KABARBURSA.COM - November 2024 tak terlalu ramah bagi ekspor China. Meski tetap tumbuh, lajunya melambat ke 6,7 persen dari 12,7 persen pada Oktober 2024, jauh di bawah target 8,5 persen yang dipatok para ekonom. Lebih mengejutkan lagi, impor justru menyusut 3,9 persen, performa terburuk dalam sembilan bulan terakhir. Data ini bikin pusing kepala Beijing yang harus siap-siap menghadapi ancaman baru dari Donald Trump.
Trump yang sebentar lagi kembali ke kursi presiden, sudah pasang ancang-ancang untuk menerapkan tarif tambahan 10 persen ke barang-barang China. Apa alasannya? Tekanan pada Beijing agar lebih serius menangani penyelundupan bahan kimia pembuat fentanyl. Tarif ini berpotensi membuat ekonomi China yang bertumpu pada ekspor semakin terpukul, apalagi dengan krisis properti yang belum usai.
Tak cukup sampai di situ, Eropa juga ikut mengadang. Uni Eropa masih menggantung sengketa tarif hingga 45,3 persen untuk mobil listrik buatan China. Jika ini meledak, perang dagang China dengan Barat bisa makin panas.
Dilansir dari Reuters, Selasa, 10 Desember 2024, meski surplus dagang China naik dari USD95,72 miliar di Oktober menjadi USD97,44 miliar pada November, tanda-tanda kekhawatiran tidak hilang. Pembelian bahan baku seperti minyak mentah dan batu bara memang naik, masing-masing sebesar 14,3 persen dan 26 persen secara tahunan, berkat harga yang lebih rendah. Namun, belanja komponen impor seperti elektronik dari Korea Selatan justru turun. Ini mengindikasikan pelemahan produksi di China.
Apa yang Harus Dilakukan Beijing?
Beberapa penasihat pemerintah menyarankan target pertumbuhan tetap di kisaran 5 persen tahun depan. Stimulus yang lebih berani dan fokus pada pasar domestik disebut sebagai kunci untuk mengimbangi dampak tarif AS. Sementara itu, manufaktur mulai menunjukkan sedikit pemulihan. Namun, permintaan ekspor global yang melambat masih menjadi momok.
Ekonom juga memperingatkan dampak penuh tarif Trump baru akan terasa pada Desember hingga Januari. Tanda-tanda perdagangan mendahului tarif sudah terlihat, tetapi ini lebih mirip tenang sebelum badai. Dengan pertemuan politbiro pekan ini, investor berharap Beijing segera ambil langkah konkret untuk menopang ekonomi yang sedang diuji.
Longgarkan Moneter
Kemarin, China mengumumkan akan mengadopsi kebijakan moneter yang longgar untuk tahun depan demi mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilaporkan langsung oleh media pemerintah China, Xinhua. Langkah ini menandai pergeseran kebijakan pelonggaran pertama sejak 2010.
Selain itu, kebijakan fiskal yang lebih proaktif juga akan diterapkan, disertai peningkatan langkah-langkah yang tidak konvensional untuk mengatasi siklus ekonomi. “China harus secara aktif mendorong konsumsi dan memperluas permintaan domestik di segala lini,” tulis laporan Xinhua yang mengutip pertemuan Politbiro Partai Komunis, dikutip dari Reuters.
Pernyataan ini muncul menjelang Konferensi Kerja Ekonomi Pusat tahunan yang akan menetapkan target dan kebijakan utama untuk 2025. “Kebijakan fiskal yang lebih proaktif dan kebijakan moneter yang longgar secara tepat harus diimplementasikan, memperkuat alat kebijakan yang luar biasa dan memperbaiki penyesuaian kontra-siklus,” tambah laporan itu.
Pertama Sejak 2010
Pergeseran ke arah pelonggaran ini adalah yang pertama kali sejak akhir 2010. Sebelumnya, China menerapkan kebijakan pelonggaran moneter secara tepat setelah krisis keuangan global 2008, sebelum beralih ke kebijakan prudent atau hati-hati pada akhir 2010.
Bank sentral China memiliki lima pendekatan kebijakan, yakni longgar, longgar secara tepat, prudent, ketat secara tepat, dan ketat. Masing-masing memiliki fleksibilitas bergantung pada kondisi ekonomi. Dengan kebijakan baru ini, China berupaya menjaga stabilitas sekaligus mendorong inovasi di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
Pelonggaran kebijakan moneter yang direncanakan China tahun depan tampaknya menjadi langkah strategis untuk menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Dengan inflasi yang terus melambat dan permintaan domestik yang masih lesu, langkah-langkah seperti kebijakan fiskal proaktif dan penyesuaian kontra-siklus diharapkan dapat mendongkrak konsumsi sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.
Pasalnya, realita di lapangan menunjukkan bahwa efek dari kebijakan yang ada sejauh ini belum cukup signifikan. Inflasi konsumen yang mencapai titik terendah dalam lima bulan terakhir pada November 2024 menjadi salah satu indikasinya. Ditambah lagi, tekanan deflasi di sektor pabrik terus berlanjut. Hal ini mempertegas pemulihan ekonomi China masih menghadapi jalan terjal.
Dilansir dari Reuters, Senin, 9 Desember 2034, Data dari Biro Statistik Nasional China (NBS) menunjukkan indeks harga konsumen (CPI) naik hanya 0,2 persen secara tahunan pada November 2024. Angka ini lebih rendah dibandingkan kenaikan 0,3 persen pada Oktober dan prediksi kenaikan 0,5 persen dalam jajak pendapat Reuters.
Secara bulanan, CPI turun 0,6 persen pada November, lebih tajam dari penurunan 0,3 persen pada Oktober dan proyeksi penurunan 0,4 persen. Statistisi NBS, Dong Lijuan, mengatakan penurunan bulanan ini dipicu oleh turunnya harga pangan sebesar 2,7 persen akibat faktor cuaca.
“Suhu rata-rata nasional pada November adalah yang tertinggi untuk periode serupa sejak 1961. Hal ini mendukung produksi dan transportasi hasil pertanian sehingga menekan harga pangan segar,” jelas Dong.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.