebijakan mereka sebagai bagian dari upaya memperkuat dukungan kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Laporan terbaru dari Kantor Berita Xinhua menyerukan pentingnya memastikan “opini publik yang benar” agar sejalan dengan narasi “persatuan dan kemajuan”.
Namun, menurut laporan lembaga kajian Rhodium Group, narasi optimisme ekonomi ini justru bisa menutupi kenyataan pahit. Mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi riil China tahun lalu hanya berada di kisaran 2,4 persen hingga 2,8 persen—jauh di bawah angka resmi sekitar 5 persen.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.