KABARBURSA.COM - Ekspektasi pasar terhadap langkah agresif Bank Sentral Amerika Serikat dalam memangkas suku bunga acuan kian menguat, di tengah gejolak ketidakpastian global yang belum menunjukkan tanda reda.
Sentimen tersebut menjadi pemicu menghangatnya harga emas dunia dan menekan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) domestik, khususnya untuk tenor pendek.
Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menjelaskan, absennya data ekonomi Amerika akibat ancaman government shutdown menambah kabut tebal dalam memprediksi arah kebijakan moneter The Fed.
“Pasar menilai, penutupan pemerintahan ini akan menekan aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya mendorong The Fed lebih agresif memangkas suku bunga,” ujar Rully di Jakarta, Senin 6 Oktober 2025
Data CME FedWatch menunjukkan probabilitas pemangkasan Fed Funds Rate (FFR) pada pertemuan 29 Oktober 2025 mencapai 97,8 persen, sedangkan untuk 10 Desember 2025 sebesar 87,5 persen. Kondisi ini menekan imbal hasil US Treasury di berbagai tenor sejak awal September.
Rully menambahkan, ekspektasi pemangkasan yang lebih dalam turut mengerek reli harga emas global. Logam mulia itu terus mendaki, mendekati level psikologis USD4.000 per troy ons. “Selain efek shutdown, lonjakan harga emas juga mencerminkan kekhawatiran pasar atas independensi The Fed,” ungkapnya.
Situasi ini, lanjut Rully, berpotensi memicu tren pelemahan dolar AS dalam jangka menengah. Pelemahan tersebut memberi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk lebih leluasa menurunkan suku bunga acuan (BI Rate).
Dengan tambahan likuiditas pemerintah sebesar Rp200 triliun, peluang pemangkasan BI Rate masih terbuka lebar. Dampaknya sudah terasa pada penurunan signifikan imbal hasil SBN, terutama tenor dua tahun.
Data terbaru mencatat, yield SBN tenor dua tahun pada Jumat 3 Oktober 2025 merosot ke 4,96 persen — turun 208 basis poin secara year to date (YtD). Sementara SBN tenor 10 tahun berakhir di 6,315 persen, terkoreksi 68,2 bps YtD.
Menurut Rully, fenomena flattening yield curve ini menjadi cermin ekspektasi kuat terhadap pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.
“Yield SBN jangka pendek turun jauh lebih cepat dibanding tenor panjang. Artinya, minat terhadap obligasi jangka pendek meningkat tajam — respons alami pasar terhadap arah kebijakan moneter dan dinamika likuiditas,” pungkasnya.(*)