Logo
>

Ekspor Pasir Laut ke Singapura Bahayakan Kedaulatan Wilayah RI

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ekspor Pasir Laut ke Singapura Bahayakan Kedaulatan Wilayah RI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut semua kekayaan bumi milik Indonesia telah dieksploitask dan dijual ke pihak asing.

    Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan itu ketika menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia yang memperbolehkan kembali aktivitas ekspor pasir laut.

    "Semua sudah dijual dan dikuasai pihak asing. Laut, batu bara, sawit, emas, dan terbaru ini laut juga mau dijual," kata Parid kepada Kabar Bursa, Senin, 16 September 2024.

    "Jadi kita ini negara kaya tapi miskin program ya miskin terobosan," sambungnya.

    Kata Parid

    Dia pun menyebutkan bahwa Indonesia di mata negara-negara merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, seperti batu bara, kelapa sawit, hingga emas.

    Ironisnya, meski memiliki kekayaan alam berlimpah, Indonesia ini justru menghadapi kemiskinan dalam hal inovasi dan terobosan program.

    "Semua sudah dijual. Di darat ada batu bara sawit, emas, dan sekarang di laut (pasir laut) juga mau dijual. Kita ini adalah negara kaya tapi miskin program, miskin terobosan," kata Parid kepada Kabar Bursa, Senin, 16 September 2024.

    Lalu dia membicarakan soal ekspor pasir laut untuk mendukung proyek reklamasi pantai. Dia mewanti-wanti, eksploitasi pasir laut bisa memunculkan masalah baru di tengah masa transisi pemerintahan yang seharusnya fokus pada menyelesaikan masalah, bukannya justru menciptakan masalah baru.

    "Seharusnya tidak boleh mengeluarkan kebijakan seperti ini di penghujung pemerintahan yang harusnya itu memastikan semua tidak melahirkan masalah baru," ujar dia.

    Kata dia, proyek reklamasi yang dilakukan di berbagai wilayah Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran yang besar. Berdasarkan data yang dihimpun Walhi, hingga tahun 2019, luas wilayah yang sudah terkena dampak reklamasi mencapai 79.348 hektare, dengan 747.363 nelayan yang terdampak secara langsung.

    Namun, ini hanya permulaan. Dalam 28 rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K) yang ditetapkan hingga tahun 2040, diperkirakan akan ada tambahan lahan reklamasi seluas 3,5 hingga 4 juta hektar.

    Proyek reklamasi ini membutuhkan jumlah pasir laut yang sangat besar. Berdasarkan data dari KKP, kebutuhan total pasir untuk beberapa proyek besar reklamasi di Indonesia mencapai 1.870.831.201 meter kubik.

    Berikut rincian dari masing-masing proyek:

    • Reklamasi Teluk Jakarta memerlukan volume pasir terbesar, yaitu 388.200.000 meter kubik. Proyek ini tampaknya menjadi salah satu yang paling masif di antara yang lain.
    • Reklamasi Bandara Soekarno Hatta dan infrastrukturnya membutuhkan 262 juta meter kubik pasir. Kebutuhan ini termasuk dalam upaya memperluas bandara dan membangun fasilitas pendukungnya.
    • Reklamasi Makassar New Port memiliki kebutuhan pasir yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan proyek lainnya, yaitu 72.000 meter kubik.
    • Reklamasi Pelabuhan Bojonegoro membutuhkan 37 juta meter kubik pasir. Ini menunjukkan skala besar pembangunan infrastruktur pelabuhan di wilayah tersebut.
    • Reklamasi Bandara Ngurah Rai III yang terletak di Bali, membutuhkan 5.250.000 meter kubik pasir. Proyek ini tampaknya bertujuan untuk mendukung pengembangan fasilitas bandara yang sudah ada.
    • Reklamasi CPI Makassar memerlukan 22.627.480 meter kubik pasir, yang juga signifikan untuk proyek reklamasi di kota Makassar.
    • Reklamasi Kabupaten Batubara membutuhkan 560 juta meter kubik pasir, menjadi salah satu proyek yang memerlukan jumlah pasir terbesar kedua setelah Teluk Jakarta.
    • Reklamasi Pertamina Tuban membutuhkan 12 juta meter kubik pasir. Proyek ini mungkin berkaitan dengan pengembangan fasilitas energi di wilayah tersebut.
    • Reklamasi di Kepulauan Riau membutuhkan volume pasir yang sangat besar, yaitu 583.681.721 meter kubik, yang juga menempati peringkat atas dalam hal kebutuhan pasir.

    Selain berdampak pada ekosistem laut, aktivitas tambang pasir ini juga mempengaruhi kedaulatan wilayah negara. Dia mengutarakan kekhawatirannya apabila menjual pasir laut kepada negara lain, Indonesia sebenarnya memperluas wilayah negara-negara tersebut.

    "Yang juga menjadi masalah dalam aktivitas pertambangan pasir laut ini yakni memperluas wilayah negara lainnya seperti Singapura, tapi mempersempit atau menenggelamkan pulau pulau," jelas dia.

    Seperti yang terjadi pada Singapura. Sejak tahun 1965, Singapura telah menambah luas daratannya sebesar 30 persen hingga tahun 2030, sebagian besar berkat impor pasir laut dari negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.

    Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bahkan menyebutkan bahwa Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia, dengan total impor mencapai 517 juta ton.

    Meski Indonesia sempat menghentikan ekspor pasir laut ke Singapura pada tahun 2002, negara tersebut dengan cepat mencari sumber pasir alternatif dari negara-negara seperti Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.

    Ironisnya, meski Singapura diuntungkan dengan perluasan wilayahnya, Indonesia justru menghadapi ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat aktivitas penambangan pasir laut, yang pafaa akhirnya merugikan kedaulatan negara, di mana negara asing mendapatkan lebih banyak wilayah, sedangkan Indonesia justru kehilangan sebagian dari kekayaannya.

    Karena itu, menurutnya, hal ini menjadi peringatan serius bahwa penjualan pasir laut tak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada integritas teritorial negara.

    "Jadi sebetulnya menjual kedaulatan pada negara asing dan ini bahaya sekali, karena kedaulatan mereka bertambah tapi kedaulatan kita berkurang. Ini bahaya sekali," tegas Parid. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.