Logo
>

Emas Tembus USD4.000: Menuju Potensi USD5.000 per Ons

Harga emas mencetak rekor baru di atas USD4.000 per ons, didorong ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, ketegangan geopolitik, dan lonjakan permintaan aset safe-haven.

Ditulis oleh Yunila Wati
Emas Tembus USD4.000: Menuju Potensi USD5.000 per Ons
Ilustrasi kepingan logam mulia. Foto: Freepik.

KABARBURSA.COM – Harga emas dunia akhisrnya berhasil menembus level psikologis di USD4.000 per ons. Analis memperkirakan harga logam mulia kuning ini berpotensi menembus USD5.000 per ons.

Kenaikan ini bukan sedar euphoria sesaat, melainkan hasil kombinasi kompleks antara faktor ekonomi global, kebijakan moneter, serta sentiment geopolitik yang memperkuat status emas sebagai asset lindung nilai utama dunia.

Pada perdagangan Rabu malam, 9 Oktober 2025, harga emas spot melesat 1,7 persen menjadi USD4.050,24 per ons, sementara emas berjangka AS (Desember) ditutup di USD4.070,5. Level ini merupakan pencapaian tertinggi sepanjang masa dan mencerminkan kekuatan permintaan terhadap aset safe-haven di tengah meningkatnya risiko global.

Reli tersebut didorong oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve, di tengah tanda-tanda pelemahan ekonomi AS dan risiko resesi ringan. Investor kini memperkirakan pemotongan sebesar 25 basis poin pada Oktober, disusul penurunan lain pada Desember. 

Kebijakan moneter longgar semacam ini menurunkan imbal hasil obligasi dan melemahkan dolar AS. Dua faktor ini secara historis menjadi katalis kuat bagi kenaikan harga emas.

Selain itu, penutupan sebagian pemerintahan AS (government shutdown) juga memperkuat ketidakpastian pasar. Dengan tertundanya rilis data ekonomi resmi, investor semakin mengandalkan indikator non-pemerintah, yang memperburuk kekhawatiran tentang arah ekonomi Amerika.

Di luar faktor moneter, ketegangan geopolitik menjadi katalis yang tak kalah besar. Konflik yang berlarut di Timur Tengah, perang di Ukraina, serta ketidakstabilan politik di Eropa (terutama Prancis) dan Jepang memperkuat kebutuhan investor terhadap aset yang dianggap “tahan badai”. 

Kondisi ini menciptakan arus masuk besar ke produk berbasis emas, terutama ETF emas, yang mencatat rekor inflow USD64 miliar sepanjang 2025, dengan USD17,3 miliar hanya pada September.

Selain investor institusional, bank sentral global juga terus menambah cadangan emas sebagai strategi diversifikasi dari dolar AS. Tren pembelian agresif ini mempersempit pasokan di pasar fisik dan memperkuat harga di pasar berjangka.

Perak dan Logam Mulia Lainnya Mengikuti

Reli emas turut menyeret logam mulia lainnya naik. Harga perak melesat 3,2 persen menjadi USD49,39 per ons, bahkan sempat menyentuh rekor USD49,57. 

Sepanjang tahun berjalan, perak telah menguat 71 persen secara tahunan, jauh melampaui reli emas. Hal ini didorong oleh kombinasi antara permintaan industri (terutama dari sektor energi surya dan elektronik), serta ketatnya pasokan fisik.

Menurut Suki Cooper dari Standard Chartered Bank, pasar perak sedang mengalami pengetatan ekstrem. Kondisi ini ditandai dengan kenaikan biaya sewa logam, lonjakan permintaan dari India menjelang musim pernikahan, dan menurunnya stok di bursa Comex. 

Arus masuk besar ke produk ETP (Exchange-Traded Products) juga memperkuat tekanan ke atas harga.

Tak ketinggalan, platinum naik 3 persen ke USD1.666,47, dan menjadi kenaikan tertinggi sejak 2013. Sementara paladium melesat 8,4 persen ke USD1.449,69, menyentuh puncak dua tahun. Keduanya ikut diuntungkan dari sentimen risk-off dan kekhawatiran pasokan global.

Secara teknikal, indeks kekuatan relatif (RSI) emas kini berada di level 87, yang artinya kondisi overbought. Namun para analis menilai reli ini belum menunjukkan tanda pembalikan yang kuat. Sentimen pasar tetap sangat positif, didorong fenomena “fear of missing out” (FOMO) di kalangan investor ritel dan institusi.

“Tidak ada katalis yang cukup kuat untuk membalikkan tren saat ini. Dengan latar makro dan geopolitik yang masih rapuh, emas berpotensi menguji USD5.000 per ons pada 2026,” kata Matthew Piggott dari Metals Focus.

Dalam jangka menengah hingga panjang, fundamental emas masih sangat kokoh. Suku bunga riil yang menurun, pelemahan dolar AS, peningkatan pembelian bank sentral, serta ketegangan geopolitik global, menciptakan lingkungan ideal bagi reli berkelanjutan.

Namun, risiko koreksi jangka pendek tetap ada, terutama bila inflasi melandai lebih cepat dari perkiraan atau The Fed menunda pemangkasan suku bunga. Meski demikian, posisi emas sebagai “mata uang terakhir” di tengah krisis global, tampak semakin menguat.

Reli ini menegaskan satu hal, bahwa di dunia yang dipenuhi ketidakpastian, emas kembali menjadi jangkar kepercayaan global, bukan sekadar komoditas, melainkan simbol stabilitas yang melampaui pasar keuangan itu sendiri.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79